Homili 22 Desember 2018

Hari Sabtu, 22 Desember 2018
1Sam. 1:24-28
MT 1Sam. 2:1,4-5,6-7,8abcd
Luk. 1:46-56

Seorang ibu yang selalu bersyukur

Ada seorang ibu yang mendatangiku di kantor. Ia membawa 31 amplop intensi misa, semuanya ucapan syukurnya kepada Tuhan. Ia menyerahkannya kepadaku sambil berkata: “Romo ini intensi-intensi syukur saya selama satu bulan, dari tanggal 1 sampai 31 bulan ini. Tolong doakan intensi syukur saya ini ya.” Saya menjawabnya: “Maaf bu, saya tidak bisa menerima semua amplop ini sekarang. Silakan datang untuk mengikuti misa harian selama 31 hari dan mohonlah supaya romo-romo mendoakannya dalam perayaan misa harian di gereja.” Saya memberi penjelasan tambahan dan ia menerima dan memahaminya. Hal yang menggembirakan hati saya adalah komitmen pribadinya untuk bersyukur. Ia mengikuti misa harian dan menuliskan ucapan syukurnya dalam hal apa saja selama 31 hari. Saya merasa bangga dengan komitmen pribadinya untuk bersyukur kepada Tuhan. Saya membayangkan bahwa banyak orang belum belajar untuk bersyukur kepada Tuhan seperti beliau selama sebulan penuh.

Hidup yang bermakna adalah hidup yang dihiasi oleh rasa syukur yang mendalam dalam semua situasi. Kita boleh bersyukur pada saat-saat yang membahagiakan, kita tertawa lepas bersama orang-orang di sekitar kita. Kita bersyukur pada saat-saat yang menyedihkan, saat air mata bercucuran karena kemalangan yang melanda hidup ini. Lihatlah bahwa banyak orang akan bersyukur kepada Tuhan karena merasa bahagia dalam hidupnya, namun akan marah atau masa bodoh kepada Tuhan ketika mengalami penderitaan dan kemalangan. St.; Paulus mengucapkan rasa syukurnya kepada Tuhan meskipun mengalami banyak penderitaan. Ia berkata: “Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku.” (1Tim 1:12). Paulus setia dalam pelayanannya sebagai abdi Kristus dengan rela menderita, masuk dan keluar penjara, dipermalukan di depan umum. Seorang utusan Tuhan untuk bersaksi haruslah bersyukur atas segala situasi hidupnya, di saat senang dan juga susah.

Pada hari ini kita berjumpa dengan dua sosok ibu yang bersyukur karena mengalami rahmat Tuhan yang luar biasa yaitu Hana ibunya Samuel dan Maria, ibundanya Yesus Kristus. Sosok pertama adalah Hana, ibunda Samuel dalam Kitab Perjanjian Lama. Nama Hana dalam bahasa Ibrani: חנה Chana atau Ḥannah berati “elok” atau “menyenangkan”. Suaminya bernama Elkana. Ia tinggal bersama suami dan keluarganya di Ramataim-Zofim (Rama), pegunungan Efraim. Suaminya, Elkana, berasal dari suku Lewi yang tinggal di tanah milik suku Efraim. Hana tidak memiliki anak maka Elkana menikah dengan Penina yang memberikan anak-anak kepada Elkana. Tentu saja situasi ini tidaklah enak bagi Hana sebagai istri pertama. Elkana memang mencintai Hana tetapi tidak dapat memberi persembahan karena Hana dicap mandul. Penina sadar bahwa Elkana lebih mengasihi Hana padahal tidak memberinya anak seperti dirinya, maka ia selalu berusaha untuk mengganggu kehidupan pribadi Hana.

Hana pernah menangis namun tidak putusa asa dan kehilangan harapan. Ia tetap mempercayakan dirinya kepada Tuhan dengan berdoa dan berkorban. Pada suatau hari Hana berdiri di depan bait suci Tuhan, dengan hati pedih ia berdoa kepada Tuhan sambil menangis tersedu-sedu. Ia bernazar, “Tuhan semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada Tuhan untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.” Hana bernazar bahwa anaknya akan menjadi nazir Tuhan seumur hidupnya. Imam Eli berpikir bahwa Hana mabuk dan menegurnya di rumah Tuhan tetapi ia menjelaskan tentang suasana hidupnya kepada imam Eli.

Semua harapan Hana menjadi nyata. Ia mengandung dan melahirkan Samuel anaknya. Nama Samuel (שְׁמוּאֵ֔ל) artinya ‘nama-Nya adalah Allah’ (‘shemu’, namanya; ‘El’, Allah). Banyak orang mengartikannya secara harafiah berarti Allah mendengar. Nama ini erat terkait dengan janji Hana kepada Allah di rumah Tuhan untuk menyerahkan anak yang akan dilahirkannya menjadi seorang nazir bagi Allah. Hana menunjukkan rasa syukurnya dengan mengantar Samuel ke rumah Tuhan di Silo dengan beberapa persembahan sesuai tradisi mereka saat itu. Samuel pun dipersembahkan kepada Tuhan. Hana menceritakan pengalaman masa lalunya dan dengan penuh syukur: “Mohon bicara tuanku, demi tuanku hidup, akulah perempuan yang dahulu berdiri di sini dekat tuanku untuk berdoa kepada Tuhan. Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka akupun menyerahkannya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan.” (1Sam 1:26-28).

Apa yang dapat kita pelajari dari sosok Hana dalam perikop kita? Hana adalah salah satu ibu di antara kita pada saat ini, di dalam keluarga modern. Ia adalah sosok wanita hebat yang tidak mudah putus asa, bertahan dalam penderitaan dan tahu bersyukur kepada Tuhan atas rahmat yang diterimanya dari Tuhan. Ia menunjukkan rasa syukurnya dengan menepati nazarnya kepada Tuhan. Ia adalah wanita yang tidak ingkar janji kepada Tuhan. Bersyukur adalah pintu masuk untuk bersatu dengan Tuhan. Bagi saya inilah sosok Hana yang perlu kita ikuti dalam hidup ini.

Dalam bacaan Injil kita berjumpa dengan sosok Maria, Bunda Yesus. Ia mendengar khabar sukacita dari Tuhan dan melakukan perjalanan dari Nazaret ke Ein Karem sepanjang 145km. Ia bertekad untuk melayani Elizabeth saudaranya yang oleh Malaikat Gabriel, sedang memasuki usia kehamilan 6 bulan. Perjumpaan antara Maria dan Elizabeth, antara Yesus dalam rahim Maria dan Yohanes Pembaptis di warnai oleh rasa sukacita dalam Roh Kudus. Sebab itu Elizabeth sangat bersyukur karena kehadiran Maria di rumahnya. Maria pun bersyukur kepada Tuhan. Dalam magnificatnya ia berkata: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” (Luk 1:46-47). Maria bersyukur kepada Tuhan sebab ‘Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadanya’.

Pada hari ini kita belajar dari Hana dan Maria yang selalu bersyukur kepada Tuhan. Hidup adalah sebuah syukur yang terus menerus. Bersyukur atas segala yang baik dan tidak baik di dalam hidup ini. Bersyukur atas kasih Tuhan yang tiada batasnya bagi kita semua. Dua sosok wanita tua (Hana) dan wanita muda (Maria) mewakili kita semua untuk selalu bersyukur kepada Tuhan di dalam hidup ini.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply