Homili 21 Agustus 2021

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XX
Peringatan Wajib Pius X
Rut. 2:1-3,8-11;4:13-17;
Mzm. 128:1-2,3,4,5;
Mat. 23:1-12

Semuanya karena kasih

Pada hari ini kita mengenang Santo Pius X. Orang kudus ini terlahir dengan nama Giuseppe Melchiorre Sarto dan disapa Don Sarto. Beliau dilahirkan di Riese, Italia pada tanggal 2 Juni 1835 dan meninggal di Vatikan pada tanggal 20 Agustus 1914. Apa yang menarik perhatian dari sosok orang kudus yang pernah memimpin Gereja Katolik ini? Beliau memilih semboyan kepausan: “Instaurare omnia in Christo” atau “Memulihkan segala sesuatu dalam Kristus.” Semboyan kepausannya ini menunjukkan kasihnya yang besar bagi Gereja Katolik yang saat itu sedang dilanda krisis modernisme dalam segala hal. Ia lalu melakukan tindakan-tindakan konkret untuk memulihkan segala sesuatu di dalam Kristus. Misalnya, ia melakukan reformasi liturgi, pemulihan Kristus dan mariologi, katekismus, reformasi hukum kanonik, reformasi administrasi Gereja, perhatian kepada pembinaan calon imam. Sakramen Ekaristi menjadi salah satu pusat perhatiannya sehingga dikenal sebagai Paus Ekaristis. Dia mengijinkan anak-anak usia dini untuk menerima komuni pertama karena prinsipnya adalah Ekaristi merupakan jalan singkat menuju ke surga. Sakramen tobat juga digalakan di mana-mana untuk menopang Ekaristi. Santo Pius X membarui Gereja Katolik bukan hanya dengan kata-kata saja melainkan dengan hidupnya yang sederhana. Ia sebagai anggota ordo ketiga Santo Fransiskus Asisi, maka gaya hidup santo Fransiskus dari Asisi melekat dalam dirinya. Prinsip hidupnya adalah: “Saya lahir sebagai orang miskin, saya hidup sebagai orang miskin dan saya akan mati sebagai orang miskin.” Maka ia sungguh membarui Gereja dengan hidupnya yang nyata. Semuanya dilakukan karena kasih yang dialaminya sendiri dari Tuhan dan Gereja.

Bacaan-bacaan Kitab liturgi hari ini mengarahkan kita semua untuk semakin percaya bahwa semua yang kita alami dalam hidup kita setiap hari dapat terjadi karena kasih. Dalam bacaan pertama kita mendengar kelanjutan kisah hidup Rut. Rut setia untuk tetap bersama Naomi mertuanya. Ia rela meninggalkan kampung halamannya yakni Moab untuk pergi ke Bethlehem, kampung halaman Naomi dan Elimelekh mertuanya. Di sana ia bekerja seperti biasa sebagai petani. Di tempat inilah dia berjumpa dengan juragan kaya bernama Boas yang masih kerabat dengan suami dan mertuanya. Ia mendapat ijin dari Naomi untuk ikut bekerja di kebun Boas saat menuai gandum. Sebagai orang asing tentu Rut merasa segan, tetapi Boas meyakinkanya untuk tetap bekerja di kebun miliknya, makan dan minum dengan para pekerja wanita dan dia tentu akan dijaga dengan baik oleh mereka.

Mengapa Boas begitu perhatian kepada Rut? Karena Boas mendengar bahwa Rut relas meninggalkan Moab untuk mengikuti Naomi ke Bethlehem padahal suaminya yang adalah putera Elimelekh sudah meninggal dunia. Karena kesetiaannya ini maka Boas pun memiliki perhatian khusus kepadanya. Inilah awal Boas jatuh cinta kepada Rut. Boas mengambil Rut sebagai istri dan melahirkan Obed yang nantinya menjadi ayah Isai dan menjadi kakek Raja Daud. Hal yang menarik perhatian kita sekitar kelahiran Obed adalah para perempuan yang datang dan menggembirakan Naomi dengan berkata: “Terpujilah Tuhan, yang telah rela menolong engkau pada hari ini dengan seorang penebus. Termasyhurlah kiranya nama anak itu di Israel. Dan dialah yang akan menyegarkan jiwamu dan memelihara engkau pada waktu rambutmu telah putih; sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki.” (Rut 4:14-15).

Kisah Rut, wanita asing yang nantinya masuk dalam silsilah Yesus (Mat 1:5). Nama Rut dalam bahasa Ibrani: רות, berarti “belas kasih”. Tuhan menunjukkan belas kasih-Nya kepada manusia tanpa memandang siapakah orang itu dan dari mana dia berasal. Hadirnya Rut dalam silsilah Yesus menandakan bahwa keselamatan dalam nama Yesus itu sifatnya universal. Tuhan Yesus datang untuk menyelamatkan semua orang. Semua ini dilakukan Tuhan Yesus karena kasih. Dari Yesus kita belajar untuk melakukan perbuatan kerahiman jasmani yakni menerima dan memberi tempat bagi orang-orang asing. Mereka adalah Yesus yang hadir di tengah-tengah kita. Pada saat ini Gereja menunjukkan pelayanan yang sangat konkret bagi kaum buruh dan imigran. Di sini kita menyadari bahwa keselamatan universal dalam Yesus Kristus itu berarti kesadaran bahwa kita semua adalah sesama manusia.

Sosok Santo Pius X juga menginspirasi kita untuk mewujudnyatakan Injil hari ini dalam hidup kita. Ia mengajar kita tentang kesederhanaan hidup untuk memulihkan segala sesuatu di dalam Kristus bukan berdasarkan perkataannya semata tetapi dengan teladan hidupnya. Kata-kata dan perbuatannya sinkron. Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan orang yang menyerupai para ahli Taurat dan kaum Farisi yang menduduki kursi Musa. Berkaitan denghan ini, Tuhan Yesus menasihati para murid-Nya: “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.” (Mat 23: 3-7).

Pengalaman Yesus tetaplah juga menjadi pengalaman kita saat ini. Banyak orang suka mengincar kursi atau kedudukan tertentu. Ada orang yang ‘menjadi gila’ sehingga menyukai sapaan-sapaan: ‘rabi, bapa, pemimpin’ Kalau tidak disapa demikian mereka akan tersinggung dan merasa tidak dihormati. Nah, di sini kasih menjadi nomor dua, kedudukan, nama baik, harga diri menjadi nomor satu. Memang sangat rapuh tetapi itulah manusia dari masa ke masa. Maka teguran Yesus sangat keras bagi kita: “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Mat 23:11-12). Kita menjadi hebat bukan karena ‘rabi, bapa dan pemimpin’ tetapi karena kita rendah hati, rela kehilangan diri sendiri supaya lebih mampu mengasihi tanpa batas seperti Yesus sendiri. Prinsip ‘semuanya karena kasih’ haruslah menjadi pedoman bagi kita sebab Tuhan yang kita Imani adalah kasih.

St. Pius X, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB