Food For Thougt: Merenung dan Menyiapkan kematian

Merenung dan menyiapkan kematian kita

Don Bosco membiasakan orang-orang muda untuk menyiapkan dirinya memasuki kematian dengan bahagia. Salah satu hal yang selalu ia lakukan adalah mengajak anak-anak muda untuk mendoakan salah satu di antara mereka yang akan lebih dahulu meninggal dunia. Tentu saja suasana bathin anak-anak muda mencekam tetapi Don Bosco sebenarnya tidak bermaksud demikian. Ia menyiapkan mereka supaya berjaga-jaga, selalu siap menyambu kematian dengan bahagia dan gembira. Don Bosco mungkin banyak dipengaruhi oleh St. Alfonsus Liguori yang mengatakan bahwa kematian itu memang indah untuk dirasakan dan dialami sendiri. Atau St. Fransiskus dari Asisi yang menganggap kematian sebagai saudara yang tidak menakutkan. Ini adalah optimisme para kudus yang turut membantuk kita untuk tidak takut memasuki kematian. Para Salesian Don Bosco selalu melakukan latihan untuk memasuki kematian dengan bahagia pada rekoleksi bulanan di setiap komunitas.

Kematian itu sebuah kepastian. Anda boleh berniat untuk hidup seribu tahun tetapi ujung-ujungnya adalah kematian. Ketika anda mengalami maut, itu tandanya bahwa Tuhan menganggap tugas dan pelayananmu di dunia sudah tuntas. Anda boleh protes kepada Tuhan karena usiamu masih produktif dan masih mau melayani, tetapi kalau Tuhan mengatakan sudah cukup maka berpasralah kepada-Nya karena Dialah yang empunya kehidupan. Anda dan saya tidak mengatur Tuhan, Dialah yang mengatur kita. Itulah kefanaan hidup manusia di hadapan Tuhan. Kita hanyalah debu yang akan kembali menjadi debu, tidak lebih dari itu. Ingatlah bahwa ‘hari-hari hidup kita habis bagai asap’. Benar kata orang: “Manusia bisa berubah tetapi hanya ada satu yang tidak berubah yaitu kematian.”

Steve Jobs banyak memberi inspirasi untuk menyiapakan diri menyambut kematian. Sebelum meninggal dunia ia merenung tentang kematian di hadapannya. Ia berkata: “Tuhan memberi kita organ-organ perasa, agar kita bisa merasakan cinta kasih yang terpendam dalam hati kita yang paling dalam. Tapi bukan kegembiraan yang datang dari kehidupan yang mewah — itu hanya ilusi saja. Harta kekayaan yang aku peroleh saat aku hidup, tak mungkin bisa aku bawa pergi. Yang aku bisa bawa adalah kasih yang murni yang selama ini terpendam dalam hatiku. Hanya cinta kasih itulah yang bisa memberiku kekuatan dan terang.”

Selanjutnya ia juga berkata: “Ranjang apa yang termahal di dunia ini? Ranjang orang sakit. Orang lain bisa bukakan mobil untukmu, orang lain bisa kerja untukmu, tapi tidak ada orang bisa menggantikan sakitmu. Barang hilang bisa didapat kembali, tapi nyawa hilang tak bisa kembali lagi. Saat kamu masuk ke ruang operasi, kamu baru sadar bahwa kesehatan itu betapa berharganya. Kita berjalan di jalan kehidupan ini. Dengan jalannya waktu, suatu saat akan sampai tujuan. Bagaikan panggung pentas pun, tirai panggung akan tertutup, pentas telah berakhir.” Kata-kata yang sangat super bagi anda dan saya untuk menyiapkan diri menyambut sang kematian.

Saling mendoakan terutama salah satu di antara kita yang akan meninggal lebih dahulu. Beristirahatlah dalam damai Tuhan, Amen.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply