Homili 5 Agustus 2019

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XVIII
Pemberkatan Gereja Basilik Santa Perawan Maria
Bil. 11:4b-15
Mzm. 81:12-13,14-15,16-17
Mat. 14:13-21

Kita memang beda!

Saya pernah membaca sebuah tulisan tangan, refleksi seorang pemuda setelah mengikuti rekoleksi bulanan. Ia merasa begitu berbeda dengan Tuhan setelah merefleksikan hidup pribadinya. Ia menulis refleksinya seperti ini: “Tuhan begitu kudus dan suci sedangkan saya masih hidup dalam dosa. Saya berusaha untuk bertobat namun masih menggunakan label ‘berjuang dan terus berjuang’. Tuhan begitu sabar sedangkan saya merasa selalu tergesa-gesa, maunya cepat tuntas suatu pekerjaan meskipun hasilnya tidak memuaskan. Tuhan suka mengampuni sedangkan saya masih suka menyimpan dendam. Tuhan meyelamatkan semua orang sedangkan saya ingin mencelakakan dan mencederai orang lain. Tuhan sungguh berbeda dengan saya. Kita memang beda!” Saya berusaha untuk memahami alur pemikiran pemuda ini. Ia menunjukkan dirinya apa adanya, tanpa embel-embel lain. Ia polos dan jujur di hadapan Tuhan dan sesama. Pengalaman iman pemuda ini menginspirasikan saya untuk merenungkan pesan-pesan Tuhan dalam bacaan-bacaan Liturgi pada hari ini.

Dalam bacaan pertama kita mendengar kelanjutan perjalanan Bangsa Israel di padang gurun. Perjalanan ini diwarnai aneka pergumulan dan rasa bersungut-sungut. Mungkin kita saat ini menertawakan mereka karena selama bertahun-tahun mengalami penindasan di tanah Mesir namun bangsa Israel hanya mengingat makanan dan minuman. Mereka ingat akan daging, ikan, mentimun, semangka, aneka bawang. Masa hanya beginian masih mau bersungut-sungut kepada Allah yang Mahabaik? Inilah perkataan mereka kepada Musa: “Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat.” (Bil 11:4-6). Manna merupakan makanan pemberian Tuhan namun bangsa Israel merasa bahwa manna adalah makanan yang membosankan. Perilaku bangsa Israel ini sangat tepat dengan perkataan Paulus: “Tuhan mereka adalah perut mereka” (Flp 3:19). Di tempat lain Paulus dengan tegas mengatakan: “Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh.” (1Kor 6:13).

Musa merasa prihatin dengan orang-orang Israel yang menangis dan mengeluh soal makanan. Tuhan menunjukkan murkanya kepada orang Israel yang bersungut-sungut ini. Sikap Tuhan ini tidak mengenakkan hati Musa. Musa lalu menyampaikan uneg-unegnya kepada Tuhan dalam rintihan hati seperti ini: “Mengapa Kauperlakukan hamba-Mu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia di mata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggung jawab atas seluruh bangsa ini? Akukah yang mengandung seluruh bangsa ini atau akukah yang melahirkannya, sehingga Engkau berkata kepadaku: Pangkulah dia seperti pak pengasuh memangku anak yang menyusu, berjalan ke tanah yang Kaujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyangnya? Dari manakah aku mengambil daging untuk diberikan kepada seluruh bangsa ini? Sebab mereka menangis kepadaku dengan berkata: Berilah kami daging untuk dimakan. Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja, jika aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, supaya aku tidak harus melihat celakaku.” (Bil 11: 11-15).

Musa adalah seorang leader yang sedang mengalami tantangan besar. Tuhan menunjukkan belas kasih-Nya kepada bangsa Israel namun balasan mereka adalah menjauh dan bersungut-sungut. Tuhan hendak menunjukkan murka-Nya dengan hukuman namun Musa berusaha untuk membentengi mereka. Sebab itu Ia menunjukkan semangat kepemimpinannya dengan mengungkapkan hatinya kepada Tuhan. Pengalaman Musa adalah pengalaman Yesus sebagai Musa baru. Ia berjalan bersama para murid-Nya. Mereka menyaksikan mukjizat-mukjizat yang sudah terjadi, mendengar Sabda-Nya di mana Yesus menunjukkan kuasa dan wibawa-Nya. Namun sayang sekali, ketika mereka dituntut untuk berbelas kasih kepada orang-orang lain, mereka tidak berdaya. Tuhan kembali menjadi sosok yang mengajar mereka untuk bersikap peduli kepada sesama.

Penginjil Matius mengisahkan bahwa banyak orang mencari Yesus. Mereka sudah mendengar dan berusaha untuk mengikuti-Nya dari dekat. Mereka memilih untuk mengikuti jalan pintas supaya dapat berjumpa denan Yesus. Yesus senantiasa menunjukkan belas kasih kepada orang-orang yang sangat membutuhkan-Nya. Orang-orang sakit disembuhkan Yesus. Ia mengingatkan para murid supaya mencari jalan untuk memberi makan kepada banyak orang yang datang kepada-Nya. Para murid tanpa berefleksi menjawabi Yesus: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.” Ini menjadi kesempatan supaya Tuhan Yesus dapat menerangkan Injil kepada mereka terutama bagaimana menghargai diri dan sesama ciptaan. Tuhan Yesus membuat sebuah ekaristi sederhana dengan adanya 2 ikan dan 5 roti. Ia bersyukur kepada Bapa, lalu membagikannya kepada para murid dan para murid membagikannya kepada para hadirin. Ada lima ribu laki-laki dan belum terhitung wanita dan anak-anak yang ikut makan sampai kenyang.

Kisah Injil ini memang sangat menarik. Ada beberapa hal yang membantu kita untuk ‘berbeda’ dalam hidup ini: Pertama, Tuhan mengajar kita untuk berempati dengan sesama yang sangat membutuhkan. Ketika melihat orang-orang yang sedang kelaparan, Yesus mengajak para murid-Nya untuk berempati dengan memberi mereka makan. Tentu di mata manusia itu sulit tetapi tidak demikian bagi Allah. Kedua, Tuhan mengajar para murid berempati karena Dia sendiri melakukannya bukan hanya dengan berkata-kata. Dalam Ekaristi, kita mengerti dengan baik bahwa Tuhan Yesus berempati dengan manusia, dengan memberi bukan lagi roti tetapi tubuh dan darah-Nya sendiri sebagai santapan rohani. Ketiga, Keberanian untuk memberi meskipun hanya sedikit yang kita miliki. Jangan takut untuk menjadi miskin karena Tuhan tetap akan mencukupkan kita.

Pada hari ini kita pun merasa berbeda dengan Tuhan. Kita tidak lebih baik dari bangsa Israel yang tidak bersyukur kepada Tuhan karena membebaskan mereka dari Mesir. Kita tidak lebih baik dari para murid yang berpikiran sempit sehingga tidak berani memberi makan kepada banyak orang. Padahal mereka sudah menyaksikan mukjizat yang dilakukan Yesus sendiri. Kita berbeda dengan Tuhan, namun berusaha untuk menyerupai Dia sebagai pribadi yang berempati, kuat seperti Musa dan Yesus, setia seperti Tuhan Allah sendiri.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply