Homili 14 Juni 2014

Hari Sabtu, Pekan Biasa X
1Raj 19:19-21
Mzm 16: 1-2a.5.7-8. 9-10
Mat 5:33-37

Kehendak Tuhan itu Selalu Mengalir

Fr. JohnAda seorang ibu yang menulis statusnya di facebook “Merasa terberkati”. Banyak orang bertanya kepadanya mengapa ia merasa terberkati padahal suaminya masih terbaring di rumah sakit. Ia mengatakan bahwa suami sedang sakit bukan menjadi halangan untuk mengatakan rasa syukur atas berkat yang diterimanya dari Tuhan. Ia bersyukur karena anak yang diragukan kemampuan belajarnya ternyata bisa naik kelas dengan hasil yang baik. Anak laki-laki itu memang sulit diatur di rumah tetapi kini menjadi tenang dan selalu siap untuk membantu atau memberi pertolongan kepada ibunya. Itu sebabnya ibu itu memang merasa berat karena suaminya masih sakit tetapi bahagia dan diberkati karena anaknya berubah menjadi lebih baik. Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam menerima dan menghayati kehendak Allah. Rasanya kehendak Tuhan Allah itu terus menerus mengalir di dalam hidup manusia. Maka sangat tergantung bagaimana manusia berusaha untuk menerima dan menghayatinya di dalam hidup setiap hari.

Pada hari ini kita mendengar kisah panggilan nabi Elisa. Ketika Elia meninggalkan gunung Horeb atau gunung Tuhan, ia berjumpa dengan Elisa yang sedang bekerja. Nama Elisa berarti taat kepada Tuhan. Ketika Elia berjumpa dengannya, ia sedang bekerja yakni membajak dengan dua belas pasang lembu. Elia yang berarti Tuhanku adalah Allah lewat dan melemparkan jubahnya kepada Elia. Jubah itu simbol kekuasaan dari Tuhan dalam diri Elia. Maka ketika Elia melemparkan jubahnya kepada Elisa dan ia menangkapnya berarti kuasa Tuhan itu diterima oleh Elisa. Ia harus mentaati kehendak Tuhan. Sikap Elisa adalah memahami maksud Elia dan mengikuti Elia tetapi dengan syarat memohon ijin dari orang tuanya. Ini memang prinsip anak yang baik dan patut memohon restu orang tua dengan mencium. Elisa pun kembali ke rumahnya dengan rasa syukur, mengingat kehendak Tuhan yang sudah diberikan kepadanya oleh nabi Elia. Di rumahnya ia menyembelih dan memasak daging lembu piaraannya untuk orang tuanya setelah itu ia mengikuti Elia.

Kisah panggilan Elisa ini sangat menarik untuk kita renungkan. Tuhan bebas untuk memanggil siapa saja sesuai dengan kehendakNya dan orang itu juga diberi kebebasan untuk menjawabnya. Hal yang penting di sini adalah prinsip hidup yang jelas dan keterbukaan untuk menerima kehendak Tuhan. Elisa percaya bahwa Tuhan ada dan bekerja melalui nabi Elia. Ia pun terpanggil untuk menjadi utusan Tuhan bagi banyak orang lain. Dari kisah panggilann Elisa ini, kita menyadari bahwa panggilan hidup itu menjadi matang kalau ada Tuhan yang memanggil, ada orang yang lain yang memperkenalkan panggilan Tuhan dan diri kita yang terbuka kepada panggilan Tuhan. Kita tidak pernah memanggil diri kita sendiri tetapi Tuhanlah yang pertama melakukannya.

Panggilan itu membutuhkan komitmen pribadi yang jelas. Komitmen itu ditunjukkan dengan sumpah atau janji, di mana sumpah atau janji itu harus ditepati. Bagi Yesus persoalannya bukan hanya sekedar menepati sumpah atau janji tetapi sebuah komitmen yang jelas karena sumpah atau janji itu mengikat Tuhan dan manusia yang mengikrarkannya. Pada hari Tuhan Yesus bersabda: “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.” (Mat 5:30). Ini adalah hukum lama dan dikoreksi oleh Tuhan.

Unsur baru yang ditegaskan oleh Tuhan dalam membangun komitmen untuk mentaati kehendak Allah adalah keberanian untuk mengatakan ya atau tidak. Ketegasan ini memang penting karena Yesus adalah Kebenaran dan Hidup. Lebih jelas Yesus ungkapkan dalam perkataan ini: “Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat 5:34-37)

Pada zaman ini banyak orang tidak setia pada komitmennya. Sifatnya plin plan terhadap komitmen pribadinya. Orang yang menikah tidak setia kepada janji pernikahannya. Orang yang hidup membiara atau imamat, tidak setia pada nasihat-nasihat injil untuk menjadi orang yang taat, miskin dan murni. Orang yang bekerja dalam bidang pemerintahan tidak setia memenuhi janji-janji politiknya. Menjadi pemimpin bermulut busuk karena janji hanya janji pada saat berkampanye tetapi ketika melihat uang hatinya melekat dan lupa pada janji dan komitmennya. Ada politikus yang mengatakan “Katakan tidak pada korupsi” tetapi tetap korupsi juga. Kita butuh Tuhan untuk membaharui hidup dan panggilan kita masing-masing.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk setia pada komitmen panggilan kami. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply