Apakah aku rendah hati?
Pada suatu hari saya mendengar diskusi dua anak remaja di sebuah halte bus. Mereka mungkin sedang mendiskusikan sebuah tugas mandiri dari sekolah tentang bagaimana menjadi pribadi yang rendah hati. Diskusi sederhana ini memang menarik karena salah seorang di antara mereka sempat berkata: “Emang kamu rendah hati?” Yang seorang lagi hanya tersenyum dan mengatakan: “Saya selalu bertanya dalam diri saya apakah saya rendah hati, tetapi saya masih kesulitan untuk menemukan jawabannya”. Mereka berdua saling tertawa dan melanjutkan perjalanan mereka dengan bus dari sekolah mereka.
Kita selalu berhadapan dengan pertanyaan: “Emang kamu rendah hati?” Pertanyaan ini keluar dari mulut kita karena ada kecenderungan untuk menjadi rendah hati dan juga menjadi sombong. Orang tidak dapat mengungkapkan bahwa ia rendah hati karena ketika mengucapkannya ia akan menunjukkan kesombongannya bahwa ia sedang rendah hati. Orang juga akan mengalami kesulitan ketika bertanya dalam dirinya: “Apakah saya rendah hati?” Hanya orang yang berefleksi dan menyadari dirinya sedang berada di hadirat Tuhan akan menemukan jawabannya yang tepat.
Perlu kita ketahui bahwa kerendahan hati atau ‘humility‘ berasal dari kata ‘humus‘ (Latin), yang berarti tanah/bumi. Maka kerendahan hati berarti kita berusaha untuk menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah. Dalam Kitab kejadian kita menemukan ekspresi ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19). Humus tanah itu memang tidak kelihatan dengan mata tetapi kita dapat menyaksikan tanaman yang subur. Kerendahaan hati itu kebajikan di mana dalam membangun relasi dengan sesama, dalam karya dan pelayanan kita mereka itu mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Hanya orang rendah hati yang melayani dengan sukacita.
Thomas A. Kempis dalam bukunya “De Imitatione Christi” menulis begini: “Anjuran yang baik dan paling berguna ialah: sungguh-sungguh mengenal diri sendiri dan memandang diri sendiri sebagai orang hina. Tidak memandang tinggi diri sendiri dan senantiasa beranggapan bahwa orang lain itu baik hati dan ramah, itu merupakan sifat tabiat yang sangat bijaksana dan sempurna. Biarpun kita melihat orang lain berbuat dosa bahkan melakukan kejahatan yang besar, janganlah sekali-kali kita menganggap diri kita lebih baik dari pada orang lain. Sebab kita sendiri tidak tahu berapa lama kita masih akan tetap kuat dalam keadaan yang baik. Kita lemah tetapi kita tidak boleh menganggap bahwa orang lain lebih lemah dari pada kita.” (II:4).
Pada hari ini Tuhan Yesus menasihati kita semua: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk 9:35). Maka mengikuti St. Agustinus: “Pertama-tama, kerendahan hati, kemudian, kerendahan hati, dan yang terakhir, kerendahan hati.” Kerendahan hati mengubah hidup kita menjadi serupa dengan Yesus yang meskipun anak Allah rela mengosongkan diri-Nya, merendahkan diri-Nya untuk keselamatan kita.
Selamat berhari Minggu, dan belajarlah dari Tuhan Yesus untuk menjadi lemah lembut dan rendah hati.
P. John Laba, SDB