Homili 14 Oktober 2021

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXVIII
Rm. 3:21-30;
Mzm. 130:1-2,3-4b,4c-6;
Luk. 11:47-54.

Kebiasaan Mengintai orang lain

Pada suatu kesempatan saya diwawancarai oleh seorang jurnalis dari sebuah koran lokal tentang kegiatan harianku di Komunitas. Saya menceritakan banyak hal tentang kegiatan formatio para calon bruder dan imam di komunitas kami dan ia kelihatan sangat tertarik dengan cerita saya itu. Dia lalu bertanya kepada saya tentang apa yang sangat menarik perhatian saya sebagai salah seorang pembina para formandi (para calon imam dan bruder). Saya mengatakan kepadanya bahwa banyak kali para calon imam dan bruder ‘mengintai’ keberadaan para formatornya. Dia bertanya kepada saya maksud kata ‘mengintai’. Saya menjelaskan kepadanya bahwa para formandi kadang-kadang memiliki sifat sungkan yang berlebihan, takut berbuat salah dan takut dikoreksi bilamana mereka membuat suatu kesalahan. Ada yang berpikir bahwa kalau mereka mendapat koreksi tertentu maka ada peluang untuk dikeluarkan dari komunitas. Sebenarnya dalam proses formatio para calon imam dan bruder, para formator berkewajiban memberi koreksi manakala para formandi melakukan kesalahan secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja sehingga tidak perlulah mereka merasa sungkan sampai takut sehingga ‘mengintai’ apakah formatornya ada atau tidak ada di tempat.

Kebiasaan mengintai bukan hanya dialami di dalam komunitas pembinanan para calon imam dan bruder. Di tempat kerja tertentu seperti sekolah atau perusahaan apapun, para siswa atau bawahan memiliki kebiasaan mengintai guru atau orang lain yang kedudukannya lebih tinggi. Ada ketakutan sebagai hal yang sangat menghantui mereka. Orang yang memiliki kebiasaan mengintai mungkin saja memiliki ketakutan yang berlebihan, merasa ada persaingan tertentu, ada perasaan inferioritas dalam diri mereka. Hal ini tentu bukanlah hal yang bagus dalam sebuah relasi. Orang seharusnya bertindak atau berperilaku apa adanya. Itu tanda kejujuran dan ketulusan.

Pada hari ini kita mendapat kelanjutan kisah Yesus di dalam Injil Lukas. Yesus masih duduk makan di rumah seorang Farisi. Ia tidak takut untuk mengecam sifat munafik dari kaum Farisi dan para ahli Taurat. Kepada orang Farisi Yesus mengecam mereka dengan kata ‘celakalah’ karena mereka membangun makam para nabi sebagai tanda pembenaran pada nenek moyang mereka yang pernah membunuh para nabi sebagai utusan Tuhan. Sikap keras kepala yang mereka miliki dan hati mereka yang tertutup kepada rahmat Tuhan membuat Yesus mengatakan bahwa akan ada tuntutan bagi darah para nabi yang sudah dibunuh nenek moyang mereka mulai dari Habel hingga Zakharia yang telah dibunuh di antara mezbah dan rumah Allah. Para ahli Taurat juga mendapat kecaman dari Yesus karena mereka mengambil kunci pengetahuan dan menghalangi orang yang berniat untuk memiliki pengetahuan. Sebenarnya kecaman Yesus ini bukan sebagai tanda kebencian Yesus pada kaum Farisi dan para ahli Taurat. Yesus mau meluruskan mereka, mengubah kiblat hidup mereka supaya mengutamakan kasih dan keadilan dari Tuhan dalam hidup bersama. Sikap legalis yang mereka miliki terlalu berlebihan dan tidak mendukung nilai hidup sesama yang lain.

Karena perkataan Yesus ini maka muncul dari hati mereka perasaan dendam dan mencari-cari kesalahan Yesus. Mereka ‘mengintai’ sekaligus mencari-cari kesalahan Yesus dengan rupa-rupa pertanyaan dan memancing Yesus untuk bereaksi. Kalau saja Yesus bersalah maka ada alasan bagi mereka untuk menangkap-Nya. Manusia-manusia Farisi dan para ahli Taurat yang aneh karena tidak melihat kebaikan yang dilakukan Yesus tetapi mengintai untuk mencari kesalahan-Nya.

Kaum Farisi dan para ahli Taurat adalah kita. Kita juga sering ‘mengintai’ orang-orang di sekitar kita sambil mencari kesalahan mereka, mengadili mereka dalam hati dan mencari kesempatan untuk menyakiti atau membalas dendam. Pikirkanlah momen-momen di mana anda ‘mengintai’ sesamamu. Anda pasti memiliki rasa benci, kesal dan dendam sebagai pengintai. Sesungguhnya kebiasaan mencari kesalahan orang dengan ‘selalu mengintai’ sangat tidak manusiawi. Mari kita membangun persaudaraan sejati dengan prinsip: terbuka untuk memberi koreksi, jangan mengintai untuk mengatakan atau menceritakan sesama kepada sesama tanpa sepengetahuannya. Mengintai sesama sama saja dengan mengintai Yesus yang tidak kelihatan. Mari kita berubah.

P. John Laba, SDB