Uomo di Dio: Mengolah Cara Pandang

Mengolah Cara Pandang

P. John SDBAda seorang sahabat yang membagi pengalamannya di perusahaan. Ia menceritakan bahwa pernah terjadi ada dua salesman dari perusahaan sepatu dan sandal dikirim ke luar negeri, dalam rangka mencari daerah baru untuk pemasaran sepatu dan sandal. Ketika tiba di negeri yang dituju mereka memperhatikan bahwa kebanyakan orang-orang di sana tidak menggunakan sepatu dan sandal. Mereka lebih memilih berjalan di jalan dengan kaki kosong dari pada bersepatu. Di sebuah lapangan, ada anak-anak yang bermain bola kaki, mereka tidak menggunakan sepatu untuk sepak bola. Ketika mampir di sebuah sekolah, kebanyakan anak-anak sekolah masih petrgi ke sekolah dengan sandal jepit bukan sepatu atau sandal sepatu.

Setelah melihat situasi seperti ini, kedua salesman memiliki reaksi yang berbeda-beda. Salesman pertama mengirim BBM kepada bossnya berbunyi: “Sir, saya akan segera kembali ke kantor karena di sini sepatu dan sandal, belum menjadi kebutuhan orang.” Salesman kedua mengirim BBM kepada bosnya berbunyi: “Sir, saya merasa kagum dan betah karena di sini sesungguhnya memiliki potensi yang besar bagi pemasaran produk sepatu dan sandal dari perusahaan kita. Karena tanahnya berbatu maka kita siapkanlah sepatu dan sandal yang lebih kuat untuk negeri ini.”

Kisah sederhana ini sering dialami bukan hanya oleh para karyawan bagian pemasaran produk perusahaan tetapi oleh banyak orang termasuk kita kaum pria katolik. Mungkin saja banyak di antara kita memiliki pengalaman sulit atau mudah dalam mengolah cara pandang kita terhadap sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Cara pandang kita memiliki dampak terhadap segala keputusan, kesepakatan dan kebijakan di dalam hidup dan lingkungan di mana kita berada.

Kita perlu jujur di hadapan Tuhan dan sesama: Banyak kali cara pandang kita terhadap sesama hanya dari satu sisi saja dan mungkin itu cara pandang yang salah. Kita perlu mengolah kemampuan kita untuk menggunakan cara pandang yang global, yang bisa melihat kemungkinan untuk berkembang dan menguntungkan serta membahagiakan banyak orang. Dari kisah dua orang salesman di atas kita belajar hal yang sangat berharga: di dalam diri kita ada mentalitas santai, cenderung malas, tergesa-gesa tetapi ingin menjadi orang yang bahagia. Tentu saja hasil yang mau dicapai setimpal dengan cara pandang kita sendiri. Salesman pertama hanya memandang dari sudut pandangnya yang sempit sehingga tidak melihat kemungkinan pemasaran sepatu dan sandal di negeri itu. Ia bermental santai dan tidak mau mempersulit dirinya. Salesman yang kedua melihat negeri itu sebagai tempat yang tepat untuk menjual produksi sepatu dan sandal. Ia berpikir bahwa orang-orang akan bersaing untuk mendapatkan produk perusahaan mereka. Orang perlu memiliki daya juang, berani untuk melawan arus.

Cobalah kita pikirkan dalam hidup setiap hari di rumah. Banyak kali kita belum mengolah cara pandang kita dengan baik dan benar. Kita mungkin lebih egois sehingga melihat hanya dari diri kita, yang menguntungkan dan membahagiakan diri sendiri dan lupa bahwa tujuan kita adalah membuat orang lain bahagia. Ketika kita hanya memusatkan segalanya bagi diri kita sendiri maka akan berdampak dalam relasi antar pribadi. Komunikasi dengan pasangan dan anak-anak terganggu. Sebagai kaum pria kita bisa terisolasi di dalam dunia kita yang sempit karena belum mampu mengolah cara pandang kita terhadap diri, lingkungan dan sesama kita.

Tuhan sudah melengkapi kita semua dengan akal budi untuk membantu kita berpikir dan bertindak. Akal adalah kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki manusia. Berpikir adalah perbuatan operasional yang mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Akal berfungsi untuk berpikir, kemampuan berpikir manusia untuk mengingat kembali apa yang telah diketahui sebagai tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan membentuk tingkah laku kita. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Budi berarti bathin manusia, panduan akal dan perasaan yang dapat menimbang baik buruk segala sesuatu.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenal Allah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri: yakni wahyu ilahi (Bdk. Konsili Vat I: DS 3015.). Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus.“ (KGK,50)

Sedangkan dalam KGK, 1706 dikatakan: “Oleh akal budinya, manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya “untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat” (GS 16). Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nurani dan dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. Dalam tindakan moral tampaklah martabat manusia.“

Kita semua diajak hari ini untuk bersyukur kepada Tuhan karena Ia melengkapi hidup kita dengan akal budi. Mari kita menggunakan akal budi untuk mendengarkan suara Allah untuk mengasihi dan berbuat baik demi perkembangan hidup umat manusia. Orang yang berakal budi akan mengolah cara pandangnya dengan baik. Lepaskanlah sikap egois yang menghalangi kita untuk berjumpa dengan sesama.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply