Homili 22 April 2020

Hari Rabu, Pekan ke-2 Paskah
Kis. 5:17-26
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9
Yoh. 3:16-21

Generasi Kasih

Saya tertarik dengan Antifon Pembuka dalam perayaan Ekaristi hari ini: “Aku hendak memuji Engkau, ya Tuhan, dan mewartakan nama-Mu kepada saudara-saudaraku.” (Mzm 18:50; 22:23). Ada dua kata kunci dari antifon ini yang menginspirasi saya untuk merenungkan di awal homiliku ini, yakni kata memuji dan mewartakan. Pertama, kata memuji. Dikatakan ‘Aku hendak memuji Tuhan’. Ini adalah kalimat yang merujuk pada sebuah perbuatan nyata yang patut kita lakukan dalam masa yang sulit akibat covid-19 ini. Banyak di antara kita yang selama ini ‘drs’ atau di rumah saja, ada yang ‘wfh’ atau work from home dan ada yang di rumahkan selamanya dari pekerjaannya. Situasi ini tentu merupakan situasi yang sangat sulit dan menantang hidup sebagai orang beriman untuk tetap memuji Tuhan atau berhenti memuji Tuhan. Kata kedua yaitu mewartakan. Dikatakan dalam Mazmur ‘Aku mewartakan nama-Mu kepada saudara-saudaraku’. Kata kedua ini menantang perilaku kita sebagai orang beriman. Apakah dalam situasi yang sulit ini kita masih mau mewartakan nama Tuhan kepada saudara-saudara kita? Apakah kita masih mau mewartakan nama Tuhan Yesus yang bangkit mulia kepada saudara-saudara kita? Kalau kita sungguh-sungguh hidup sebagai orang beriman maka dengan sebulat hati berani mengatakan bahwa saya siap untuk memuji dan mewartakan nama Tuhan. Kalau kita hanya sekedar beriman maka kita akan memilih diam, pasif dan apatis karena semuanya berpusat pada diri kita bukan pada Tuhan.

Pada hari ini kita masih berjumpa dengan kelanjutan pertemuan Nikodemus dan Yesus. Pertemuan ini semakin menarik karena Yesus benar-benar menjadi Rabi Agung yang mengedukasi Nikodemus supaya menjadi orang Farisi, pemimpin agama dan pengajar Israel yang terbaik. Tuhan Yesus membimbing dia untuk perlahan-lahan keluar dari dirinya sendiri dan melihat serta mengalami Allah yang benar berdasarkan kesaksian Yesus. Pengalaman akan Allah adalah pengalaman akan kasih sebab Allah adalah kasih dan kasih adalah segalanya. Pengalaman akan Allah dalam kasih nampak dalam salib. Maka tepat perkataan ini: “Simbol dari kasih kristiani bukan hati tetapi salib. Hati itu akan hancur seiring dengan kematian tubuh fana kita tetapi Dia yang tergantung di salib itu tidak akan berhenti mengasihimu.” Maka pada salib memang ada kasih yang sesungguhnya dan algojo Romawi bersama manusia sepanjang zaman tetap mengatakan: “Sungguh Dia ini Anak Allah” (Mat 27:54).

Mengapa kita memandang Salib berarti kita memandang kasih dan sang Kasih sejati? Tuhan Yesus menjelaskannya secara singkat kepada Nikodemus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16). Salib adalah ungkapan kasih Allah yang besar akan dunia, dalam hal ini manusia sepanjang zaman, anda dan saya saat ini. Kasih bukan hanya dengan kata-kata kosong tetapi dalam rupa manusia Yesus Kristus. Dia adalah Putera Bapa yang dikandung dari Roh Kudus dalam Rahim kasih Bunda Maria. Sebab itu kalau kita menerima Yesus dan percaya kepada-Nya, kita akan beroleh hidup kekal. Tidak ada kebinasaan bagi kita. Pikiran Nikodemus mulai terbuka dan memandang Yesus dengan cara baru, bukan lagi sebagai Rabi utusan Allah, pembuat mukjizat dan Dia yang mengalami penyertaan Allah, tetapi Yesus adalah kasih yang menyelamatkan.

Selanjutnya, Yesus berkata kepada Nikodemus: “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:17). Tuhan Yesus bukan seperti kebanyakan pemipin agama dan pengajar di Israel yang suka mengadili orang lain. Dia adalah utusan Allah, Rasul yang datang bukan untuk menghakimi melainkan menyelamatkan dunia karena kasih. Lukas mengatakan dalam Kisah Para Rasul: “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kisah 4:12).

Lalu apa yang harus manusia lakukan setelah mengalami kasih itu sendiri? Setiap pribadi harus menjadi generasi kasih. Ia telah memandang salib sebagai kasih Tuhan baginya sebagai manusia berdosa dan mengalami keselamatan abadi maka pada gilirannya manusia harus menjadi generasi kasih yang melanjutkan kasih Allah secara turun temurun. Caranya adalah dengan percaya kepada Yesus sang kasih Bapa. Tidak percaya kepada Yesus mendatangkan kebinasaan karena Yesus adalah satu-satunya Penyelamat kita. Generasi kasih harus mengubah dunia yang penuh kegelapan untuk menjadi dunia yang diselimuti terang. Banyak orang menolak terang meskipun Terang itu datang kepada milik kepunyaan-Nya (Yoh 1:9.11). Mungkin saja anda dan saya adalah orang-orang yang menolak Terang yakni Yesus sendiri sebagai Terang dunia (Yoh 8:12). Sikap menolak terang menunjukkan adanya kuasa kegelapan atau kejahatan di dalam diri kita. Lebih jelas Tuhan Yesus ungkapkan kepada Nikodemus: “Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.” (Yoh 3:20-21).

Apakah kita dapat menjadi generasi kasih? Tentu saja kita dapat menjadi generasi kasih kalau kita mengalami kasih Tuhan dalam hidup pribadi kita. Dengan demikian kita akan memuji dan mewartakan kasih Tuhan kepada semua orang. Para rasul seperti Petrus dan Yohanes setia mewartakan kasih Tuhan meskipun mengalami penderitaan seperti dipenjarakan. Namun kasih mengubah mereka untuk menjadi pribadi yang berani untuk terus menerukan kasih sejati yakni Tuhan Yesus yang bangkit mulia. Sebab itu mari kita menjadi generasi kasih, meneruskan kasih Tuhan kepada semua orang sepanjang masa.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply