Homili 9 Oktober 2021

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXVII
Yl. 3:12-21;
Mzm. 97:1-2,5-6,11-12;
Luk. 11:27-28.

Terima kasih Ibu

Adalah Khalil Gibran. Banyak di antara kita pasti sudah membaca karya-karya tangannya. Dalam salah satu karyanya yakni ‘The Broken Wings’ beliau menulis seperti ini: “The most beautiful word on the lips of mankind is the word ‘Mother’, and the most beautiful call is the call of ‘My mother’. It is a word full of hope and love, a sweet and kind word coming from the depths of the heart.” (Kata yang paling indah di bibir umat manusia adalah kata ‘Ibu’, dan panggilan yang paling indah adalah ‘Ibuku’. Ini adalah kata yang penuh harapan dan cinta, kata manis dan baik yang keluar dari kedalaman hati). Bagi mereka yang masih memiliki nurani yang jernih akan mengatakan ‘super banget’perkataan ini, karena hampir semua manusia mengalaminya. Pikirkanlah bahwa kita tidak pernah memilih seorang wanita untuk menjadi ibu yang mengandung dan melahirkan kita. Ibu adalah pemberian Tuhan bagi seorang anak dan sebaliknya. Dialah guru pertama yang mengajar anak untuk menyapanya dengan sapaan sederhana ‘ibu’ dan sangat bermakna ‘ibuku’. Sekali lagi, kita semua mengalaminya.

Ibu tidak hanya menjadi guru pertama yang mengajar anaknya untuk menyapanya demikian. Dia adalah sosok yang paling mengenal anak-anaknya. Dia mengungkapkan segala rasanya tentang anak-anaknya dengan air mata sukacita dan dukacita. Dia dipuji dan dielu-elukan saat anaknya berprestasi cemerlang, dia juga dicaci maki ketika anaknya tenggelam dalam lumpur. Namun demikian, dia tetaplah seorang ibu sampai keabadian. Tidak akan ada yang mengganti posisinya. Kiranya ungkapan ini menjadi tanda syukur seorang anak kepada ibunya: “Saya mencintai ibu saya karena dia memberi saya segalanya: dia memberi saya cinta, dia memberi saya jiwanya, dan dia memberi saya waktunya.”

Pada hari ini pikiran kita terarah pada sosok dua orang perempuan dalam bacaan Injil (Luk 11:27-28). Perempuan pertama tanpa nama, merasa bangga akan ibu yang melahirkan Yesus. Penginjil Lukas mengisahkan: Ketika Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya: “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.” (Luk 11:27). Sosok perempuan pertama mengajar kita untuk tahu memberi apresiasi bukan hanya kepada ibu yang melahirkan kita, tetapi juga menghargai sesama terutama perempuan yang sering dianggap lemah di dalam masyarakat. Sosok kedua yang terpenting adalah Maria ibu Yesus. Sosok perempuan tanpa nama yang memberi apresiasi itu mengatakannya ‘berbahagia’. Kata yang sama diucapkan Elisabeth kepada Bunda Maria: “Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.” (Luk 1:45). Maria tetaplah ibu yang istimewa, layak disapa berbahagia dan kita bersyukur memilikinya.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil tetaplah sosok yang lemah lembut dan rendah hati. Dia tidak menepuk dada dan bangga di depan orang banyak ketika mendengar perkataan perempuan tanpa nama ini. Dia bahkan memperluas relasi manusia dengan diri-Nya dengan berkata: “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” Relasi yang akrab dengan Yesus bukan hanya milik Bunda Maria, tetapi milik semua orang yang mendengar dan memelihara atau melakukan Sabda. Sabda adalah Yesus sendiri.

Mari kita berusaha untuk menyerupai Bunda Maria yang mendengar dan memelihara Sabda. Dialah satu-satunya manusia yang lebih mengenal Yesus dari pada anda dan saya. Dialah yang paling pertama mendengar dan memelihara Sabda. Dari Maria kita belajar untuk menjadi akrab dan bersahabat dengan Yesus sang Sabda hidup. Ad Iesum per Mariam. Amen.

P. John Laba, SDB