Homili 3 November 2018

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXX
Flp. 1:18b-26
Mzm. 42:2,3,5bcd
Luk. 14:1,7-11

Hidup adalah Kristus

Dalam sejarah Gereja, kita menemukan figur-figur panutan yang tidak takut untuk menyerahkan nyawa karena mencintai Kristus dan Gereja-Nya. St. Polikarpus ketika ditangkap dan diadili, ia sangat berani menantang para algojonya. Ia dengan tegas menghardik para algojo yang memaksanya untuk menyembah Kaisar Romawi dengan berkata: “Selama 86 tahun aku telah mengabdi kepada Kristus dan Ia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana aku dapat mencaci Raja [Kristus] yang telah menyelamatkanku?” Ia sudah menjadi uskup dan usianya sudah senja namun ia tetap kuat untuk mempertahankan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus. Kasih Tuhan Yesus Kristus dibalasnya dengan menyerahkan dirinya secara total. Tertulianus melihat menyadari bahwa banyak orang menyerahkan dirinya sebagai martir. Maka ia mengatakan: “Darah para martir adalah benih yang subur bagi iman Gereja.” Gereja tetap hidup sampai saat ini karena darah suci para martir, mulai dari Yesus Kristus sendiri, para rasul dan pengganti-penggantinya hingga para martir dalam Gereja modern. Semuanya menyerahkan nyawa karena sangat mencintai Tuhan Yesus.

Pada hari ini kita mendengar sharing iman St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Sebagai seorang rasul dan misionaris sejati, ia mengatakan rasa syukurnya atas pewartaan Injil yang dilakukannya di mana-mana. Paulus sudah melihat buah dari pengurbanan diri adalah keselamatan. Buah ini ada karena doa dan pertolongan Roh Yesus Kristus. Untuk lebih meyakinkan jemaat di Filipi, Paulus menegaskan: “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.” (Flp 1:20). Paulus memiliki satu prinsip yang jelas yakni ‘Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan’ (Flp 1:21). Orang yang bersukacita akan membaktikan seluruh hidupnya sampai tuntas bagi Tuhan dan Gerejanya. Pada akhirnya Paulus berkata: “Dan dalam keyakinan ini tahulah aku: aku akan tinggal dan akan bersama-sama lagi dengan kamu sekalian supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman, sehingga kemegahanmu dalam Kristus Yesus makin bertambah karena aku, apabila aku kembali kepada kamu.” (Flp 1:25-26).

Kesaksian hidup Paulus ini sangat menginspirasi banyak orang sebab menunjukkan bahwa seluruh hidupnya hanya diarahkan atau digerakkan oleh Kristus sendiri. Ini juga yang menjadi alasan mengapa ia memiliki prinsip: hidup adalah Kristus dan mati adalah sebuah keberuntungan. Hidup santu Paulus diperuntukan hanya bagi Tuhan. Tidak ada cela bagi orang lain, hanya Yesus saja yang mendampinginya sampai keabadian. Semua ini dibuktikan Paulus dalam surat-suratnya. Ia tidak takut untuk mewartakan Injil. Ia berkata: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9:16).

Paulus memiliki kerinduan untuk tetap melayani Yesus sampai tuntas. Sekalipun banyak penderitaan dan kemalangan yang dialaminya namun ia tidak pernah goyah. Cintanya kepada Tuhan Yesus ternyata tidak dapat berubah. Keteladanan Paulus ini sesuai dengan kerinduan umat Israel yang memanjatkan doa-doanya: “Jiwaku haus akan Allah, Allah yang hidup” (Mzm 42:2). Kita juga mengikuti jalan hidup St. Paulus. Kita memiliki kerinduan untuk melayani Tuhan sebagaimana dilakukan Paulus dengan demikian kita juga hidup hanya bagi Tuhan. Bagi saya, hidup Kristiani akan bermakna apabila hidup kita hanya diperuntukkan bagi Tuhan Yesus dan kemuliaan-Nya.

Tuhan Yesus menunjukkan kemuliaan-Nya dalam semangat rendah hati. Ia tidak memandang diri-Nya sebagai Anak Allah sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan sikap dan keralaan-Nya untuk mengosongkan diri, merendahkan diri, mengambil rupa sebagai hamba dan wafat di kayu salib. Sikap ini yang seharusnya menjadi milik kita bersama sebagai pengikut-Nya. Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengajak kita supaya teladan kerendahan hati-Nya itu juga menjadi milik kita. Sikap mencari popularitas, mencari hormat tidaklah berguna bagi kita. St. Paulus tidak mencari kebanggan sebagai rasul tetapi ia mengatakan bagiku, hidup adalah Kristus. Kita semua dalam semangat rendah hati di hadirat Tuhan, mau hidup hanya bagi Tuhan Yesus saja.

Pada hari ini kita semua merasa sangat dikuatkan oleh Tuhan melalui sabda-Nya. Mari membangun sebuah prinsip: kita hidup bagi Tuhan. Hidup bagi Tuhan tidak hanya sebagai sebuah kerinduan tetapi usaha yang terus merus untuk bersatu dengan-Nya. Hendaknya jiwa kita haus akan Tuhan, Allah yang hidup. Bersama Tuhan kita pasti bisa.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply