Homili 3 Juni 2017

Hari Sabtu, Pekan Paskah ke-VII
Kis 28:16-20.30-31
Mzm 11:4-5.7
Yoh 20:20-25

Itu bukan urusanmu!

Ada seorang bapa yang membagi pengalaman hidupnya dalam sebuah pertemuan untuk pendalaman iman. Tema pertemuan untuk pendalaman iman berhubungan dengan tanggung jawab setiap orang tua di dalam keluarga. Pekerjaan bapa itu sehari-hari adalah sebagai counselor keluarga, dan sangat dikenal di kalangan umum. Banyak orang menghargai pekerjaanya, mereka juga segan karena melihat kewibaan hidupnya sebagai seorang bapa keluarga dan counselor. Ia mengakui bahwa salah satu kelemahan yang dimilikinya selama ini adalah ia mudah mengurus masalah kehidupan keluarga orang lain tetapi sulit untuk mengurusi keluarganya sendiri. Ia sangat concern dengan orang-orang yang datang kepadanya, tetapi anak-anaknya sendiri sulit diatur sehingga harus dirujuk kepada counselor yang lain. Ia merasakan hal ini sebagai sebuah kelemahan yang besar dalam hidup dan karyanya. Ia merasa malu sebagai counselor yang boleh dikatakan gagal dalam hidupnya. Semua umat yang hadir dalam pertemuan ini ikut merenung tentang kehidupan keluarga mereka masing-masing. Saya yakin bahwa pengalaman counselor ini memiliki banyak kemiripan dengan keluarga-keluarga yang lain. Memang lebih mudah mengurus anak orang lain, kehidupan orang lain dari pada mengurus anak sendiri atau kehidupan keluarga sendiri. Tetapi saya juga percaya bahwa orang dapat mentransformasikan dirinya untuk menjadi lebih baik lagi. Di sini butuh kesadaran untuk memulai dari diri sendiri!

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan dari pengalaman rohani St. Petrus dalam epilog Injil Yohanes. Kita mengingat kembali Petrus memiliki relasi yang unik dengan Yesus dan dengan rekan-rekannya dalam komunitas. Ia pernah menyangkal Yesus sebanyak tiga kali, namun sebanyak tiga kali pula ia membaharui janji setianya kepada Yesus bahwa ia mengasihi Yesus lebih dari yang lain. Sebab itu ia ditetapkan oleh Yesus sebagai seorang gembala yang menggembalakan domba-domba milik Yesus sendiri. Untuk menjadi gembala yang baik maka Petrus harus memiliki komitmen untuk melayani, mendampingi, berpihak kepada domba-domba dan kebutuhan hidupnya. Artinya, Petrus sebagai gembala dalam komunitas harus memberikan dirinya secara utuh bagi komunitasnya.

Menjadi seorang gembala yang baik untuk melayani domba-domba milik Tuhan bukanlah hal yang gampang. Petrus memiliki pengalaman yang dirasakannya bersama Tuhan Yesus yakni pengalaman kemartiran, bagaimana Petrus menjadi saksi Kristus hingga wafat dan memuliakan Allah di Surga. Petrus harus hidup selaras dengan ajakan Yesus “Ikutlah Aku”. Mengikut Yesus Kristus lebih dekat lagi berarti menyerupai Yesus dalam segala hal dan siap untuk menderita demi nama Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Mengikuti Yesus Kristus lebih dekat lagi berarti siap untuk masuk dalam sekolah penderitaan, dengan menyangkal diri dan memikul salib setiap saat. Hidup Kristiani menjadi bermakna ketika kita juga berusaha untuk menjadi serupa dengan Yesus dalam segala hal.

Namun demikian Petrus juga menunjukkan satu kelemahannya kepada kita. Ketika ia sedang berusaha untuk mengikuti Yesus dari dekat, ternyata ia masih mengingat dan cemas dengan rekan-rekanya, terutama Yohanes sebagai murid yang dikasihi Tuhan sedang mengikuti mereka. Petrus mungkin merasa diri sebagai pribadi yang tidak layak atau tidak sekudus Yohanes. Sebab itu ia bertanya kepada Yesus: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” Yesus memandang Petrus dan berkata: “Jikalau Aku menghendaki supaya ia tetap hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau, ikutlah Aku”.

Sikap hidup Petrus adalah gambaran umum kehidupan kita di hadapan Tuhan. Ketika kita berkomitmen untuk melayani Tuhan maka teruslah melayani dan jangan memandang ke kiri dan kekanan, memikirkan siapa lagi yang ikut terlibat dalam melayani bersamamu. Kita harus berani untuk meninggalkan semua yang dekat dan melekat dengan diri kita supaya melayani dengan bebas. Sikap Petrus ini mengoreksi hidup pribadi kita yang overly-concerned atau sangat cemas dengan kehidupan saudari dan saudara lain dan lupa kepada komitmen pribadi untuk mengikuti Yesus dari dekat. Kalau anda sudah berjanji untuk mengikuti Yesus maka silakah menlanjutkan pelayananmu kepada Yesus saja.

Para gembala dipilih oleh Tuhan dari kalangan umat untuk melayani-Nya dengan hati yang tidak terbagi. Artinya rahmat yang diterima oleh seorang imam pada saat ditahbiskan itu demi kekudusan dirinya dan kekudusan Gereja Kristus. Sebab itu komitmen untuk mengikuti Yesus dari dekat harus benar-benar menjadi nyata dalam hidup. Sayang sekali masih banyak yang overly-concerned atau sangat cemas dengan keluarganya sendiri, dengan umat kesayangnnya sehingga lupa pada komitmen awal untuk melayani Tuhan dengan hati yang tidak terbagi. Kata-kata Yesus kepada Petrus sangat keras: “Itu bukan urusanmu. Tetapi engkau, ikutlah Aku”.

Kita juga belajar dari kehidupan St. Paulus. Ia memiliki komitmen untuk melayani Yesus dengan hati yang tidak terbagi. Itu sebabnya ia mati-matian mempertahankan imannya kepada Yesus yang hidup kembali atau yang bangkit mulia. Ketika ia sedang menghadapi persoalan dengan kaum Yahudi di Yerusalem, Tuhan Yesus membuka pikirannya: “Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian jugalah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma” (Kis 23:11). Paulus mewujudkan pesan Tuhan Yesus ini dengan berani, meskipun masih dalam proses naik banding di Roma, untuk mewartakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus kepada semua orang yang datang kepadanya. Paulus tetap focus pada urusan Tuhan Yesus dan tidak memikirkan keselamatan dirinya. Itulah hidup sebagai rasul dan misionaris sejati.

Mari kita belajar untuk membaharui hidup kita di hadapan Tuhan dan sesama. Banyak kali kita mudah mengurus hidup orang dan lupa mengurus hidup kita. Kita mudah menjelekkan hidup orang lain dan lupa bahwa hidup kita juga penuh dengan kekurangan. Kita membutuhkan Tuhan untuk membaharui hidup kita hari demi hari.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply