Homili 2 Juli 2018

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XIII
Am 2:6-10.13-16
Mzm 50: 16bc-17. 18-19.20-21.22-23
Mat 8:18-22

Siap mengikuti Yesus!

Mengikuti Yesus zaman kekinian bagi seorang muda itu memang beda dengan zaman dahulu. Saya masih mengingat bahwa untuk masuk ke seminari menengah sangatlah sulit. Para calon seminaris harus mengikuti seleksi yang sangat ketat, memperhatikan banyak aspek penting seperti sanitas (kesehatan), sapientia (kepandaian) dan santitas (kekudusan). Faktor keluarga dan keaktifannya di gereja juga turut menentukan dalam menyeleksi para calon seminaris. Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah butuh biaya besar. Keluarga-keluarga sederhana memiliki kendala untuk mengijinkan anak-anaknya memasuki seminari menegah. Kriterianya ini memang sangat rasional dan dapat dipahami banyak orang. Pada saat ini semua kriteria masih tetap ada seperti doeloe tetapi peminat untuk seminarinya sudah mulai berkurang, lagi pula mutu seminarinya sudah mulai menurun, sudah kalah bersaing dengan sekolah-sekolah swasta dan negeri lainnya. Maka ada cara lain untuk mendapatkan panggilan dari late vocation. Umumnya mereka sudah sarjana, lebih matang dan sudah memiliki keputusan yang jelas tentang panggilan hidupnya.

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang sangat menarik. Penginjil Matius mengisahkan bahwa banyak orang mengerumuni Yesus. Mereka sudah menyaksikan banyak mukjizat penyembuhan sehingga banyak di antara mereka yang datang mengerumuni-Nya dan berharap mendapatkan penyembuhan lanjutan. Yesus melihat kemungkinan di tempat lain juga membutuhkan-Nya untuk menyembuhkan dan menyelamatkan mereka. Sebab itu Ia bersama para murid-Nya bertolak ke seberang, tempat baru untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Situasi berangkat ke seberang ini mengundang perhatian dari banyak untuk mencari jalan bagaimana mengikuti-Nya dari dekat.

Apa yang terjadi? Orang pertama yang mendekati Yesus adalah seorang ahli Taurat. Ia tentu bukan orang biasa tetapi orang yang sudah pandai memahami isi Kitab Suci. Sebab itu ia datang dan berbicara kepada Yesus bahwa ia berniat untuk mengikuti Yesus kemana saja Ia pergi. Jadi tentu bukan hanya ke seberang danau tetapi juga tempat-tempat lainnya. Yesus memengetahui titik kelemahannya maka Ia berkata: “Serigala mempunyai liang, dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Rupa-rupanya Tuhan Yesus mengetahui titik-titik kelemahan dan sisi gelap dari ahli Taurat tanpa nama ini. Maka jawaban Yesus ini mencerahkannya, mentransfromasi supaya kembali membenahi dirinya sebelum mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus. Kalau mau mengikuti Yesus maka bukalah hatimu dan siapkan tempat yang layak bagi-Nya. Kepandaian dan janji palsu bukanlah jalan terbaik untuk mengikuti Yesus.

Orang kedua yang dikisahkan di sini adalah seorang murid Yesus. Ia berkata: “Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku.” Yesus mendengarnya dan sambil memandangnya dengan penuh kasih dan berkata: “Ikutilah Aku, dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.” Sikap Tuhan Yesus berubah ketika berhadapan dengan seorang murid-Nya. Ia terus terang meminta murid-Nya untuk mengubah kualitas kasihnya kepada keluarga dan kepada Tuhan. Artinya Tuhan harus menjadi pilihan pertama bukan kedua. Kalau mengasihi Tuhan dan mengikuti-Nya maka ia harus berani meninggalkan segala-galanya supaya dapat bersatu dengan Tuhan. Sikap lepas bebas sangat dituntut bagi sang pembuat komitmen.

Dari kedua contoh di atas, kita boleh jujur berkata bahwa kedua contoh ini ‘kita banget’. Banyak kali kita tidak lebih dari sang Ahli Taurat. Pikiran kita sangat legalistis, berani berjanji kepada Tuhan tetapi sulit untuk menepatinya. Makanya Tuhan Yesus akan tetap mengoreksi kita supaya menjadi layak baginya. Kita juga selalu mencari alasan untuk menomorduakan Tuhan Allah dan Kerajaan-Nya. Alasan untuk membenarkan diri selalu menjadi penghalang bagi kita untuk bersatu dengan Kristus.

Lalu apa yang dapat kita lakukan?

Penulis Kitab Amsal membantu kita untuk menjadi pengikut Tuhan yang setia. Caranya adalah dengan bertobat dari dosa dan salah yang dibuat terus menerus di hadapan Tuhan. Dosa yang selalu diulangi misalnya ‘menjual’ sesama untuk memuaskan diri kita sendiri. Kebiasaan menginjak orang-orang kecil, tidak menghargai harkat dan martabat manusia, menyembah berhala dan masih banyak dosa-dosa lain. Ini adalah dosa-dopsa yang selalu diulangi di hadapan Tuhan. Mungkin rasa malu sudah lenyap sehingga selalu mengulangi dosa yang sama.

Kita harus berani melawan lupa. Kita lupa bahwa Tuhan sudah melakukan yang terbaik bagi kita tetapi membalas kebaikan Tuhan dengan aneka kejahatan. Raja Daud dalam Mazmur berkata: “Camkanlah ini hai kamu yang melupakan Allah” (Mzm 50:23). Kalau anda melupakan Allah maka kembalilah kepada Tuhan. Bersiaplah selalu untuk mengikuti Tuhan dari dekat.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply