Homili 6 Juni 2014

Hari Jumat Pekan Paskah VII
Kis 25:13-21
Mzm 103:1-2.11-12.19-20ab
Yoh 21:15-19

Kasih itu indah!

Fr. JohnAda sebuah pasangan muda. Konon mereka sudah berpacaran tujuh tahun lamanya tetapi belum sempat mengambil keputusan untuk menikah. Mereka sepakat untuk menyiapkan diri lebih matang lagi kemudian melangkah menuju ke tahap relasi berukutnya yakni pernikahan suci. Ada suatu momen yang indah ketika merayakan hari ulang tahun masa pacaran mereka. Mereka berjalan-jalan dan singgah di sebuah toko buku rohani. Sang cowok melihat pembatas buku dengan gambar yang menarik yakni pasangan muda duduk dan memandang ke lautan yang luas. Ada juga tulisan yang berbunyi: “Kasih itu indah.” Sang cewek juga melihat benda-benda devosional dan tiba juga di tempat pembatas buku. Ia melihat pembatas buku yang sama dan membelinya. Ketika berada di mobil, sang cowok memberi pembatas buku kepada pacarnya dan spontan pacarnya berkata: “Kog sama. Aku juga membeli yang sama untukmu”. Cowoknya menjawab: “Memang sama, karena kasih itu tetaplah indah.”

Pengalaman manusiawi tetapi sangatlah mengesankan hidup orang-orang muda. Kadang mereka belum mengerti lebih dalam apa makna sebuah relasi kasih. Dalam penyelidikan kanonik, saya pernah bertanya kepada sepasang calon suami istri, apa tujuan mereka menikah. Karena usia mereka masih muda sekali maka mereka menjawab: “Supaya kami bisa dianugerahi keturunan oleh Tuhan”. Saya mengatakan kepada mereka bahwa ini adalah alasan yang sangat manusiawi.Tujuan pernikahan adalah supaya ada kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh pasangan. Kebahagiaan yang dialami di dalam diri masing-masing itu dibangun di atas kasih yang indah.

Para murid Yesus mengalami kasih yang indah dari Yesus sendiri. Tuhan Yesus telah berjalan dalam lorong-lorong kehidupan mereka dan memanggil dengan nama mereka masing-masing. Tuhan Yesus juga sudah berjanji untuk mengubah mereka dari status penjala ikan menjadi penjala manusia. Kasih itu indah ketika semua orang yang dilayani oleh para murid Yesus itu mendapat kebahagiaan lahir dan bathin. Para murid merasa sungguh-sungguh dikasihi dan belajar mengasihi. Pengalaman mengasihi dan dikasihi dalam komunitas Yesus itu dialami selama lebih kurang tiga tahun. Mungkin saja sebelumnya para murid, lebih khusus lagi para rasul merasa sudah berada di zona nyaman, sudah merasa bahagia karena dikasihi Yesus. Namun ada dua hal yang mestinya serius dihadapi oleh para murid yakni mengikuti jejak Kristus, dalam hal ini siap untuk menderita supaya nantinya bisa memperoleh kebahagiaan kekal dan berusaha untuk mengasihi Yesus lebih dari yang lain.

Yesus yang sudah bangkit mulia menampakkan diri kepada tujuh orang muridNya. Dikisahkan oleh Penginjil Yohanes bahwa setelah sarapan Yesus berdialog dengan Simon Petrus. Yesus bertanya kepada Simon Petrus untuk pertama kali: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” (Yoh 21:15). Setelah mengalami kasih Tuhan, ternyata Petrus juga belum sadar sepenuhnya sehingga ia juga menyangkal Yesus tiga kali. Kali ini Yesus berhadapan dengannya dan bertanya apakah ia mengasihi Yesus lebih dari pada keenam murid yang lain. Simon Petrus menjawab bahwa Tuhan sendiri tahu bahwa ia mengasihiNya. Ia pun disadarkan untuk menerima tugas supaya menggembalakan “kambing-kambing kecil” artinya mereka yang baru memulai perjalanan rohani dengan Yesus. Petrus bertugas untuk menjadi gembala bagi orang-orang yang kecil, sederhana, belum sepenuhnya mengimani Yesus.

Yesus bertanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” (Yoh 21:16). Pertanyaannya mirip hanya tidak ada kalimat “lebih dari pada mereka ini”. Simon Petrus menjawab seperti sebelumnya. Ia masih menyadari kasih yang manusiawi, kasih yang emosional atau menyangkut rasa hati (philein). Ia belum memahami kasih yang sifatnya ilahi, rohani dan oblatif (agapan). Yesus memberi tugas kepadanya untuk menggembalakann domba, kali ini bukan lagi mereka yang baru memulai perjalanan rohani bersama Yesus tetapi mereka yang sudah sedang mengikuti Yesus. Simon menjadi gembala yang mengarahkan mereka untuk tetap bersatu denganNya.

Yesus bertanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku. (Yoh 21:17). Pada pertanyaan ketiga ini Simon baru menyadari bahwa pertanyaan tentang kasih itu bukan hanya sekedar rasa hati (philein) tetapi yang Yesus maksudkan adalah kasih yang ilahi (agapan).Ia menjadi sedih karena mengingat masa lalunya di mana pernah menyangkal Yesus tiga kali. Kini ia berhadapan dengan Yesus yang bangkit mulia dengan tiga pertanyaan tentang kasih dan ia harus jujur mengatakannya kepada Yesus. Ia mendapat tugas untuk menjadi “alter Christus” untuk menjadi gembala, gereja.

Tentu saja Simon menerima diri sebagai pilihan Yesus untuk menjadi gembala maka sekarang konsekuensi dari mengikuti Yesus adalah menjadi serupa denganNya. hanya mengasihi Yesus sebagai sebuah janji, belumlah cukup. Janji itu harus dilakukan dengan nyata. Simon Petrus berjanji untuk mengasihi Yesus lebih dari yang lain dan kemartiran adalah jalan yang ditempuhnya. Kemartiran, dalam hal ini penyaliban akan menjadi bagian dari akhir hidup Simon Petrus. Ia akan menunjukkan dirinya mengasihi Yesus lebih dari yang lain dan mengasihi Gereja yang tugas kegembalaannya diberikan Yesus kepadanya.

Kisah hidup Simon Petrus mirip dengan akhir hidup St. Paulus. Setelah melakukan perjalanan misioner, banyak orang merasakan kasih dan kebaikan Tuhan maka Paulus masuk dalam penderitaan. Ia menjadi tawanan karena mengajarkan bahwa Yesus Kristus yang sudah wafat itu sungguh-sungguh bangkit. Ia hidup di tengah jemaat yang percaya kepadaNya. Inilah yang menjadi dasar dan alasan mengapa Paulus ditawan untuk diadili dan ia naik banding.

Mengasihi Yesus berarti siap menjadi serupa denganNya. Apakah anda juga rela menderita untuk kebahagiaan sesama seperti Yesus? Kasih itu indah!

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk mamp mengasihi seperti Engkau sendiri. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply