Renungan 5 Agustus 2013

Hari Senin, Pekan Biasa XVIII

Bil 11:4b-15

Mzm 81:12-13.14-15.16-17

Mat 14:13-17

Selalu bersungut-sungut

Ketika masih mengajar di sekolah saya selalu menemukan para guru dan siswa yang punya kebiasaan bersungut-sungut. Para guru bersungut-sungut karena siswa di dalam kelas malas, upahnya rendah sementara tuntutan sekolah dan Yayasan tinggi, orang tua siswa yang mengandalkan otot bukan otak dan masih banyak hal lain yang membuat mereka bersungut-sungut. Para siswa juga bersungut-sungut karena ada guru yang mengajar tanpa persiapan mengajar dengan baik, guru sangat rerpresif terhadap siswa, bukan hanya secara fisik tetapi juga verbal dan masih banyak yang lain. Dengan bersungut-sungut saja sudah membuat situasi di sekolah itu berubah auranya. Dari luar memang temboknya megah tetapi di dalamnya penuh kerapuhan. Mengapa orang bersungut-sungut? Karena setiap orang baik guru maupun murid merasa bahwa alasan-alasan yang mereka berikan itu benar dan logis. Hanya satu masalah yang sulit dibangun bersama adalah kebiasaan baik untuk berkomunikasi satu sama lain. Mereka hidup bersama sebagai satu komunitas sekolah, tetapi komunikasinya tidak bisa jalan. Di lembaga-lembaga lain, bersungut-sungut juga menjadi suatu kebiasaan. Ada yang merasa bekerja lebih banyak dari pada yang lain, ada yang merasa pimpinannya pilih kasih terhadap para karyawan. Anak-anak di dalam keluarga juga merasakan yang sama. Orang tua lebih menyayangi anak yang satu dari pada anak yang lain. Bersungut-sungut merajalela di mana-mana di atas dunia ini.


Pada hari ini kita mendengar kisah orang-orang Israel bersungut-sungut kepada Tuhan melalui Musa hambaNya. Mereka bersungut-sungut karena masalah sembako terutama makanan dan minuman. Dikisahkan bahwa pada suatu kesempatan sambil melintasi padang gurun pasir, orang-orang Israel berkata: “Siapa yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat akan ikan yang kita makan di Mesir tanpa bayar, akan mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tiada sesuatu pun yang kita lihat kecuali manna” (Bil 11:4-6). Untuk pertama kali orang Israel makan manna ketika mereka meninggalkan Elim menuju ke Sinai dan beristirahat di padang gurun Sin (kel 16:31). Sejak saat itu orang Israel makan manna selama empat puluh tahun lamanya (Kel 16:35). Tetapi sekarang mereka mengeluh karena sudah kurus kering (Bil 11:6) sehingga mereka mengingat kembali pengalaman mereka di Mesir. Meskipun menjadi budak tetapi tidak merasa lapar. Mereka tetap makan dan minum sampai kenyang (Kel 16:3). Itu sebabnya mereka memiliki kebiasaan buruk yakni selalu bersungut-sungut kepada Tuhan melalui Musa.


Situasi menjadi lebih parah lagi ketika orang-orang Israel bersungut-sungut sambil menangis di pintu kemah Musa karena sudah bosan dengan manna. Mereka mau makan daging! Tuhan pun murka dengan sangat, sehingga dinilai jahat oleh Musa. Musa lalu berkata kepada Tuhan, “Mengapa Kau perlakukan hambaMu ini dengan buruk, dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia dalam pandanganMu? Mengapa Engkau membebankan kepadaku tanggung jawab atas seluruh bangsa ini? Akukah yang mengandung atau melahirkan bangsa ini?” (Bil 11: 11-12dst). Musa mengungkapkan perasaan bathinnya cukup panjang kepada Tuhan yang sangat murka dengan Israel karena bersungut-sungut. Namun satu hal yang selalu diminta oleh Musa adalah kasih karunia dari Tuhan. Semoga Tuhan tetap memberi kasih karunia kepada umat kesayanganNya. Musa memang merasa sebagai sebuah beban mendengar tangisan Isarel maka ia berusaha sekuat tenaga supaya Tuhan dapat memberi berkat terbaik kepada Umat Israel. Semua permohonan Musa, selalu didengar dan dikabulkan Tuhan. Masalahnya tetap pada umat Israel yang tidak tahu diri untuk berterima kasih.


Mungkin saja kita merasa lucu dengan sikap orang-orang Israel ini. Mereka mengeluh soal isi perut, dan lupa akan semua kasih dan penyertaan Tuhan. Tuhan berkarya melalui Musa untuk membebaskan mereka tetapi mereka sendiri tidak pernah menyadari kasih dan kemurahan Tuhan. Bagi mereka makan dan minum adalah segalanya. Padahal Tuhan sendiri berkata, “Manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari semua perkataan yang keluar dari mulut Allah” (Ul 8:3; Mat 4:4; Luk 4:4). Kita ingat St. Paulus ketika berkata kepada orang-orang Korintus: “Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah”(1Kor 6:13). Di bagian lain Paulus berkata, “Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka adalah perut mereka” (Flp 3:19). Tuhan Yesus sendiri pernah berkata, “Janganlah kamu kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan dan minum dan janganlah kamu kuatir akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian” (Mat 6:25).


Di dalam bacaan Injil Tuhan Yesus memiliki rasa belas kasih yang besar terhadap orang-orang yang mencari Dia. Ia melihat mereka sendirian seperti domba tanpa gembala. Oleh karena itu Ia menyembuhkan orang-orang yang sakit, memuaskan mereka yang dahaga dan lapar dengan roti dan ikan. Yesus hendak mengajar para muridNya supaya dari sedikit yang mereka miliki, mereka boleh berbagi dengan menyerahkannya kepada kuasa Tuhan. Hasilnya adalah, lima ribu laki-laki, belum terhitung perempuan dan anak-anak dipuaskan oleh roti dan ikan, bahkan masih ada sisanya juga. Tuhan Yesus mengajar para murid untuk bersifat sosial dan jangan takut untuk berbagi dengan mereka yang sangat membutuhkan. Kadang kita juga takut berbagi karena berpikir kita akan hidup berkekurangan. Kita harus berani memberi dan Tuhan akan mencukupkan segalanya bagi kita.


Doa: Tuhan, kami boleh bersyukur kepadaMu karena semua makanan dan minuman yang Engkau berikan setiap hari. Berkatilah saudara-saudari kami yang masih berkekurangan untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan di dalam hidup mereka. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply