Uomo di Dio

Berani Mati Dengan Bahagia!

 

PJSDBSaya selalu ingat pengalaman pertama mengikuti rekoleksi bulanan sebagai calon imam pada tahun 1989. Pastor yang membimbing kami dalam rekoleksi bulanan itu mengatakan bahwa istilah yang lebih lazim di dalam setiap komunitas Salesian Don Bosco bukan rekoleksi bulanan tetapi “Latihan untuk mati dengan bahagia”. Tentu saja kami yang mendengarnya untuk pertama kali memang merasa aneh. Apakah benar bahwa kematian itu membahagiakan? Bukankah kematian itu sendiri menakutkan sehingga banyak orang menghindar dari padanya? Ya, kematian memang merupakan bagian dari hidup manusia, sangat menyedihkan dan juga menakutkan bagi setiap orang. Namun demikian setiap orang pasti akan mengalaminya. Setiap orang akan mati satu kali untuk selama-lamanya.

Saya suka mengutip pemikiran Khalil Gibran tentang kematian, ketika ia berkata: “Apabila engkau dengan sungguh hati menangkap hakikat kematian, bukalah hatimu selebar-lebarnya untuk wujud kehidupan, sebab kehidupan dan kematian adalah satu, sebagaimana sungai dan lautan adalah satu”. Pada Puisi yang lain, Gibran menulis, “Sesungguhnya mati adalah janji yang ditepati. Kematian itu berdiri bagai kolom-kolom cahaya antara ranjang di mana ia berbaring dengan jarak tak terjangkau”.

Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kita menemukan figur-figur pria kudus yang inspiratif bagi kita untuk terbuka dalam menerima kematian sebagai pengalaman yang membahagiakan. Salah satu contoh adalah pengalaman tujuh orang saudara bersama ibunya yang ditangkap oleh raja Antiokhus Epifanes (2Mak 7:1-2.9-14). Mereka disuruh untuk memakan daging babi yang haram tetapi mereka tidak mau karena tidak sesuai dengan hukum nenek moyang mereka. Masing-masing anak memiliki pembelaan tersendiri yang berdasar pada iman mereka kepada Tuhan Allah. Salah seorang anak berkata, “Kami lebih senang mati dari pada melanggar hukum nenek moyang!” Anak kedua berkata, “Engkau sebagai manusia dapat menghapus kami dari hidup di dunia ini, tetapi Raja alam semesta akan membangkitkan kami untuk kehidupan kekal, oleh karena kami matidemi hukum-hukumNya!” Anak ketiga dipotong lidah dan tangannya. Ia berani berkata: “Dari surga aku telah menerima anggota-anggota ini! Demi hukum Tuhan, kupandang semua ini bukan apa-apa! Aku berharap akan mendapat kembali semua ini daripadaNya.” Pada akhirnya seorang anak yang mengalami penderitaan juga berkata: “Sungguh baiklah berpulang oleh tangan manusia, dengan harapan yang dianugerahkan Allah sendiri, bahwa kami akan dibangkitkan kembali olehNya. Tetapi bagi Baginda, tidak ada kebangkitan untuk kehidupan”.

Kisah kemartiran ketujuh bersaudara bersama ibunya ini sangatlah terkenal karena mereka tidak mau mencemarkan iman mereka. Pertanyaan bagi kita bukanlah “Apakah saya akan mati?” tetapi “Bagaimana saya dapat mati?” Apakah kematianku memuliakan nama Tuhan? (Yoh 21:19). Banyak orang berpikir bahwa kematian yang membahagiakan itu berarti mati pada usia lanjut tanpa sakit penyakit apa pun. Tuhan tidak pernah mengatakan bahwa kematian yang membahagiakan itu pada usia lanjut tanpa sakit penyakit apa pun, tetapi  segala-galanya itu terjadi karena kasih bahkan karena situasi orang mati di kayu salib (Flp 2:8). Kematian yang membahagiakan karena kasih ditunjukkan sendiri oleh Yesus ketika Ia berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia, sehingga Ia mengaruniakan PuteraNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Tuhan berfirman dari Surga: “Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini” (Why 14:13).

Pada hari ini sebagai pria katolik, kita semua dikuatkan untuk tidak takut mati dalam memperjuangkan dan mempertahankan iman kita. Banyak pria katolik yang menjadi murtad karena perempuan, popularitas, dan kekuasaan. Anda tidak harus berpindah agama supaya menjadi populer karena segalanya itu fana. Semuanya akan berakhir pada saat kematian datang menjemputmu. Kita juga hari ini diingatkan supaya bertumbuh sebagai pria katolik yang berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Banyak Pria Katolik yang lemah dalam membangun kebenaran dan keadilan, sehingga ikut terlibat dalam korupsi dan tindakan kejahatan lainnya.

Mari kita memandang sikap heroik ketujuh saudara bersama ibu mereka. Pria Katolik yang berani mati demi iman kepada Tuhan, demi kebenaran dan keadilan adalah sangat menggembirakan dan ini adalah cara ia memuliakan Allah dengan kematiannya. Tuhan Yesus berkata, “Upahmu besar di Surga” (Mat 5:12).

Doa: Tuhan, kami memohon rahmat istimewa supaya di dalam hidup setiap hari, kami juga boleh mampu dan selalu siap untuk menjadi martir yang memuliakan Engkau dengan pengurbanan diri bahkan menyerahkan nyawa karena cinta kepadaMu. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply