Homili 15 Juli 2017

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIV
Kej. 49:29-32; 50:15-26a
Mzm. 105:1-2,3-4,6-7
Mat. 10:24-33

Karena kamu lebih berharga!

Rekonsiliasi! Kata ini senantiasa menghiasi relasi antar pribadi manusia. Kata rekonsiliasi berarti perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan atau konflik yang ada dalam diri pribadi, keluarga dan masyarakat. Di daerah-daerah yang pernah mengalami konflik selalu dibentuk team rekonsiliasi pasca konflik untuk membantu membangun kembali persaudaraan yang retak dan hancur. Pribadi-pribadi tertentu yang mengalami konflik horizontal dan vertical juga diharapkan menata kembali relasi mereka dengan rekonsiliasi. Dengan demikian hubungan antar pribadi menjadi pulih satu sama lain. Rekonsiliasi menjadi tanda bahwa setiap pribadi berharga atau bernilai di mata Tuhan dan sesama. Tuhan Yesus berkata: “Karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Mat 10:31). Manusia sangatlah berharga di mata Tuhan karena diciptakan baik adanya sesuai dengan gambar dan rupa-Nya sendiri.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah keluarga Israel (Yakub) dalam Kitab Kejadian. Dua figur inspiratif yang mengubah kiblat hidup kita kali ini adalah Yakub dan Yusuf. Yakub memiliki dua belas putera dan Yusuf adalah salah satu putera yang dikasihinya. Namun saudara-saudaranya yang lebih tua menunjukkan sikap iri dan dengki kepadanya. Sebab itu mereka nyaris membunuhnya. Mereka memasukkan Yusuf ke dalam sumur tua kemudian menjualnya kepada para pedagang yang sedang melakukan perjalanan ke Mesir. Saudara-saudara tua Yusuf membohongi Yakub dengan mengatakan bahwa hewan liar telah memangsa Yusuf. Kita melihat Yakub memiliki sebuah konflik yang cukup lama dalam batinnya. Ia melihat nilai kehidupan Yusuf yang begitu berharga baginya. Namun demikian ia berpasrah kepada Tuhan. Kepasrahan Yakub terobati ketika ia berjumpa kembali dengan Yusuf anaknya. Yakub bagai melihat terang, mengatakan bahwa dia boleh meninggal dunia karena sudah berjumpa kembali dengan anaknya yang dianggapnya sudah meninggal dunia. Yakub mengalami rekonsiliasi yang luar biasa.

Yusuf sendiri mengalami konflik dalam batinnya bersama saudara-saudaranya. Ia merasa heran mengapa saudara-saudaranya menjulanya ke Mesir, sebuah negeri asing baginya. Konflik semakin tegang ketika ia melihat saudara-saudaranya datang untuk membeli makanan. Apakah ia harus membalas dendam dengan berlaku jahat kepada mereka? Yusuf berhasil mengolah konfliknya dengan mengatakan bahwa Tuhanlah yang mengutusnya untuk mendahului mereka ke tanah Mesir. Dialah yang dipersiapkan Tuhan untuk memberi makan atau memberi kehidupan kepada saudara-saudaranya.

Kisah keluarga Yakub berlanjut dan sangat menarik. Setelah Yakub meninggal dunia, saudara-saudaranya mulai merasa ketakutan dan berpikir bahwa Yusuf akan membalas dendam dengan berlaku jahat kepada mereka. Mereka pun datang untuk memohon maaf dan meminta menjadi budak (Kej 50:17-18). Yusuf memandang saudara-saudaranya dan berkata: “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.” (Kej 50: 19-21). Rekonsiliasi menjadi penuh dalam keluarga Yakub. Kebencian, kejahatan saudara-saudara Yusuf dibalas dengan kebaikan dari pihak Yusuf. Yusuf masih berusaha untuk menghibur dan menenangkan hati mereka dengan perkataan-perkataannya karena ia melihat saudara-saudaranya lebih bernilai dari perbuatan jahat yang sudah mereka lakukan kepadanya.

Kisah keluarga Yakub ini memberikan pedoman hidup yang sangat berarti bagi kita, bahwa rekonsiliasi itu sangat berguna bagi kita untuk menghargai nilai-nilai kehidupan sesama kita. Ada dua hal yang dapat kita pelajari dari kisah keluarga Yakub hari ini. Pertama, Perikop dalam bacaan pertama hari ini membantu kita untuk melihat keutuhan keluarga para bapa bangsa. Abraham dan Sara, Ishak dan Rebeka, Yakub dan Lea. Mereka meninggal sebagai suami dan istri dan dikubur dalam sebuah pekuburan yang sama. Ini sebuah tanda penghargaan terhadap nilai-nilai luhur setiap pribadi dan keluhuran keluarga. Mereka setia sebagai pasangan hidup sampai mati! Ini tantangan bagi keluarga-keluarga masa kini. Kedua, Rekonsiliasi dan resolusi konflik dalam keluarga Yakub menjadi sempurna karena prinsip menghargai nilai kehidupan manusia dan melihat manusia sangat atau lebih berharga dari pada semua benda atau hal yang lain. Kita pun dipanggil untuk melihat dalam diri sesama sebagai pribadi yang lebih berharga dari pada barang atau hal lain.

Apa yang harus kita lakukan untuk menghargai nilai-nilai kehidupan sesama?

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengingatkan kita memiliki persamaan kedudukan dengan sesama yang lain. Ia berkata: “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya.” (Mat 10:24-25). Tuhan Yesus juga mengingatkan kita untuk tidak takut dalam mewartakan Injil sebagai kabar sukacita bagi semua orang. Dalam mewartakan Injil kita menunjukkan wajah Allah yang maharahim kepada semua orang. Sebab itu takut akan Allah haruslah ada di dalam bathin kita.

Kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia membuka mata hati kita supaya selalu menghargai nilai-nilai kehidupan sesama kita. Perkataan Tuhan ini sangat meneguhkan kita semua: “Karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit”. (Mat 10:31). Apakah anda merasa berharga di mata Tuhan dan sesama? Apakah anda juga menghargai sesamamu manusia?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply