Food For Thought: Pelayanan

Menjadi kaya dalam pelayanan kasih

Saya pernah berdialog dengan seorang tokoh umat di sebuah paroki. Ia memulai pembicaraan kami ini dengan memberikan kesan tentang para misionaris zaman doeloe dan para gembala lokal zaman now. Ia mengatakan bahwa para misionaris zaman doeloe mengandalkan kuda tunggangan dan  kuda beban untuk mendekatkan mereka dengan umat yang dilayaninya. Mereka datang dan tinggal bersama umat sampai saatnya meninggalkan stasi misi yang ada. Interaksi pun terjadi dan penuh dengan persaudaraan. Misionaris atau sang gembala itu menyatu dengan umat yang dilayaninya. 

Para gembala zaman now ternyata memang beda. Benar bahwa zaman sudah berubah dan model-model pembinaan para gembala di seminari juga mungkin berubah, tetapi semangat pelayanannyha kiranya masih sama. Tetapi apa yang terjadi sebenarnya? Tokoh umat ini mengatakan bahwa para gembala zaman now, mengunjungi umat dengan kendaraannya sendiri atau dijemput oleh umat. Kalau ia datang dengan kendaraannya sendiri maka ketika tiba di stasi misionaris itu, bagian depan kendaraannya langsung menghadap kembali ke gerbang masuk ke Gereja. Artinya pelayanan kali ini akan tergesa-gesa. 

Gembala zaman now memang beda. Mereka kelihatan cemas, ingin cepat selesai merayakan misa dan kembali ke pastoran. Seakan tidak ada waktu sejenak untuk berbicara dari hati ke hati dengan umat yang mereka layani. Kalaupun ada kesempatan untuk berdialog dengan umat, para gembala ternyata sudah dirasuki oleh monophobia atau lebih dikenal dengan nama phubbing. Phubbing berasal dari kata phone snubbing artinya orang itu cuek tingkat dewa, tidak menaruh perhatian dengan orang di sekitarnya. Dan ternyata itu yang sedang dirasakan bersama  gembala zaman now.

Saya mengingat kata-kata terakhir tokoh umat yang kritis ini: “Gereja katolik sangat membutuhkan para gembala yang benar-benar menjadi penjala manusia, bukan gembala yang hanya sekedar membaca misa tetapi tidak merayakan Ekaristi.” Saya sangat bersyukur dengan sikap dan pikiran kritis tokoh umat ini. Bagi saya para gembala memang membutuhkan penyegaran dan pemikiran kritis umat supaya dapat melayani dengan baik.

Saya sendiri merasa sangat dikuatkan oleh perkataan St. Paulus: “Maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu, dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami, demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini.” (2Kor 8:7). St. Paulus membuka mata rohani saya untuk sadar diri bahwa sebagai seorang gembala, saya dirahmati Tuhan untuk kaya dalam segala sesuatu: dalam iman, dalam perkataan dan pengetahuan. Hal yang penting di sini adalah menjadi kaya dalam pelayanan kasih. 

Role modelnya adalah Tuhan Yesus. Dia adalah Anak Allah yang rela menjadi manusia miskin dan karena kemiskinan-Nya maka kita menjadi kaya dalam segala hal. Yesus mengoreksi cara pandang kita yang sangat berbeda ini. Dia adalah Anak Allah yang kaya, rela menjadi miskin supaya manusia menjadi kaya. Manusia justru sebaliknya, ia mencari kekayaan supaya semakin jauh dari orang-orang miskin. Padahal Tuhan Yesus saja mengasihi kaum miskin. Ia memiliki semangat pelayanan kasih dengan memberi diri sampai tuntas bagi keselamatan kita semua. 

Kita membutuhkan pemimpin yang menyerupai Yesus. Pemimpin yang dapat turun ke bawah, mengalami penderitaan masyarakat dan berusaha mengentaskannya. Pemimpin yang tidak hanya pandai berkata-kata saja. Kata-kata itu hanya menjadi kata-kata kosong belaka. Kita membutuhkan pemimpin yang benar-benar merakyat. Dengan merakyat maka garam dan terang akan menginspirasikannya selama memimpin. Gereja membutuhkan gembala yang semakin hari semakin serupa dengan Yesus sang Gembala Baik. Gembala Baik memimpin umat dengan sepenuh hati bukan setengah hati. Maka menjadi kaya dalam pelayanan kasih berarti memberikan segalanya untuk Tuhan dan sesama, tanpa menghitung-hitung jasa baiknya. 

Mari kita masuk dan melihat diri kita di hadapan Tuhan dan sesama.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply