Food For Thought: Keluarga yang Ekaristis

Mewujudkan keluarga Ekaristis

Adalah Santa Theresia dari Kalkuta. Orang kudus modern bernama asli Agnes Gonxha Bojaxhiu ini pernah mengungkapkan isi hatinya tentang pengalaman Ekaristi dalam sebuah pesan indah ini: “Hidupmu harus ditenun di sekeliling Ekaristi. Arahkan matamu pada-Nya. Dialah cahaya. Bawalah hatimu sedekat-dekatnya pada hati Ilahi-Nya, mintalah dari-Nya rahmat untuk mengenal-Nya, kasih untuk mencintai-Nya, keberanian untuk melayani-Nya. Carilah Dia dengan kerinduan.” Pengalaman rohani dan ekaristis santa Theresia dari Kalkuta ini, turut membuka wawasan kita untuk memahami dengan lebih baik lagi perayaan Ekaristi harian dan Mingguan di dalam Gereja Katolik. Artinya, kita menghadiri dan merayakan Ekaristi dengan baik dan Ekaristi benar-benar mengubah seluruh hidup kita. Perubahan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan pribadi kita.

Membuka pemahaman kita

Kata Ekaristi dalam Bahasa Yunani adalah εὐχαριστία (eucharistia) yang berarti syukur. Pada masa Gereja Perdana, ekaristi adalah nama yang digunakan khusus pada bagian doa syukur sebelum adanya ‘transubstansi’ atau perubahan rupa roti menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus. Dalam perkembangan selanjutnya, Ekaristi dipakai untuk seluruh perayaan, baik bagian Sabda maupun bagian Ekaristinya. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menegaskan bahwa Ekaristi kudus adalah sebuah sakramen di mana Tuhan Yesus Kristus memberikan diri-Nya secara total bagi manusia yang berdosa. Artinya Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya yang adalah diri-Nya sendiri bagi kita. Dengan demikian dalam kasih-Nya yang agung, kita juga dapat menyerahkan diri kepada-Nya dan bersatu dengan-Nya dalam komuni kudus. Hanya dengan jalan ini, kita semua menjadi satu Gereja dalam Tubuh Mistik Kristus. (KGK, 1322, 1324, 1409, 1413). Konsili Vatican II sebelumnya sudah menegaskan bahwa Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup iman Kristen (Lumen Gentium, 11). Jadi, ketika kita menyantap Tubuh dan Darah Kristus, kita sadar diri bahwa kita hendak bersatu dengan Tuhan Yesus Kristus sendiri yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita.

Ekaristi adalah sebuah kenangan atau memorial. Ketika kita memandang Yesus dalam Ekaristi kudus, kita sungguh sadar dan semakin percaya kepada-Nya bahwa Ia menyerahkan diri-Nya kepada para murid (dan Gereja masa kini) dalam rupa roti dan anggur dan memerintahkan mereka untuk terus merayakan Ekaristi sebagai sebuah kenangan setelah kematian-Nya. Ini juga menjadi bukti nyata bahwa Yesus Kristuslah yang menetapkan Ekaristi. Untuk lebih jelas mari kita perhatikan perkataan St. Paulus berikut ini: “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” (1Kor 11:23-25).

Perkataan St. Paulus ini dipertegas lagi oleh Paus Emeritus Benediktus ke-XVI, ketika mengatakan: “Bagaimana Yesus bisa membagikan Tubuh dan Darah-Nya? Dengan mengubah roti menjadi Tubuh-Nya dan anggur menjadi darah-Nya, Dia mengantisipasi wafat-Nya, menyambut dalam hati-Nya, dan mengubahnya menjadi tindakan cinta kasih. Apa yang di luar merupakan kekerasan yang brutal berupa penyaliban, dari dalam menjadi tindakan cinta kasih dan pemberian diri secara total.” Perkataan Paus Emeritus ini juga kiranya sejalan dengan St. Yohanes Maria Vianney yang mengatakan: “Allah akan memberikan kita sesuatu yang lebih besar jika Dia memiliki sesuatu yang lebih besar dari pada Diri-Nya sendiri.” Pemberian yang dimaksud adalah Yesus Kristus sendiri, Anak-Nya yang tunggal dalam Paskah-Nya.

Ekaristi kudus adalah perjamuan

Ekaristi kudus, menurut St. Fransiskus dari Sales, merupakan kesempatan bagi kita untuk menjadi satu dengan Allah seperti makanan bersatu dengan tubuh biologis kita. Memang benar adanya bahwa ketika kita menyantap makanan tertentu, makanan itu akan menyatu dalam tubuh kita. Demikian juga ketika kita menerima komuni kudus dalam Sakramen Ekaristi, kita semakin bersyukur sebab memiliki kesempatan untuk bersatu dengan Tuhan dalam segala hal. Itu sebabnya Ekaristi kudus itu menguduskan kita karena melalui Sabda dan Ekaristi kita benar-benar bersatu dengan Tuhan.

Ekaristi memiliki beberapa sebutan yang lazim dikenal di dalam Gereja Katolik. Banyak kali kita mendengar atau bahkan kita sendiri menyebutnya kurban kudus, Misa kudus, Kurban Misa. Bayangan kita adalah pada pengurbanan jiwa dan raga Tuhan kita Yesus Kristus bagi manusia yang berdosa. Semua pengurbanan Yesus Kristus ini semata-mata karena cinta kasih-Nya bagi kita. Terlepas dari kata kurban dalam Ekaristi kudus, ada juga nama-nama lain yang lazim dalam Gereja katolik yakni:

Pertama, Perjamuan Tuhan. Perayaan Ekaristi adalah sebuah kenangan akan perjamuan Tuhan Yesus dengan para murid-Nya. Sifat perayaan ini adalah antisipatif akan perjamuan abadi di Surga. Artinya ketika kita hadir dan aktif dalam merayakan Ekaristi, kita mulai berusaha untuk mengalami Ekaristi abadi bersama Tuhan di Surga. Jadi di sini, kita bukanlah yang menyelenggarakan Ekaristi melainkan Tuhan sendiri yang memanggil kita untuk beribadah kepada-Nya. Tuhan sendiri yang menghendaki supaya kita tetap mengenang-Nya. Kedua, Pemecahan Roti. Pemecahan Roti merupakan sebuah tradisi makan bersama bangsa Yahudi kuno. Tuhan Yesus sebagai kepala keluarga para rasul melakukan hal yang sama, yang nantinya menjadi sebuah kenangan akan Paskah Kristus. St. Lukas dalam Kisah Para Rasul melukiskan perayaan Ekaristi dalam Gereja perdana sebagai upacara pemecahan Roti. Ini menjadi simbol saling berbagi, saling berempati sebagai sesama manusia di hadirat Tuhan.

Ketiga, Perjamuan Ekaristi. Ini adalah sebuah perjamuan syukur atau perjamuan ucapan syukur sebagaimana dilakukan Yesus dan para murid-Nya pada malam perjamuan terakhir. Keempat, Kenangan akan Paskah Kristus. Ekaristi merupakan sebuah kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam perayaan Ekaristi, kita merasakan kehadiran Kristus dan Paskah-Nya bagi kita. Kelima, Liturgi Kudus dan Ilahi. Ekaristi merupakan sebuah liturgi kudus dan ilahi. Ini juga merupakan sebuah misteri suci di dalam Gereja. Dalam Ekaristi kita dapat merasakan sebuah persekutuan antara Gereja yang sedang berziarah dan Gereja yang jaya di surga. Tuhan Yesus sendiri hadir secara nyata dalam rupa Roti dan Anggur. Itulah sebabnya kita menyebut Ekaristi sebagai sakramen Mahakudus. Keenam, Komuni kudus. Ekaristi selalu dikaitkan dengan komuni kudus. Kitab bersatu dengan Kristus dalam Sabda dan bersatu dalam Komuni Tubuh dan Darah Kristus yang kita terima dengan penuh iman.

Ekaristi kudus adalah sebuah perjamuan yang mempersatukan kita sebagai manusia dengan manusia dan dengan Tuhan Yesus sendiri. Kita bersatu dengan Tuhan Yesus yang berbicara dengan penuh kasih melalui Sabda-Nya. Kita mestinya selalu berbahagia dan merasa dicintai Tuhan ketika mendengar Sabda Tuhan sendiri. Kita merasa semakin dicintai ketika Tuhan Yesus memberikan Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan dan minuman rohani. Ini menunjukkan kasih Tuhan Yesus yang begitu agung bagi kita. Ia sendiri berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13).

Ekaristi adalah sebuah perayaan keluarga. Yesus membentuk Ekaristi di dalam sebuah komunitas atau keluarga bersama para murid-Nya. Gereja perdana menjadi sebuah keluarga yang berkumpul untuk mendengar Sabda dan memecahkan Roti atau berekaristi bersama. Gereja menjadi sebuah komunitas atau keluarga yang selalu berkumpul bersama untuk mendengar Sabda dan merayakan Ekaristi. Sebab itu Gereja benar-benar menjadi sebuah komunitas atau sebuah keluarga yang Ekaristis. Keluarga sebagai tempat di mana setiap pribadi berkumpul bersama, berkurban dan membangun sebuah budaya kasih yang sempurna. Satu hal yang nyata adalah harapan bahwa anak-anak selalu pergi ke Gereja secara bersama-sama dengan para orang tuanya. Anak-anak merasakan keluarganya yang Ekaristis ketika melihat ayah dan ibunya berdoa.

Keluarga yang Ekaristis

Apakah sebuah keluarga dapat bersifat ekaristis? Apakah sebuah keluarga merupakan kumpulan pribadi-pribadi ekaristis? Ini adalah dua pertanyaan sederhana yang memandu kita untuk memahami keluarga yang Ekaristi. Ekaristi merupakan sebuah peristiwa iman. Setiap pribadi berkumpul bersama, menunjukkan semangat ‘cor unum et anima una’ atau semangat sehati dan sejiwa. Setiap pribadi yang merasakan semangat seperti ini akan mengalami sebuah persekutuan yang mendalam dengan Tuhan dan sesama manusia.

Keluarga yang Ekaristis adalah keluarga yang merasakan kasih dan kebaikan Tuhan. Kekhasan keluarga Ekaristis adalah mereka selalu berkumpul bersama dalam suasana sehati dan sejiwa, apapun situasi dan perbedaan yang mereka miliki di dalam keluarga. Keluarga yang Ekaristis itu berani meninggalkan segalanya untuk bersatu dalam segala hal di dalam keluarga. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” (Mat 19:5). Persekutuan jiwa dan raga suami dan istri adalah persekutuan Gereja dan Tuhan Yesus sendiri. Hal ini sejalan dengan St. Paulus yang menulis: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:31-32).

Keluarga yang Ekaristis memiliki kekuatan dalam aneka bentuk pengurbanan diri. Sama seperti Tuhan Yesus yang berkurban bagi Gereja-Nya, demikian juga para suami dan istri dan anak-anak haruslah menunjukkan semangat rela berkorban satu sama lain. Semangat pengurbanan diri terwujud karena kasih kepada Tuhan dan sesama. Tanpa pengurbanan diri keluarga kehilangan nilai ekaristinya. Keluarga ekaristis juga selalu bersyukur dalam segala hal. Ketika rasa syukur mulai luntur dan hilang maka keluarga itu bukan lagi keluarga Ekaristis.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply