Renungan 23 Januari 2013

Hari Rabu, Pekan Biasa II

Ibr 7:1-3.15-17

Mzm 110:1-4

Markus 3:1-6


Kasih itu segalanya!


Hari-hari belakangan ini Penulis kepada Jemaat Ibrani menggambarkan Yesus sebagai Imam Agung. Yesus Kristus adalah Imam Agung menurut aturan Melkizedek. Melkizedek adalah pribadi unik di dalam Kitab Suci yang dikenal sebagai imam meskipun dirinya sendiri bukan  dari keturunan Harun. Menurut Kitab Kejadian (14:18-20) adalah raja Yerusalem yang berjumpa dengan Abraham dan memberkatinya. Di dalam Mazmur 110:4 dikatakan Raja ideal adalah keturunan Daud di Yerusalem dan dikatakan oleh Tuhan sendiri: “Imam Agung menurut aturan Melkizedek”.


Penulis Surat kepada Jemaat Ibrani juga memberikan gelar kepada Yesus sebagai Imam Agung menurut Melkizedek. Mengapa? Karena Dia adalah Kristus, Yang Terurapi adalah keturunan Daud. Yesus dikenal sebagai Mesias karena kemuliaanNya terutama karena Ia duduk di sisi kanan Bapa. Imamat Yesus Kristus bukan seperti gelar yang diperoleh karena keturunan seperti Harun tetapi semata-mata karena anugerah dan kuasa Tuhan Allah Bapa untuk menjadikanNya Mesias dan Tuhan yang mulia. Ia telah memenangkan kematian dengan kebangkitanNya. Kebangkitan Kristus menjadikanNya sebagai pribadi yang memiliki kuasa yang besar. Ia memiliki kuasa sebagai Anak Allah yang dapat menguasai segala-galanya. Dialah pencipta dan segalanya takhluk di bawah kakiNya.


Bagi orang Yahudi, hari Sabat adalah hari di mana umat Yahudi berada di rumah ibadat untuk beribadat kepada Allah. Yesus adalah seorang Yahudi tulen maka Ia pergi untuk ikut beribadat di dalam Sinagoga pada hari Sabat. Ibadat merupakan kesempatan bagi seorang Yahudi untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Yahwe yang telah menciptakan segala sesuatu. Ini juga sekurang-kurangnya yang Yesus pikirkan. Namun sayang sekali karena di antara banyak orang yang datang ke Sinagoga, misalnya para pemimpin agama Yahudi, mereka hanya mau memperhatikan kesalahan Yesus dan mempersalahkannya. Mereka boleh dikatakan sebagai generasi pelupa yang melupakan kasih Yahwe yang tidak berkesudahan dan selalu baru setiap hari


Kebetulan di dalam Sinagoga itu ada seorang yang mati sebelah tangannya. Ini menjadi kesempatan bagi Yesus mewujudkan syukur dengan perbuatan kasih yakni menyembuhkannya. Tetapi ini juga sekaligus menjadi objek bagi para pemimpin agama Yahudi untuk mempersalahkan Yesus, kalau Ia akan menyembuhkannya, karena melanggar hukum Sabat. Yesus mengetahui isi hati dan pikiran para pemimpin Yahudi maka Ia meminta orang yang  mati sebelah tangannya untuk berdiri di tengah-tengah. Yesus lalu menunjukkan kasihNya dengan menyembuhkannya. Perbuatan kasih ini juga sekaligus menunjukkan kuasa Yesus atas hari Sabat.


Memang hari Sabat seharusnya diisi dengan perbuatan kasih, perbuatan baik dan menyelamatkan orang. Hal ini tentu lebih luhur daripada berbuat jahat. Yesus heran dengan kedegilan hati para pemimpin Yahudi yang kiranya lebih tahu tentang perbuatan kasih tetapi tidak dapat melakukannya. Mereka juga tidak percaya Yesus sehingga mereka memilih diam. Yesus mengatakan bahwa mereka memiliki hati yang keras (porosis tes kardias). Lebih parah lagi pada hari Sabat orang-orang Farisi dan kaum Herodian bersekongkol untuk membunuh Yesus. Hari Sabat luntur oleh adat istiadat dan kemunafikan. Cinta kasih diubah oleh kerasnya hati bahkan rencana untuk membunuh Yesus.


Di dalam kehidupan setiap hari banyak orang hidup dengan semangat oFm (orang Farisi modern) dan oHm (orang Herodian modern). Mereka tidak melihat kebenaran yang membahagiakan orang dan menyukakan Tuhan. Mereka memahami hukum sebagai hukum saja. Hukum yang tidak memperjuangkan martabat manusia. Hal yang harus diperhatikan adalah hukum sebenarnya harus menjunjung tinggi hukum kasih. Pikirkanlah di dalam kehidupan pribadi, betapa jauhnya diri kita dari hadirat Tuhan. Kita  boleh rajin ke gereja, aktif dalamm persekutuan doa rajin mendengar dan membaca renungan tetapi kalau hati masih membenci, bahkan berniat jahat dengan sesama maka kita masuk dalam persekutuan oFm (orang farisi modern) dan oHm (orang herodian modern).


Saya akhiri dengan sebuah cerita inspiratif dari Buku Burung Berkicau karya A. de Mello, SJ. Konon ada seorang murid yang datang kepada gurunya. Ia berkata, “Guru, aku datang untuk mengabdimu”. Gurunya menjawab, “Seandaianya engkau melepaskan si “aku” pengabdian akan terjadi dengan sendirinya.” Engkau dapat merelakan semua harta bendamu bagi kaum miskin dan bahkan merelakan dirimu dibakar, namun belum tentu engkau mempunyai cinta sama sekali. Simpanlah hartamu dan tinggalkan si “aku”. Jangan membakar tubuhmu, bakarlah egomu! Cintamu akan muncul dengan sendirinya. Orang Farisi selalu mengagungkan egonya. Pengikut Kristus membakar egonya! Amen


Doa: Tuhan, semoga hari ini aku lebih mencintai daripada dicintai. Amen


PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply