Homili 13 Juni 2014

Hari Jumat, Pekan Biasa X
1Raj 19:9a.11-16
Mzm 27:7-8a.8b-9abc, 13-14
Mat 5: 27-32

Nabi itu Bekerja Untuk Tuhan

Fr. JohnNabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba, artinya orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima Wahyu Tuhan. Bisa juga dikatakan nabi adalah seorang yang berbicara atas nama Tuhan. Nabi menyampaikan semua pesan Tuhan kepada manusia baik pesan yang sudah lampau, sekarang dan yang akan datang. Nabi itu mendapat penerangan dari Tuhan untuk bernubuat, berkotbah, menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia. Dalam Katekismus Gereja Katolik, dikatakan bahwa dengan perantaraan para nabi, Allah membina bangsaNya dalam harapan akan keselamatan, dalam menantikan suatu perjanjian yang baru dan kekal yang diperuntukan bagi semua orang (Yes 2:2-4) dan ditulis di dalam hati mereka (Yer 31:31-34) (KGK, 64). Para nabi juga menghadirkan Allah yang berbicara, mengajak Israel dan semua bangsa supaya berpaling kepadaNya sebagai satu-satunya Allah (KGK, 201). Secara singkat boleh dikatakan bahwa nabi itu bekerja untuk Allah dan mambawa manusia kepada Allah sendiri saja.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah nabi Elia. Setelah menunjukkan karya agung Allah bagi dunia pada masa pemerintahan raja Ahab, dalam hal ini Tuhan Allah menurunkan hujan dari langit ke atas bumi maka kini dikisahkan Elia berada di gunung Horeb atau gunung Tuhan. Di gunung Horeb ini, Allah menyatakan diriNya kepada Elia. Elia sendiri masuk ke dalam gua dan bermalam disana. Tuhan menyatakan diriNya melalui tanda-tanda alam dengan berkata: “Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuhan!” Maka Tuhan lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului Tuhan. Tetapi tidak ada Tuhan dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada Tuhan dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.” (1Raj 19:11-12).

Tuhan bertanya kepada Elia: “Apakah kerjamu di sini?” Sebagai utusan Tuhan, Elia menjawab: “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup, dan mereka ingin mencabut nyawaku.” (1Raj 19: 14).

Di hadirat Tuhan yang mahamulia, Elia tidak mampu memandang Tuhan dengan kemuliaanNya. Tuhan berkata:”Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik, dan setelah engkau sampai, engkau harus mengurapi Hazael menjadi raja atas Aram.”  (1Raj 19: 15). Yehu, cucu Nimsi juga akan diurapi oleh Elia manjadi raja atas Israel dan Elisa bin Safat, dari Abel Mehola menjadi, harus diurapi menjadi penggantinya.

Kisah nabi Elia di dalam bacaan pertama ini menunjukkan bagaimana orang terbuka kepada Tuhan dan mengikuti segala kehendakNya. Nabi itu selalu menjadi utusan yang melakukan pekerjaan Tuhan bukan pekerjaannya sendiri. Di dalam sebuah keluarga, para orang tua perlu menjaga dan mendidik anak-anak. Ini merupakan sebuah tugas kenabian dari para orang tua yakni dengan bekerja untuk Tuhan di dalam diri anak-anak. Orang tua berani menghadirkan Tuhan di dalam diri anak-anak. Demikian sebaliknya anak-anak dapat menjadi nabi bagi para orang tuanya. Saya pernah mengenal sebuah keluarga katolik, ketika itu anak-anak yang pertama menjadi katolik. Lama kelamaan orang tuanya juga menjadi katolik. Ketika ditanya alasan mengapa menjadi katolik, mereka mengatakan bahwa anak-anak mereka itu memiliki akhlak yang baik karena dididik secara katolik.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini menekankan tentang kesucian hidup berkeluarga. Hal-hal yang diangkat oleh Tuhan adalah Yesus dalam perikop kita adalah tentang dosa-dosa yang melawan kesucian keluarga yakni perzinahan, kenikmatan mata dan tangan, dan perceraian. Dosa-dosa melawan kesucian perkawinan ini tidaklah dikehendaki oleh Tuhan melainkan semata-mata oleh ketegaran hati manusia. Memang sakramen perkawinan terwujud melalui janji-janji yang dibuat oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan di hadapan Allah dan gereja yang diterima oleh Allah dan disempurnakan dengan persetubuhan. Karena Allah sendiri yang membentuk ikatan perkawinan sakramental maka sakramen ini bersifat mengikat sampai maut memisahkan.

Para suami dan istri adalah nabi yang bersatu dan mewujudkan sebuah persekutuan mesra. Sebagaimana Kristus bersatu dengan Gereja demikian suami dan istri juga bersatu dengan mesrah. Mereka bukan lagi dua melainkan satu.

Doa, Tuhan kami memohon berkat bagi keluarga-keluarga. Semoga para suami dan istri menjadi nabi di dalam keluarga. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply