Homili Hari Minggu Biasa XXII/A

Hari Minggu Biasa XXII/A
Yer 20:7-9
Mzm 63:2.3-4.5-6.8-9
Rm 12:1-2
Mat 16:21-27

Mengikuti Kristus dari dekat

Fr. JohnAda seorang ibu guru yang mengajar agama kepada anak-anak yang akan menerima komuni pertama di Sekolah Dasar. Ia menjelaskan tentang stasi-stasi jalan salib yang selalu didoakan pada masa prapaskah. Setiap stasi dijelaskan dan direnungkan bersama. Pada stasi yang keempat, mereka merenungkan Tuhan Yesus berjumpa dengan ibuNya. Ibu guru itu menjelaskan bahwa dalam perjumpaan ini, Yesus dan ibuNya tidak sempat berbicara apa-apa, mereka hanya saling memandang dengan tatapan penuh kasih sebagai Anak dan ibu dan mereka hanya berbicara dengan menggunakan isyarat mata. Anak-anak membayangkannya, kemudian ibu guru bertanya kepada mereka, apa kira-kira isi pembicaraan mereka dengan isyarat mata itu. Ada seorang anak menjawab: “Yesus menyampaikan Bunda Maria, “Bu, hal yang tidak adil sedang menimpa diriKu.” Seorang anak yang lain menjawab: “Yesus sedang bertanya kepada ibuNya: Mami mengapa Aku bukan orang lain?” Seorang anak yang lain menjawab: “Sambil mereka saling memandang, bunda Maria menguatkan Yesus dengan berkata, ayo Anakku lanjutkan perjalanan SalibMu ke Golgotha untuk menebus manusia yang berdosa.” Ada banyak jawaban dari anak-anak ini. Mungkin yang agak tepat adalah motivasi yang diberikan Bunda Maria kepada Yesus puteranya. Bunda Maria sudah tahu, bahkan sudah menyimpannya di dalam hati (Luk 2:19) bahwa Yesus akan mengalami Paskah.

Pada Hari Minggu Biasa ke XXII ini, kita semua mendengar bacaan-bacaan Liturgi yang sangat menguatkan dan meneguhkan hidup sebagai pengikut Kristus. Kita berjumpa dengan figur Petrus yang sebelumnya sudah mengakui imannya kepada Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup (Mat 16:16) dan Yesus memberi pujian kepadanya bahkan menyembutnya “berbahagia”. Petrus lalu berpikir secara manusiawi tentang Mesias yakni seorang yang agung, jaya dan bebas dari aneka penderitaan dunia. Suasana indah ini berubah ketika dengan terus terang Yesus berkata bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. (Mat 16:21). Petrus tidak setuju dengan perkataan Yesus sambil memblokir jalan dan berkata: “Tuhan kiranya Allah menjauhkan hal itu.” (Mat 16:22).

Reaksi Yesus sangatlah keras. Ia berkata: “Enyahlah Iblis, engkau suatu batu sandungan bagiKu.” (Mat 16:23). Petrus tadinya mendapat julukan batu karang (Mat 16:18), sekarang ia mendapat julukan iblis dan batu sandungan. Memang bujukan Petrus ini mirip bujukan iblis kepada Yesus supaya menjatuhkan diriNya dari atas bubungan Bait Allah sebab para malaikat akan melindungiNya sebagai Anak manusia dari rasa sakit apa pun (Mat 4:6.10). Petrus juga membelokan arah jalan Yesus yang harus dilaluiNya sebagai Anak Allah. Ia menjadi batu sandungan bagi Yesus dan semua murid yang lain.

Setelah menegur Petrus dengan keras, Yesus menyadarkan para muridNya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat 16:24). Ada tiga elemen penting untuk meluruskan kembali jalan para murid Kristus: menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus. Menyangkal diri merupakan kemampuan untuk menguasai diri dari berbagai hal yang terlampau mengikat diri kita sehingga kita tidak bebas untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Misalnya keterikatan terhadap harta benda. Tuhan berkata: “Di mana hartamu berada, hatimu juga berada di sana.” (Mat 6:21). Salib adalah pengalaman yang berat, menyakitkan, penolakan yang dirasakan tetapi kita bersedia menerimanya supaya sesama menjadi bahagia dan kita pun memperoleh keselamatan. Yesus memikul salib, menderita dan kita memperoleh keselamatan abadi. Mengikuti Yesus berarti Dia menjadi pedoman, kompas bagi kita. Kita meniru teladan hidupNya yang taat, miskin dan murni dan selalu bersatu dengan Bapa di Surga. Kita tidak mengikuti sebuah aliran filsafat tetapi mengikuti Yesus, Yang Kudus dari Allah. Seorang murid yang setia adalah dia yang menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus hingga tuntas. Jaminannya adalah hidup abadi. Ia tidak akan kehilangan nyawanya.

Di dalam bacaan pertama, kita mendengar pengalaman iman nabi Yeremia. Ia seorang nabi dalam Perjanjian Lama yang sangat vokal dengan kehidupan sosial masyarakat saat itu. Oleh karena itu banyak kali ia mengalami kekerasan fisik dan verbal. Seorang nabi tidak melakukan pekerjaannya sendiri tetapi pekerjaan Allah. Sayang sekali karena manusia tidak menyadarinya. Modal yang dimiliki Yeremia adalah iman yang teguh kepada Allah. Hanya pada Tuhan Allah ia memperoleh kekuatan.

Pengalaman nabi Yeremia hendaknya membantu kita untuk teguh dalam iman kita. Banyak di antara kita juga mengalami kekerasan fisik dan verbal dari sesama karena perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun banyak kali kita juga hanya berhenti pada pengalaman yang sulit, masalah kehidupan, aneka pergumulan hidup dan lupa bahwa kasih Allah jauh lebih besar dari semuanya itu. St. Paulus pernah menulis kepada jemaat di Roma: “Siapakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan atau bahaya atau pedang? Kita adalah lebih dari para pemenang oleh Dia yang telah mengasihi kita…maka tak ada kuasa apa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah yang ada di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.” (Rom 8:35-39). Yohanes dalam suratnya menulis: “Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu, sebab Roh yang ada di dalam kamu itu lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.” (1Yoh 4:4). Allah lebih besar dari persoalan hidup kita!

Apa yang harus kita lakukan? Baik bacaan pertama dan bacaan Injil menawarkan kepada kita pilihan hidup yang ekstrim. Artinya pilihan hidup yang tidak enak di mata manusia tetapi luhur di hadirat Tuhan. Kita harus siap untuk menerima dan memikul salib karena salib merupakan kekuatan dari Allah sendiri. Sikap bathin yang perlu kita miliki adalah keterbukaan diri untuk menjadi persembahan yang berarti bagi Tuhan. Hal ini kiranya tepat dengan perkataan Paulus dalam bacaan kedua: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Rm 12:1-2). Dengan hidup seperti ini, kita boleh mencapai kemuliaan bersama Bapa di Surga melalui Yesus Kristus PuteraNya.

Doa: Tuhan Yesus Kristus, bantulah kami untuk siap menyangkal diri dan memikul salib dan mengikutiMu. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply