Manusia berjiwa ekologis
Bagian kedua dari kata-kata yang tercecer dari mulut Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB adalah tentang manusia berjiwa ekologis. Apa yang mendasari pemikiran sekaligus keprihatinan sang pemenang hadia nobel perdamaian tahun 1996 ini? Pertama-tama beliau melihat bahwa Timor Leste adalah sebuah negara kecil dengan sumber daya alam yang terbatas dan belum semuanya diolah untuk kepentingan masyarakat. Andalan sumber daya utamanya saat ini adalah minyak dan gas di celah Timor, namun suatu saat juga akan punah. Sebab itu beliau mengharapkan supaya orientasi bangsa ini mulai mengarah kepada bidang industri pertanian, meningkatkan industri parawisata dan lainnya yang bisa menjadi sumber devisa bagi negara ini. Ia berharap agar pemerintah negara ini berusaha untuk mensejahterakan masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat juga memperhatikan keadaan ekologi terutama hutan di Timor Leste yang kelihatan perlahan-lahan musnah karena ketidaktahuan serta ketamakan manusia.
Kedua, beliau mengajak keluarga besar Salesian, terutama para Pastor, Frater, Bruder dan Suster untuk membaca ajaran Bapa Suci Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si. Bagi Bapa Uskup Belo, dengan membaca dan memahami pemikiran Sri Paus dalam Ensiklik Laudato Si, maka wawasan kita akan semakin luas untuk menyayangi lingkungan hidup kita. Kita akan menjadi pribadi yang merasa merupakan bagian dari alam, sehingga dengan sadar menjaga dan melestarikan alam semesta atau lingkungan hidup, tempat kita berpijak dan hidup.
Sebuah realitas memprihatinkan
Mgr Belo menuturkan perjalanannya dari Dili ke Baucau setelah cukup lama meninggalkan Timor Leste. Ia mengamati situasi lingkungan hidup di Timor Leste sudah berubah total. Sebab itu beliau mengingatkan keluarga besar Salesian tentang bahaya kerusakan ekologi yang bagi sebagian orang itu lumrah saja tetapi sebenarnya menakutkan generasi manusia. Beliau memberi contoh, dalam perjalanan dari Dili ke Baucau kita menyaksikan lahan tertentu yang digali oleh para pengusaha tertentu dengan dalil mensejahterakan masyarakat. Tentu saja hal ini pasti berdampak langsung dengan seluruh kehidupan manusia. Contoh yang lain adalah masalah illegal logging yang tidak terkontrol dengan baik oleh pemerintah terkait. Ia menceritakan bahwa pada zaman dahulu masih ada banyak pohon pelawan (tristaniopis merguensis griff) atau dalam bahasa Tetum ai-bubur. Tetapi pohon-pohon ini nyaris punah karena ada penebangan liar. Orang seenaknya menebang pohon ini sebagai bahan bangunan atau kayu bakar untuk memanggang roti. Sekarang sudah sulit untuk mengatakan ada hutan pohon pelawan (ai-bubur laran) di Timor Leste.
Saya mendengar kedua contoh yang dikemukakan oleh Bapa Uskup ini. Masih ada banyak contoh lain yang terjadi dalam masyarakat kita. Misalnya illegal logging juga terjadi untuk jenis kayu yang lain. Misalnya kayu jati yang ditebang begitu saja, atau jenis-jenis kayu lokal yang lain. Memang manusia membutuhkannya tetapi perlu sebuah aturan yang jelas untuk membatasinya demi kebaikan banyak orang. Mungkin saja masyarakat belum mengerti dampak kerusakan hutan bagi manusia. Kita akan mengalami pemanasan global, curah hujan bisa menurun, bisa juga terjadi banjir besar pada musim hujan dan kekuarangan air bersih. Kerusakan hutan ini menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Di beberapa tempat terdapat penambangan liar, misalnya penambangan batu dan pasir. Misalnya di kali Comoro, Dili. Kita bisa melihat pemandangan yang kurang menarik. Kita mengerti orang mencari uang untuk hidup tetapi menambang batu dan pasir tanpa terkontrol bisa membahayakan banyak orang terutama pada musim hujan. Kalau saja kita berhati ekologis maka hal seperti ini tidak akan terjadi, namun sayang sekali karena belum banyak orang yang berpikir ke arah sana.
Untuk membantu memperluas wawasan ekologis ini maka Bapa Uskup Belo meminta para agen pastoral untuk membaca dan memahami ajaran gereja tentang ekologi terutama Ensiklik Paus Fransiskus berjudul Laudato Si (artinya Puji Bagi-Mu). Sub judul dari Ensiklik ini adalah “Dalam kepedulian untuk rumah kita bersama”. Ensiklik kedua Paus Fransiskus ini selesai ditulis pada tanggal 24 Mei 2015 dan resmi dipublikasikan pada tanggal 18 Juni 2015. Secara garis besar, Paus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tidak terkendali, masalah kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk beraksi secara global dan terpadu demi menyelamatkan lingkungan hidup. Banyak hal tentang isi Ensiklik ini diulas juga oleh Bapa Uskup Belo dalam kata-kata tercecer tentang manusia hipermodern.
Apa yang harus kita lakukan?
Semua keprihatinan dan contoh-contoh yang dikemukakan Mgr. Belo di atas adalah realitas yang sedang terjadi di negara Timor Leste ini. Dampak ekologis sudah sedang dirasakan oleh masyarakat. Di mana-mana orang berteriak kekuarangan makanan, air bersih dan tempat tinggal yang layak dan nyaman. Ada juga orang yang berteriak ketika ada banjir besar mengancam rumah tinggal dan kebun mereka. Teriakan-teriakan seperti ini hendaknya didengar oleh semua orang yang masih memiliki hati nurani. Teriakan ini hendaknya menjadi teguran bagi banyak orang untuk belajar menjadi manusia ekologis, entah masyarakat sipil atau pemerintah. Kita semua memiliki tugas yang sama untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup kita.
Semua lembaga pendidikan mulai dari dalam keluarga, sekolah, komunitas hendaknya memiliki semangat yang sama untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Ada semacam pendidikan berwawasan lingkungan hidup diperuntukan bagi generasi muda. Ada praktik-praktik yang paling sederhana untuk mencintai lingkungan hidup seperti membuang sampah pada tempatnya. Kita semua hendaknya masih memiliki rasa malu ketika seenaknya membuang kulit permen, botol minum, kaleng minuman di tengah jalan raya. Hal yang memalukan adalah ketika orang tua membuang sampah di sembarang tempat dan dilihat anaknya. Guru di sekolah merokok di depan siswa dan siswinya padahal sudah ada tulisan besar “anda memasuki kawasan bebas rokok”.
Kita semua perlu memiliki habitus baru dalam mencintai dan melestarikan lingkungan hidup kita. Upaya reboisasi atau rehutanisasi masih perlu dan wajib. Dimana-mana orang membuat program sejuta pohon ini dan seribu pohon itu. Kalau saja gerakan ini terpadu dan global maka Timor Leste ini akan kembali ke masa lalu dengan hutannya yang masih awet, kalinya masih bersih dengan ikan-ikannya. Menghemat dalam menggunakan air di rumah, menghemat dalam menggunakan energi seperti listrik. Semua ini kembali kepada pribadi yang memiliki hati nurani.
Ini adalah kata-kata yang tercecer yang dicapkan oleh Mgr. Belo dan patut kita renungkan bersama. Lingkungan hidup adalah pemberian dari Tuhan dan kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melestarikannya demi kebaikan generasi manusia. Mari kita bertumbuh menjadi manusia berjiwa ekologis, bukan manusia yang tamak sehingga merusak lingkungan hidupnya sendiri.
PJSDB