Homili 29 Februari 2024

Hari Kamis, Pekan II Prapaskah
Yer. 17:5-10
Mzm. 1:1-2,3,4,6
Luk. 16:19-31

Merajut solidaritas antar kita

Kita semua sudah akrab dengan kedua kata ini: solidaritas dan subsidiaritas. Kata solidaritas dan subsidiaritas lebih berkaitan dengan Ajaran Sosial Gereja. Paus Fransiskus sendiri, sering mengucapkan kata Solidaritas dan Subsidiaritas dalam konteks Ajaran Sosial Gereja. Berkaitan dengan hal ini, beliau pernah berkata: “Jika kita ingin memberikan kepada generasi mendatang warisan lingkungan, ekonomi, budaya dan sosial yang lebih baik, yang kita warisi, kita terpanggil untuk memikul tanggung jawab untuk bekerja demi solidaritas global. Solidaritas adalah sebuah tuntutan yang muncul dari jaringan interkoneksi yang sama yang berkembang dengan globalisasi. Ajaran sosial Gereja mengajarkan kepada kita bahwa prinsip solidaritas diimplementasikan secara selaras dengan prinsip subsidiaritas. Berkat pengaruh dari kedua prinsip ini, proses-proses untuk melayani manusia, dan keadilan sosial semakin berkembang.”

Emile Durkehim, adalah orang yang pada tahun 1858 memperkenalkan kata Solidaritas sebagai sebuah konsep kesetiakawanan antar umat manusia. Baginya, solidaritas adalah suatu hubungan antara individu atau kelompok yang terikat dengan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas lalu merupakan suatu keadaan saling percaya yang bisa tercipta di antara individu atau anggota dalam suatu kelompok di dalam masyarakat. Solidaritas juga menjadi prinsip yang mengajarkan kita untuk saling peduli, mendukung, dan bertanggung jawab satu sama lain sebagai sesame anggota masyarakat. Solidaritas mengajarkan kita untuk berbagi beban, kegembiraan, dan kesedihan bersama, serta berusaha untuk menciptakan keadilan sosial di antara kita. Misalnya, ketika ada bencana alam di suatu daerah tertentu maka orang-orang dari berbagai daerah akan bersatu untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada mereka yang terkena dampak. Sumbangan bisa berupa makanan, air, dan obat-obatan.

Tentang Subsidiaritas. Subsidiaritas adalah sebuah prinsip Ajaran Sosial Gereja yang mengatakan bahwa semua badan sosial ada untuk kepentingan individu sehingga apa yang dapat dilakukan individu, masyarakat tidak boleh mengambil alih, dan apa yang dapat dilakukan masyarakat kecil, masyarakat yang lebih besar tidak boleh mengambil alih. Subsidiaritas juga merupakan sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa keputusan dan tanggung jawab harus diberikan kepada tingkat yang lebih rendah dalam masyarakat sejauh mungkin, kecuali jika tingkat yang lebih rendah tidak mampu menangani masalah tersebut. Prinsip subsidiaritas menghormati otonomi dan tanggung jawab individu, keluarga, dan komunitas lokal. Misalnya, Ketika ada masalah di lingkungan tempat tinggal, prinsip subsidiaritas mengajarkan bahwa warga sekitar harus berusaha menyelesaikan masalah tersebut secara mandiri sebelum meminta bantuan dari pemerintah atau lembaga yang lebih tinggi.

Homili saya saat ini lebih berfokus pada kata solidaritas. Kita membaca kisah Injil yang sangat menarik perhatian kita tentang kisah orang kaya tanpa nama, yang hidup dalam kelimpahan dan orang miskin yang disapa Lazarus. Orang kaya hidup dalam kelimpahan: ”selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.” Dia memusatkan diri pada dirinya sendiri. Tidak ada kata solidaritas sepanjang hidupnya. Ada sosok orang miskin yang disapa Lazarus. Nama Lazarus dalam Bahasa Yunani: Λαζαροσ (Lazaros)dan Bahasa Ibrani אלעזר, (Eleazar) artinya Tuhan (sudah) menolong. Ia hidup dalam kemelaratan: “Badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya.” (Luk 16:20-21). Maka selama hidup di dunia ini benar-benar tidak ada solidaritas apapun. Masing-masing mengurus dan menerima diri sendiri.

Suasana berubah total setelah mereka meninggal dunia. Orang kaya meninggal dunia dan mengalami penderitaan di tengah kobaran api yang menghauskan. Ia mengaku sangat kesakitan dalam nyala api (Luk 16: 24). Hal ini berbeda dengan Lazarus yang mengalami pertolongan Tuhan karena dia langsung dipangku oleh Abraham. Dalam situasi seperti ini maka orang kaya sadar diri untuk menata solidaritas dari pihak Lazarus yang selama di bumi tidak diperhatikan oleh orang kaya ini. Ia berkata: ”Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku” (Luk 16:24). Sayang sekali solidaritas semacam ini sudah terlambat. Abraham malah menasihati orang kaya ini: ”Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang.” (Luk 16:25-26).

Kisah Injil ini bisa juga menjadi kisah kehidupan kita setiap hari. Kadang kita sudah berada di zona nyaman dan tidak membuka diri kita kepada orang-orang yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Kita memiliki mata tetapi seakan tidak melihat. Rasa solidaritas kita penuh dengan perhitungan untung dan ruginya. Kita bisa terlambat menata rasa solidaritas kita ketika sudah berada di hadirat Tuhan. Pikirkan juga berapa orang yang menyesal dalam waktu yang lama karena belum melakukan yang terbaik untuk orang-orang dekat yang dikasihi. Itulah solidaritas yang terlambat bukan hanaya untuk diri sendiri tetapi untuk seluruh keluarga besar. Orang-orang tidak memiliki rasa solidaritas karena mereka mengandalkan dirinya dan manusia lain, bukan mengandalkan Tuhan. Bagi mereka hanya ada satu kata yaitu terkutuklah (Yer 17:5). Lebih berharga orang yang bersolidaritas dengan sesamanya karena mengandalkan dan menaruh harapan kepada Tuhan di dalam hidupnya.

Pada hari ini kita bertekad untuk memulai kembali, menata ulang solidaritas kita kepada sesama. Kita merajut kembali solidaritas kita sebagai manusia yang sama di hadirat Tuhan. Mulailah dari hal-hal yang kecil dan perlahan-lahan akan menjadi hal yang besar untuk kebaikan sesama manusia. Ingatlah bahwa ”Tuhan itu menyelidiki hati, menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.” (Yer 17:10).

P. John Laba, SDB