Food For Thought: Hitting the streets!

Hitting the streets!

Satu ucapan Paus yang sangat mengesankan saya pada hari Minggu Komunikasi sedunia tahun 2021 ini adalah perkataan ‘Hitting the streets”. Dalam Bahasa Italia ‘Consumare le suole delle scarpe’ dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Menghabiskan sol sepatu’. Perkataan ini bermakna turun ke jalan untuk merasul. Berkaitan dengan perkataan ini, Paus Fransiskus menulis: “Jika kita tidak membuka diri pada perjumpaan, kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar, meskipun inovasi teknologi mampu membuat kita seolah-olah tenggelam dalam sebuah realitas luas secara langsung.” Dalam semangat ini, kalau saja ada berita apapun yang kita terima, kita tidak perlu langsung menelannya begitu saja atau langsung percaya begitu saja. Kita butuh waktu untuk ‘hitting the streets’ atau turun ke jalan, menghabiskan sol sepatu kita untuk melakukan verifikasi dengan mata kepala sendiri demi kebenaran akan berita apapun yang kita terima.

Saya tidak hanya berhenti pada konteks pesan Paus Fransiskus pada Hari Minggu Komunikasi sedunia tahun 2021. Permenungan saya semakin luas berkaitan dengan pelayanan saya sebagai seorang imam yang pernah bekerja di daerah pedalaman. ‘Hitting the streets’ benar-benar menjadikan saya menjadi ‘gembala berbau domba’.

Berikut ini ada dua pengalaman ketika masih sebagai imam muda yang idealis di pedalaman:

Pengalaman pertama, pada saat masih bertugas di Fuiloro, Lospalos, Timor Leste. Pada hari Jumat Agung tahun 2002 saya mendapat tugas untuk mengunjungi umat jompo dan yang sakit di stasi Misi Tutuala dan Mehara, dua stasi di ujung Timor Leste. Saya memasuki sebuah rumah yang dihuni oleh seorang ibu yang sudah jompo dan sakit-sakitan. Saya mendengar pengakuan dosa, mendoakan dan memberi komuni kudus kepadanya. Saya melihat situasinya sangat menyedihkan maka saya meminta guru agama untuk mengambil biscuit dan sebotol aqua yang menjadi bekal saya di hari pantang dan puasa untuk ibu itu. Sebelum saya kembali, dia berbisik-bisik kepada guru agama dalam Bahasa Fataluku, dia mau memberi saya sebuah hadiah istimewa. Ia memberi seekor anak kucing dan mengatakan: “Pater, saya ini orang miskin. Saya hanya punya anak kucing ini untukmu.” Saya menerimanya dan kembali ke komunitas dengan perut kosong, tetapi tetap merasa bahagia karena mendapat seekor anak kucing. Kalau saya tidak menghabiskan sol sepatu saya maka saya tidak berjumpa dengan seorang ibu yang berhati penuh syukur, meski sedang menderita sakit dan usia senja. Ibu yang udah tua dan sakit-sakitan ini menjadi guruku untuk selalu bersyukur dalam situasi apa saja.

Pengalaman kedua, Pada saat saya masih berkarya di Pulau Merapu tepatnya di Sumba Barat Daya. Pada suatu hari Minggu saya membantu umat di Paroki Waimangura. Saya melayani umat di sebuah stasi kecil. Perjalanan dari Weepengali ke stasi itu cukup lama, lewat bukit dan lembah, dengan jalan yang sempit. Ketika tiba di stasi itu umat sudah menunggu kedatangan gembalanya. Misa berlangsung dengan meriah. Usai misa saya hendak kembali, tetapi ada seorang ibu yang meminta saya menunggu sebentar. Beberapa menit kemudian seorang anak kecil memegang uang lima ribu rupiah. Ia mengatakan kepada saya, “Pater ini hadia saya untuk Pater karena sudah datang untuk misa di kampung saya.” Saya merasa isi dompet saya masih ada dan lebih banyak, tetapi anak itu memberi dengan sukacita, saya menunduk, menunjuk ke arah saku baju saya dan dia meletakkan uang lima ribunya di saku baju saya. Beberapa menit kemudian ibu yang meminta saya menunggu, datang dengan kantong berisi lima butir telur ayam rebus. Dia mengatakan, “Pater pasti lapar dalam perjalanan kembali, telur ayam kampung ini sudah direbus, selamat makan di jalan pater.” Saya kembali ke komunitas dengan uang lima ribu dan lima telur ayam kampung. Untung saya menghabiskan sol sepatu maka saya bisa mengenal realitas umat di kampung-kampung yang sederhana dan memberi dengan sukacita. Dari kedua orang sederhana ini, saya belajar untuk murah hati dalam berbagi dan selalu bersyukur.

Menghabiskan sol sepatu di jalan sangat mendidik saya untuk menjadi matang sebagai gembala di pedalaman ketika melayani umat. Di saat-saat seperti itu saya merasa bahwa menjadi ‘gembala berbau domba’ memang indah dan sangat bermakna. Masih banyak pengalaman yang unik, lucu dan sedih seputar menghabiskan sol sepatu. Pengalaman itu mendewasakan saya sebagai imam hingga dua puluh tahun ini sambil melayani Tuhan.

Tuhan memberkati, Bunda Maria mendoakan…

P. John Laba, SDB