Homili 4 November 2019

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXXI
Peringatan wajib St. Karolus Borromeus
Rm. 11:29-36
Mzm. 69:30-31,33-34,36-37
Luk. 14:12-14

Undanglah orang-orang miskin!

Di banyak tempat ada sebuah kebiasaan yang disebut rekadu. Rekadu biasa dilakukan oleh tuan pesta dengan mengundang keluarga, kerabat dan sahabat kenalan supaya menghadiri pesta tertentu di dalam keluarga. Biasanya ada seorang yang dipercayakan pihak keluarga untuk membuat daftar nama para undangan dimaksud. Dia akan berjalan dari rumah ke rumah untuk menyampaikan undangan pihak keluarga. Para undangan bisanya datang dengan membawa sesuatu untuk mendukung tuan pesta. Daftar rekadu ini tetap akan menjadi pegangan setiap keluarga supaya di kesempatan lain mereka akan saling mengundang lagi. Saya pernah mengalaminya dalam rekadu pernikahan, ulang tahun, pembaptisan dan komuni pertama. Tentu saja rekadu ini memberi dampak yang sangat positif terutama dalam usaha untuk mempersatukan setiap anggota keluarga atau rumpun keluarga. Usaha untuk saling membalas budi baik juga menjadi salah satu nilai positif dalam relasi sebuah keluarga.

Kebiasaan rekadu juga pernah menjadi sebuah kebiasaan di daerah-daerah di sekitar Laut Tengah (mediterranean sea). Masyarakat setempat memiliki kebiasaan untuk merekadu atau mengundang keluarga, sahabat kenalan dan orang-orang kaya untuk berpartisipasi dalam sebuah acara keluarga. Membalas undangan adalah sebuah tindakan yang baik karena dapat mempererat tali silaturahmi antar keluarga. Kebiasaan ini tetap berlangsung hingga zaman Tuhan Yesus. Sebab itu Tuhan Yesus mau memberi catatan kritis dan koreksi penting supaya orang-orang pada masanya dapat berubah secara radikal dalam memberi rekadu tertentu.

Pada hari ini kita mendengar Yesus menegur seorang Farisi yang mengundang Dia untuk makan Bersama. Sambil duduk dan maka Bersama Yesus menasihatinya: “Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya.”(Luk 14:12). Mungkin orang Farisi ini kaget dengan perkataan Yesus ini sebab saling mengundang seperti ini sudah membudaya. Ini adalah kesempatan untuk berkumpul bersama, mengikat persatuan di antara rumpun-rumpun keluarga. Ini memang hal yang positif secara manusiawi namun bukan secara ilahi. Ada sesuatu yang kurang yaitu perhatian kepada orang-orang kecil yakni mereka yang miskin dan lemah.

Untuk itu Tuhan Yesus mengatakan: “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”(Luk 14:13-14). Mungkin mengherankan bagi orang Farisi ini sebab dia sudah terbiasa mengundang maka orang-orang terkenal. Tiba-tiba diminta Yesus untuk mengundang orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan buta. Ini bertentangan dengan kebiasaan yang sudah lama mereka miliki. Namun Tuhan Yesus memiliki maksud yang indah. Ia mengubah cara pandang mereka supaya mereka juga berubah untuk menjadi serupa dengan Yesus.

Tuhan Yesus dikenal memiliki sahabat-sahabat dekat yaitu orang-orang miskin, orang-orang sakit seperti orang cacat, lumpuh, buta dan kaum pendosa. Ia memilih mereka menjadi sasaran perutusan-Nya sebab tidak ada banyak orang pada zaman-Nya yang menunjukkan keprihatinan dan perhatian kepada golongan manusia seperti ini. Dia melakukan karya-Nya ini dengan penuh kesadaran dan memenangkan jiwa-jiwa mereka. Yesus melayani mereka namun Ia tidak pernah menjadi cacat, lumpuh, buta dan pendosa. Pelayanan-Nya justru mengubah mereka menjadi baru, dan menyandang predikat sebagai anak Allah.

Sikap Yesus sebagai gembala baik ini yang patut kita ikuti. Kita butuh semangat pastoral gembala baik di mana keprihatinan Yesus menjadi keprihatinan kita. Kita sebagai Gereja haruslah mencari mereka yang miskin dan yang tersesat di dalam hidupnya. Paus Fransiskus mengajak para gembala supaya menjadi gembala yang berbau domba. Gembala yang berbau domba pasti mengenal domba-dombanya. Gereja yang tidak menunjukkan keprihatinan kepada orang-orang miskin, bukan lagi menjadi karakter Gereja Katolik yang benar. Gereja harus mengabdi kepada kaum miskin. Kita mengenal semangat option for the poor sepanjang zaman dan menjadi sebuah karakter Gereja Katolik.

Santu Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengingatakan: “Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya. Sebab sama seperti kamu dahulu tidak taat kepada Allah, tetapi sekarang beroleh kemurahan oleh ketidaktaatan mereka, demikian juga mereka sekarang tidak taat, supaya oleh kemurahan yang telah kamu peroleh, mereka juga akan beroleh kemurahan.” (Rm 11:29-31). Ini adalah jalan bagi kita semua untuk bertumbuh menjadi anak-anak Allah. Semua karena kasih dan kemurahan-Nya. Orang-orang yang tidak taat dijadikannya taat supaya mengalami keselamatan abadi. Ini memang rencana dan pikiran-Nya bukan pikiran kita. Hal yang menarik perhatian kita adalah ketika Paulus mengatakan: “Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm 11:36).

Kita memohon rahmat pembaharuan diri melalui St. Karolus Boromeus yang pestanya kita rayakan pada hari ini. Beliau pernah berkata: “Hendaklah semua perbuatanmu dilakukan dengan cinta”. Dari Carolus Boromeus kita belajar untuk membangun semangat Gereja untuk melayani orang miskin dengan tinggal bersama mereka. Carolus Boromeus laksana gembala berbau domba karena dia hidup dan meninggal di tengah kaum miskin yang dilayaninya. Ini adalah ungkapan kekaguman terhadap orang kudus ini: “Kasih mendorong ia mengosongkan isi rumahnya dan meninggalkan segala kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan, menopang mereka yang lapar, untuk memberikan pakaian dan meringankan beban orang sakit. Ia mendirikan institusi yang bertujuan untuk memberi pertolongan sosial dan membantu mereka yang membutuhkan; tetapi kasihnya bagi orang miskin dan menderita bersinar dalam cara yang luar biasa selama wabah tahun 1576, ketika Uskup Agung suci ini memilih untuk tinggal di tengah umatnya untuk menyemangati mereka, meyalani dan membela mereka dengan senjata doa, silih, dan kasih.”

St. Carolus Boromeus, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply