Homili 5 Februari 2014 (Bacaan I)

Hari Rabu, Pekan Biasa Keempat

2Sam. 24:2,9-17;

Mzm. 32:1-2,5,6,7;

Mrk. 6:1-6

 

Berani mengakui kesalahan

Fr. JohnAda seorang bapa yang pernah membagi pengalamannya pada saat ada rekoleksi keluarga. Ia mengakui berhasil memenangkan hati anaknya dengan berani dan rendah hati meminta maaf. Kejadian terjadi beberapa tahun yang lalu. Ia barusan kembali dari kantor. Ia sedang stress dengan kemacetan di jalan dan banjir di mana-mana. Ia butuh waktu untuk tenang dan beristirahat. Tetapi anaknya duduk di lantai dan merajuk meminta dibelikan makanan kesukaannya. Istrinya belum pulang dari arisan ibu-ibu wanita katolik. Ia pun memarahi anaknya. Tentu saja anak usia 4 tahun itu terluka dengan bentakan sang ayah. Ia menangis dan masuk ke kamarnya sedangkan ayahnya duduk di depan televisi menanti kedatangan istrinya. Sambil menonton televisi, ia mengingat kembali sikap terhadap anaknya. Ia menutup televisi, masuk ke kamar anaknya dan sambil berlutut di pinggir ranjang ia meminta maaf, memeluk dan mencium anaknya. Sejak saat itu mereka berdua menjadi sahabat yang baik.

Sharing sederhana ini menggugah hati banyak keluarga saat itu. Banyak orang yang mengakuinya bahwa ia seorang bapa yang baik. Banyak juga yang jujur mengatakan, mereka masih mengalami kesulitan untuk meminta maaf kepada anak-anaknya.  Tetapi pada hari itu saya sendiri merasakan sebagai hari yang penuh sukacita karena semua orang tua disadarkan untuk menjadi rendah hati di hadirat Tuhan dan sesama dalam melayani, meminta maaf kalau memang ada kesalahan terhadap sesama. Orang yang rendah hati akan berjiwa besar untuk mengampuni, dan mengasihi sesama seperti dirinya sendiri.

Pada hari ini kita mendengar kembali kisah Daud. Setelah anaknya Absalom tewas di tangan Yoab, Daud kembali menyusun strategi dan membangun kekuatan baru. Pada saat yang bersamaan, orang-orang Israel masih tetap berdosa melawan Tuhan. Oleh karena itu Tuhan murka terhadap orang Israel dan ia menghasut Daud untuk melawan mereka. Ia berkata: “Pergilah, hitunglah orang Israel dan orang Yehuda” (2Sam 24:1). Daud lalu sepakat dengan Yoab dan para panglima tentaranya dengan sebuah perintah untuk membuat sensus penduduk Israel dari Dan sampai Bersyeba (2Sam 24:2). Hasil sensus penduduk adalah: orang Israel ada 800.000 yang bisa memegang pedang dan orang-orang Yehuda 500.000 orang. Jadi untuk mendukung strategi perangnya, Daud memiliki 1.300.000 calon serdadu.

Tetapi Daud menyadari kesalahannya. Ia merasa bersalah setelah membuat sensus penduduk yang lebih condong untuk mendukung aksi militerisasi. Tentu saja ini adalah strategi untuk mengokohkan kedudukannya. Ia lupa bahwa hanya ada satu raja yang tak tergantikan yakni Tuhan. Daud sudah merasa sombong karena mengandalkan dirinya bukan Tuhan. Setelah sadar, ia mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia berkata kepada Tuhan: “Aku telah sangat berdosa karena melakukan hal ini. Sekarang Tuhan, jauhkanlah kiranya kesalahan hambaMu, sebab perbuatanku ini sangat bodoh” (2 Sam 24:10). Melalui Gad, Tuhan memberikan teguran keras kepada Daud dengan memberikan juga tiga malapetaka: kelaparan, melarikan diri dari musuh dan tiga hari ada penyakit sampar. Tuhan akhirnya menjatuhkan penyakit sampar kepada orang-orang Israel. Jumlah korban tewas sebanyak 70.000 orang. Tuhan sempat menyatakan penyesalan atas murkaNya dan menyuruh malaikat untuk tidak melakukan pemusanahan terhadap Yerualem. Daud dengan besar hati berkata kepada Tuhan: “Sesungguhnya, aku telah berdosa, dan aku telah membuat kesalahan, tetapi domba-domba ini, apakah yang dilakukan mereka? Biarlah kiranya tanganMu menimpa aku dan kaum keluargaku” (2Sam 24:17).

Sikap Daud ini patut kita ikuti. Ia menyadari bahwa ia telah berdosa dan murka Tuhan dirasakan oleh banyak orang termasuk orang-orang yang tidak bersalah. Orang besar melakukan kesalahan, rakyat kecil ikut merasakan dampaknya. Hal positif yang dilakukan oleh Daud adalah keberaniannya untuk meminta maaf kepada Tuhan dan memohon pengampunanNya.

Pada zaman ini kesadaran akan dosa semakin memudar. Orang seakan tidak memiliki hati nurani lagi. Negara kita Indonesia tercinta tercatat sebagai salah satu Negara yang tingkat korupsinya tinggi. Orang tidak malu-malu melakukan korupsi. Mengapa? Ya, ketika para pemimpinnya melakukan korupsi dalam skala besar maka efeknya akan sampai ke akar rumput. Misalnya, ada lurah atau kepala desa yang tidak malu melakukan korupsi meskipun masih dalam skala kecil. Aneka pungutan liar muncul di mana-mana. Surat keterangan domisili dibayar mahal. Sayang sekali karena kelurahan itu tetap tidak maju-maju. Ini adalah bukti turun temurunnya korupsi di negeri ini.

Apakah anda pernah mendengar ungkapan penyesalan para koruptor atau pelaku kejahatan lainnya? Hal yang terjadi adalah mereka tertawa senang di depan layar kaca seperti tidak ada masalah, mendadak mengenakan busana sesuai agamanya, kamar penjaranya seperti kamar hotel berbintang dan lain sebagainya. Orang-orang ini martabatnya sudah seperti hewan piaraan karena tidak ada rasa malunya lagi. Seekor kucing yang memakan makanan di atas meja tuannya akan tetapi bersikap munafik dengan mengeluskan tubuhnya di kaki tuannya kapan ada kesempatan. Nah, ketika ada kesempatan yang tepat ia akan mencuri makan di atas meja tuannya lagi.

Kita butuh semangat Daud. Ia orang berdosa tetapi dengan jiwa besar berani mengakui dosanya dan berani juga berubah. Andaikan para Daud modern bisa rendah hati dan mengatakan jujur kepada public bahwa ia telah mencuri uang negara maka ia akan lebih dihormati dari pada berjanji untuk memotong jari atau digantung di monas, tanpa ada realisasi. Hal yang ada adalah pembenaran diri yang berkelanjutan.  Mari kita berubah!

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk berani meminta maaf kalau kami jatuh dalam dosa. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply