Homili 23 April 2021

Hari Jumat, Pekan Paskah ke-III
Kis. 9:1-20;
Mzm. 117:1,2;
Yoh. 6:52-59

Ekaristi sebagai saat Rekonsiliasi

Saya merasa bahagia sebagai seorang gembala umat. Salah satu pelayanan saya sebagai gembala adalah merayakan Ekaristi sendiri atau bersama dengan umat. Di masa pandemi ini saya merayakannya secara offline (luring atau luar jaringan) dan kadang-kadang secara online (daring atau dalam jaringan). Biasanya mengawali perayaan Ekaristi, saya selalu mengajak umat dengan salah satu perkataan ini: “Saudari dan saudara, marilah mengakui bahwa kita telah berdosa supaya layak merayakan peristiwa penyelamatan ini” Atau mengajak umat untuk mengulangi antifon ini: “Berbahagialah orang bila dosanya diampuni”. Kadang-kadang pernyataan tobat ini berlalu begitu saja, namun banyak kali saya juga menyadarinya secara mendalam. Saya sebagai gembala dan imam yang merayakan Ekaristi adalah orang berdosa dan mengajak umat untuk melakukan rekonsiliasi dengan Tuhan dalam ungkapan pertobatan. Raja Daud pernah berkata: “Selama kusembunyikan dosaku, batinku tertekan dan aku mengeluh sepanjang hari.” (Mzm 32:5). Pernyataan Tobat mengawali Ekaristi kita sebagai jalan untuk mendamaikan diri kita dengan Allah sendiri. St. Paulus mengatakan: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor 5:20) sebab Kristus adalah damai kita. St. Paulus dengan tegas mengatakan: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.” (Kol 1:19-20).

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Injil tentang Yesus sebagai Roti Hidup. Diskursus tentang Roti Hidup ini bahkan menimbulkan pertengkaran di kalangan orang Yahudi karena Yesus mengatakan kepada mereka untuk memakan daging-Nya dan meminum darah-Nya. Pikiran orang banyak saat itu adalah tentang para cannibal. Orang-orang Yahudi berpikir bahwa mereka bukanlah cannibal, tetapi Yesus seolah-olah bersikeras untuk mengatakan bahwa mereka harus memakan daging-Nya. Yesus dengan tegas mengatakan: “Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.” (Yoh 6:53-55). Orang akan tetap hidup kalau dia memakan daging Tubuh Yesus dan meminum darah-Nya.

Mengapa orang harus memakan daging dan meminum darah Yesus? Ia sendiri berjanji: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:56). Dengan menyantap Tubuh dan Darah Kristus di dalam Ekaristi maka Ekaristi bukan hanya sebagai tanda syukur. Ekaristi sungguh-sungguh mendamaikan kita dengan Tuhan dan sesama. Maka ekaristi sungguh-sungguh menjadi saat untuk berekonsilias dengan Tuhan dan sesama. Yesus adalah Roti Hidup yang membawa kita kepada kehidupan kekal (Yoh 6:58). Ekaristi menjadi saat berekonsilasi dengan Tuhan dan sesama. Relasi persekutuan kita menjadi semakin sempurna sebab Tuhan Yesus sendiri menyempurnakannya.

Rekonsiliasi bukan hanya sebuah perkataan saja. Rekonsiliasi memiliki sifat keabadian yang akan kita alami sendiri. Buah rekonsiliasi transformasi. Kita dapat melakukan transformasi radikal di dalam hidup ini melalui Ekaristi. Di dalam Ekaristi kita mengenang Paskah Kristus Yesus. Ia sungguh bangkit, dan menghendaki supaya kita juga bangkit bersama-Nya dan hidup hanya bagi Tuhan. St. Paulus berkata: “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Rm 14:8).

St. Paulus adalah sosok hebat yang menularkan semangat rekonsiliasi kepada kita. Kita mendengar kisah hidup St. Paulus yang sebelumnya bernama Saulus. Ia mengawali perutusannya sebagai sosok yang kejam, pembunuh dan anti kepada Yesus dari Nazaret dan para pengikutnya. Peristiwa perjalanan di Damsyik atau Damaskus menjadi awal rekonsiliasi yang luar biasa. Dia menjadi buta karena melihat cahaya Kristus yang bangkit. Matanya terbuka kembali karena campur tangan Tuhan melalui Ananias. Paulus sendiri di kemudian hari menyebut dirinya sebagai “rasul bagi bangsa-bangsa non-Yahudi” (Roma 11:13). Peristiwa rekonsiliasi dalam diri Paulus ini sangat bermakna. St. Paulus sendiri menceritakan pertobatannya sebanyak tiga kali di dalam Kisah Para Rasul. Buah dari rekonsiliasi adalah kesaksian hidup. St. Lukas bersaksi: “Ketika itu juga ia memberitakan Yesus di rumah-rumah ibadat, dan mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah.” (Kis 9: 20).

Ekaristi selalu menjadi kesempatan bagi kita untuk berdamai atau berekonsiliasi dengan Tuhan. Tuhan membaharui hidup kita dengan menyantap Tubuh dan Darah-Nya sebagai santapan rohani yang menguatkan dan menyelamatkan.

P. John Laba, SDB