Uomo di Dio: Seorang Ayah yang Mengampuni

Seorang Ayah yang Mengampuni

P. John SDBPada suatu kesempatan saya didatangi sebuah keluarga dan mereka meminta kepada saya waktu luang untuk merayakan ibadat rekonsiliasi keluarga. Bapa keluarga itu menjelaskan persoalan yang sedang dihadapinya. Puteranya pernah menjadi aktivis Orang Muda Katolik. Rumah tinggalnya sering menjadi markas di mana para sahabat OMK selalu berkumpul bersama untuk melakukan aneka kegiatan rohani. Sayang sekali musibah memalukan terjadi. Puteranya menggelapkan uang perusahan dengan tujuan yang tidak jelas. Ada dugaan uang itu untuk narkoba. Pada suatu kesempatan debt collector mendatangi rumah dan menggertak keluarga dan ayahnya berhadapan dengan mereka. Seluruh keluarga kaget dan berada di bawah tekanan karena peristiwa itu. Rasa malu menguasai keluarga dan mereka juga enggan hidup bermasyarakat dan ke Gereja Paroki untuk beribadat. Mereka pergi ke paroki lain untuk misa dan kegiatan rohani lainnya. Ayah itu bersumpah untuk tidak mengenal puteranya lagi.

Waktu berubah cepat, persoalah puteranya ini sudah bisa di atasi dan semua orang juga sudah mulai lupa akan peristiwa memalukan ini. Ayah, ibu dan saudaranya sudah aktif kembali di lingkungan. Pada suatu hari ibu mendesak bapa untuk berekonsiliasi dengan anaknya. Ibunya berkata: “Ia memang bersalah tetapi tetap anak kita”. Ayahnya hanya berkata: “Saya butuh waktu untuk pulih dari rasa malu yang menguasaiku”. Pada kesempatan yang lain ibu berkata kepada bapa: “Ampunilah anak kita karena Tuhan juga mengampuni.” Kata-kata sederhana dari ibu ini membuat bapa itu berubah pendirian. Ia mau mengampuni anaknya dan menerima kembali anaknya di rumah. Oleh karena itu mereka memanggil pastor untuk ibadat rekonsiliasi keluarga.

Ibadat berjalan dengan baik dan mengharukan. Setelah homily saya mendoakan dan memberi kesempatan kepada keluarga untuk saling mengampuni. Orang tua dan saudaranya duduk dan “Putera yang hilang” itu mendekati mereka dan meminta maaf. Ia berlutut di depan ibunya dan suasana mengharukan. Ibunya berkata: “Sejahat-jahatnya engkau, engkau tetaplah anakku”. Ayahnya berkata: “Ayah harus meminta maaf kepadamu, karena selama ini sibuk dan tidak memperhatikanmu. Engkau jatuh ke dalam dosa karena kesalahan ayah yang tidak memperhatikanmu. Saya pernah marah tetapi kemarahan saya sudah berakhir karena saya tetaplah ayahmu”. Saudaranya berkata: “Sebagai adik saya malu dengan perbuatanmu tetapi engkau tetaplah kakakku. Kita berasal dari satu kandungan yang sama.” Mereka saling berpelukan dan menangis. Suasana menjadi cair, mereka saling menerima satu sama lain. Setelah peristiwa ini, keluarga ini berubah menjadi solid. Mereka selalu bersama-sama. Kebersamaan, persaudaraan mengubah segalanya!

Pengalaman ini sangat menakjubkan. Rekonsiliasi keluarga itu penting dan harus karena setiap orang memiliki aneka kelebihan dan kekurangan. Perbuatan salah dan dosa bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal diri sebagai orang tua atau anak. Ketika ada pengalaman keras seperti keluarga ini, masing-masing pribadi harus terbuka dan siap untuk berubah dalam segala hal. Pengalaman keluarga ini mengajarkan kepada kita banyak hal:

Pertama, Mengampuni berarti melupakan. Ayah memiliki karakter yang keras tetapi ia berusaha untuk sadar diri dan melupakan kesalahan anaknya. Ia sendiri mengakui: “Engkau jatuh ke dalam dosa karena kesalahan ayah yang tidak memperhatikanmu”. Ini tipe ayah yang baik dan takut akan Allah. Saya teringat pada gambaran Tuhan dalam Kitab nabi Hosea ketika berhadapan dengan orang Israel yang suka menyembah berhala. Tuhan berkata: “Aku akan memulihkan mereka dari penyelewengan, Aku akan mengasihi mereka dengan sukarela, sebab murka-Ku telah surut dari pada mereka. Aku akan seperti embun bagi Israel, maka ia akan berbunga seperti bunga bakung dan akan menjulurkan akar-akarnya seperti pohon hawar.” (Hos 14:4-5). Ayah yang baik adalah dia yang berani mengatakan: “Mengasihi dengan sukarela sebab murkanya sudah surut”. Ia berani melupakan kesalahan anaknya dan mengampuni dengan bebas.

Kedua, Anak tetaplah anak. Ayah dan ibu digambarkan sebagai pribadi yang menyadari bahwa anak tetaplah anak. Mereka membuat kesalahan yang memalukan tetapi tetaplah anak yang dikasihi dan diampuni. Waktu berganti cepat dan mereka menyadari sebagai orang tua bahwa mengampuni dan mengasihi anak adalah tugas panggilan mereka. Orang tua hendaknya berlaku seperti Tuhan: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” (Yes 49:15). Tuhan tidak akan melupakan seorang anak yang berdosa. Ia akan mencari dan menyelamatkannya!

Ketiga, indahnya mengampuni. Pengalaman saling mengampuni menjadi indah bukan hanya dalam level manusiawi. Pengalaman rekonsiliasi menjadi lebih indah lagi ketika kita merasakannya bersama Tuhan. Pernahkah anda merasakan indahnya rekonsiliasi setelah mengakui dosa dan salahmu? Tuhan mengampunimu, maka anda juga bertugas untuk mengampuni semua orang yang menyakitimu, yang berdosa terhadapmu.

Figur ayah dengan karakter yang keras tetaplah menginspirasikan banyak pria katolik yang mungkin saja memiliki pengalaman sebagai anak yang berdosa karena menyakiti hati orang tua, atau orang tua yang berhadapan dengan anak yang beperilaku di luar batas kewajaran dalam pikiran orang tua. Kalau sebagai anak maka sadarilah dan berani meminta maaf kepada orang tua. Kalau sebagai ayah dan ibu, beranilah mengampuni, beranilah berekonsiliasi dengan anakmu. Jangan membiarkan anakmu tenggelam dalam lumpur dosa. Hidup kita sebagai pria katolik bernilai ketika kita bisa mengampuni dan mengasihi. Tuhan Yesus sudah melakukannya dengan sempurna dan kita pun mengikuti jejakNya. Apakah anda berani mengampuni?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply