Renungan 23 Agustus 2013

Hari Jumat, Pekan Biasa XX

Rut 1:1.3-6.14b-16.22
Mzm 146:5-6.7.8-9a.9bc-10
Mat 22:34-40
Kasihilah!
Saya sangat terinspirasi ketika menyiapkan homili hari ini. Sambil duduk dan membaca Kitab Suci, seorang Konfrater menyetel lagu “Aku mengasihi Engkau Yesus” yang dinyanyikan Nikita Natashia dalam Album “Kasih Dari Surga” dari kamarnya. Lagu ini memiliki kata-kata yang sederhana tetapi sangat mengesankan: Aku mengasihi Engkau Yesus, dengan segenap hatiku, aku mengasihi Engkau Yesus dengan segenap jiwaku. Kurenungkan firmanMU siang dan malam, kupegang p’rintahMu dan kulakukan, Engkau tahu ya Tuhan tujuan hidupku, hanyalah untuk menyenangkan hatiMu”. Lagu itu diputar berkali-kali. Mungkin konfrater itu sedang menyiapkan bahan retret atau sedang bermeditasi secara pribadi. Lirik lagu ini seperti sebuah doa yang bagus: “Aku mengasihi Engkau Yesus, dengan segenap hatiku, aku mengasihi Engkau Yesus dengan segenap jiwaku”

Lirik lagu ini kiranya menginspirasikan kita untuk memahami perikop Injil dan bacaan pertama pada hari ini. Penginjil Matius, mengisahkan bagaimana Yesus menunjukkan kuasaNya untuk membungkam kaum Saduki yang tidak percaya pada kebangkitan badan. Siapakah kaum Saduki itu? Kaum Saduki adalah para tuan tanah yang kaya. Pada umumnya mereka juga termasuk kaum Aristokratik Yahudi yang berkuasa di Yerusalem hingga kota damai itu dihancurkan oleh orang-orang Romawi pada tahun 70M. Mereka bertanggung jawab terhadap ibadat yang dilakukan di dalam Bait Suci sebagai kaum imam. Jabatan imam besar umumnya dipegang oleh kaum Saduki, meskipun tidak semua orang Saduki adalah imam. Kaum Saduki menolak konsep tentang takdir, kekekalan jiwa dan ganjaran kekal setelah kematian. Mereka  menerima ajaran tentang kehendak bebas dari setiap pribadi. 

Dikisahkan oleh Penginjil Matius bahwa ada beberapa orang di antara mereka, datang kepada Yesus dan bertanya tentang kebangkitan. Yesus mengatakan kepada mereka bahwa Allah kita adalah Allah orang hidup bukan Allah orang mati. Dan bahwa pada hari kebangkitan, tidak ada lagi orang yang kawin dan dikawinkan. Semuanya akan seperti malaikat. Jawaban Yesus ini membungkam kaum Saduki. Selanjutnya, salah seorang dari mereka, yakni seorang ahli Taurat mencobai Yesus dengan pertanyaan tentang hukum yang terutama di dalam Hukum Taurat. Yesus menjawab  Ahli Taurat itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu,  dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Ul 6:4-5). Ini adalah perintah yang pertama dan paling utama. Hukum kedua yang sama dengan hukum pertama: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18). Seluruh hukum Taurat dan Kitab para nabi didasarkan pada  kedua perintah ini.” Jawaban Yesus ini bukanlah hal yang baru karena mereka semua juga pasti mengetahuinya dari Kitab Taurat. Di sini, kaum Saduki sekali lagi dibungkam oleh Yesus. Memang pertanyaan mereka kepada Yesus hanyalah pertanyaan jebakan, pertanyaan untuk mencobai Yesus. Perilaku mereka ini menyerupai iblis yang mencobai Yesus di padang gurun. Pada waktu itu Yesus berkata kepada iblis: “Jangan mencobai Tuhan Allahmu” (Mat 4:7). 

Sekarang pikirkanlah di dalam hidup pribadi kita masig-masing. Berapa kali kita juga mencobai Tuhan di dalam hidup pribadi kita. Misalnya, kita boleh saja berdoa tetapi nada mencobai Tuhan selalu ada. Ketika harapan, intensi-intensi belum dikabulkan Tuhan maka mulai muncullah rasa bersungut-sungut atau menggerutu melawan Tuhan. Mengapa semua itu dapat terjadi di dalam hidup kita? Karena kita belum mampu mengasihi Tuhan dan sesama dengan seluruh totalitas kehidupan kita. 

Ketika masih sebagai imam muda, saya pernah mengalami sebuah krisis kecil. Banyak kali saya merayakan ekaristi tanpa devosi dalam arti, saya kurang konsentrasi dalam merayakannya. Mungkin umat melihat semuanya baik tetapi saya merasa sebaliknya. Saya menelpon Bapa Uskup untuk berbicara dengannya. Dalam pertemuan dengan Bapa Uskup, ia memberi saya nasihat yang sangat sederhana. Ia mengatakan, “John kamu harus punya skala prioritas dan ingat baik-baik perintah cinta kasih. Seandainya kamu menyadarinya maka kamu akan merayakan Ekaristi dengan kasih.” Kata-kata Bapa Uskup ini benar-benar menjadi sebuah pencerahan buatku. Sejak saat itu, setiap kali merayakan Ekaristi saya selalu berkata dalam hati: “John prioritasmu adalah merayakan Ekaristi. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, jiwa dan akal budimu”. Saya diubah oleh Tuhan yang berkarya di dalam diri Bapa Uskup dan diubah oleh Ekaristi yang saya rayakan sebagai imam.

Cinta kasih kepada sesama dapatlah dihayati dalam panggilan hidup masing-masing. Dalam hidup berkeluarga kadang-kadang ada juga pengalaman suka dan duka, penderitaan yang datang silih berganti. Ada juga pengalaman kemalangan hingga kematian, Setiap orang dituntut untuk setia di dalam hidupnya. Di dalam bacaan pertama kita mendengar kisah tentang keluarga Elimelekh beserta istri dan kedua anaknya. Mereka meninggalkan Betlehem karena kelaparan menuju ke Moab, sebuah negeri asing bagi mereka. Elimelekh meninggal dunia di Moab, meninggalkan istrinya Naomi dan kedua anak laki-lakinya. Mereka menikah dengan wanita Moab, satunya bernama Orpa dan satunya Rut. Kedua anak laki-laki Naomi juga meninggal dunia meninggalkan dua janda yakni Orpa dan Rut. Si janda Orpa meninggalkan Naomi mertuanya. Naomi juga meminta Rut untuk kembali kepada keluarganya. Namun Rut menunjukkan kesetiaannya kepada keluarga Naomi. Ia berkata, “Janganlah mendesak aku meninggalkan dikau dan tidak mengikuti engkau. Sebab kemanapun engkau pergi, kesitu pula aku pergi. Di mana pun engkau bermalam, di situ pula aku bermalam. Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku”. Naomi tetap tingga bersama Rut. sungguh sebuah relasi persahabatan, relasi kasih yang mendalam.


Rut adalah seorang wanita Moab yang menunjukkan kesetiaannya di dalam keluarga. Dia setia karena mampu mengasihi keluarganya. Sekali menikah, dalam hal ini meninggalkan orang tua dan saudara-saudara dan bersatu dengan pasangan hidup maka persatuan itu harus berlangsung selamanya. Rut adalah model orang yang mengasihi Allah dengan segenap hati, meski pun ia berasal dari negeri asing yakni Moab. Ia juga mengasihi Naomi mertuanya seperti ia mengasihi dirinya sendiri. Kesetiaan Rut menjadi berkat bagi kita semua dalam sejarah keselamatan. Nama Rut yang begitu bersahabat dengan Naomi mertuanya nantinya menjadi nenek moyang Yesus (Mat 1:5) karena raja Daud adalah keturunan dari Rut dan suaminya Boas. Rut juga membantu kita menyadari  bahwa Tuhan menyelamatkan semua orang, mengasihi semua orang. Hal ini terbukti dengan nenek moyang Yesus yakni Rut yang bukan orang Yahudi. Luar biasa Tuhan kita! Ia mengajarkan cinta kasih universal.

Doa: Tuhan, terima kasih karena hari ini Engkau mengingatkan aku untuk mengasihiMu dan mengasihi sesama seperti aku mengasihi diriku sendiri. Semoga aku boleh bertumbuh dalam suasana saling mengasihi. Amen
P. John, SDB
Leave a Reply

Leave a Reply