Homili 8 Oktober 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXVII
Yl. 1:13-15; 2:1-2;
Mzm. 9:2-3,6,16,8-9;
Luk. 11:15-26

Terima kasih Tuhan

Pada pagi hari ini saya mendapat kiriman ayat-ayat Kitab Suci bermakna dari seorang sahabat berikut ini: “Aku mau bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati, aku mau menceritakan segala perbuatan-Mu yang ajaib. Aku mau bersukacita dan bersukaria karena Engkau, bermazmur bagi nama-Mu, ya Allah Mahatinggi.” (Mzm 9:2-3). Setelah membacanya saya tersenyum sendiri karena kutipan ini merupakan ‘Antifon Pembuka’ dan salah satu ‘ayat’ dalam Mazmur Tanggapan hari ini. Saya merasa disadarkan dan ditolong sebelum merayakan misa harian saya bersama komunitas.

Kesadaran macam apa yang saya rasakan saat setelah membaca pesan singkat berupa kutipan ayat-ayat Kitab Suci ini hari ini? Pertama, dari perkataan ‘Aku bersyukur kepada Tuhan’. Saya merasa disadarkan untuk selalu bersyukur kepada Tuhan, tentu saja untuk hari baru dan kasih karunia yang akan saya terima pada hari baru ini. Saya disadarkan untuk menyiapkan diri dengan baik supaya merayakan Ekaristi harian saya dengan hati yang penuh Ekaristis atau hati yang penuh syukur kepada Tuhan. Kedua, saya merasa yakin bahwa Tuhan memberi kesempatan kepada saya untuk bersaksi tentang Dia yang saya imani dan ikuti dari dekat sebagai seorang abdi-Nya. Maka fokus tugas pelayanan saya hari ini adalah menceritakan segala perbuatan Tuhan yang ajaib kepada sesama. Tentu saja bukan hanya sekedar bercerita tetapi bagaimana hidup saya ini benar-benar menjadi cerita yang nyata dan hidup bagi sesama. Ketiga, perasaan optimis. Saya disadarkan untuk memulai hari baru ini dengan pikiran positif, penuh sukacita dan sukaria di dalam Tuhan. Ini ketiga hal yang mengutkan saya pada hari ini.

Hidup kita bermakna ketika kita dapat bersyukur dan mengatakan ‘Terima kasih Tuhan’ tanpa henti. Hari ini kita berterima kasih kepada Tuhan karena Ia mengingatkan kita melalui Sabda-Nya untuk menyiapkan diri menyambut hari-Nya dengan bertobat dan membaharui diri kita. Nabi Yoel menggatakan kepada para imam untuk berpuasa dengan mengenakan kain kabung, mengeluh dan meratap (Yl 1:13-14). Pengalaman akan Allah ditandai dengan pertobatan yang terus menerus. Pengalaman pertobatan pribadi membuat kita semakin setia kepada Yesus. Tanpa pertobatan pribadi maka kita sulit untuk bersatu dengan Kristus. Tuhan Yesus Kristus bersabda: “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.” (Luk 11:23). Pada hari ini kita memohon semoga Tuhan memberikan anugerah dan sukacita pertobatan kepada kita semua. Bunda Maria, doakanlah kami untuk hidup layak bagi Yesus Puteramu.

P. John Laba, SDB