Homili 11 September 2014

Hari Kamis, Pekan Biasa XXIII
1Kor 8:1b-7.11-13
Mzm 139:1-3.13-14ab.23-24
Luk 6:27-38

Murah Hati itu Indah

Fr. JohnSaya masih ingat hari-hari pertama menjadi imam. Rasanya sangat indah. Ketika merayakan misa syukur di tanah kelahiranku, kelihatan banyak orang bersukacita dan ingin menunjukkan kasih dan penghargaan dalam bentuk sambutan-sambutan setelah perjamuan makan bersama. Ada keluarga, sahabat, para mantan guru Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, pastor paroki dan lebih istimewa adalah sebuah kelompok bernama kelompok Santa Ana. Kelompok ini memiliki kerasulan mendoakan para imam, biarawan dan biarawati. Saya terkesan dengan sambutan dari kelompok santa Ana. Mayoritas anggota kelompoknya adalah ibu-ibu yang setia mendoakan satu rosario kepada Bunda Maria Ratu para imam untuk kami para imam. Saya tetap mengingat kalimat terakhir sebagai harapan dalam sambutan itu: “Anda menjadi imam yang baik bukan diukur dari kemampuanmu untuk mengubah dunia, kepandaianmu untuk memanusiakan manusia melainkan kemurahan hatimu untuk mengubah hati umat yang keras menjadi lembut seperti hati Tuhan sendiri.” Saya tidak tahu dari mana hikmat ini mereka terima tetapi yang jelas harapan ini tetaplah saya bawa dalam perjalanan imamat saya hingga saat ini. Kalimat sederhana ini memiliki kekuatan yang dahsyat di dalam diriku. Segala sesuatu yang saya pandang menyenangkan diriku, kesombongan dan aneka kelemahan manusiawi runtuh dalam hidupku dan yang ada adalah kemurahan hati untuk melayani Tuhan dan sesama.

Santo Paulus dan Lukas menginspirasikan kita melalui Sabda hari ini untuk memiliki hati yng terbaik bagi Tuhan dan sesama. Santo Paulus menyadari pluralitas yang ada di Korintus. Baginya, situasi ini bisa menjadi masalah besar bagi jemaat dalam membangun kebersamaan. Ada orang di Korintus yang sudah percaya kepada Kristus Yesus, tetapi lebih banyak masih kafir. Mereka masih memiliki berhala-berhala dan mendewakan kepintaran manusia dibandingkan dengan Tuhan sebagai sumber segala sesuatu. Kepintaran manusia tidak ada bandingnya dengan kebijaksaaan Tuhan. Manusia berpikir bahwa ia bisa mengetahui segalanya, Tuhan adalah Pencipta dan Ia mengetahui segala sesuatu. Hati dan pikiran manusia diselidiki oleh Tuhan (Mzm 139:23) bahkan Ia juga mengetahui semua rambut yang ada di kepala (Mat 10:30).

Orang-orang kafir di Korintus jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka mempersembahkan persembahan hewan-hewan kurban kepada dewa-dewi mereka. Setelah mempersembahkan hewan-hewan korban itu, dagingnya dimakan bersama-sama di dekat tempat persembahan. Orang-orang kristen juga sering diundang para sahabat dan ikut makan daging hewan kurban ini. Banyak daging persembahan ini juga disimpan di rumah atau dijual di pasar. Tentu saja hal ini menimbulkan kecemasan tersendiri bagi Paulus. Apa sikap yang patut dimiliki komunitas kristen saat itu terhadap daging persembahan kepada berhala-berhala ini? St. Paulus sendiri tidak menghendaki supaya umat kristen terisolasi dalam masyarakat. Bagi Paulus, daging itu tidaklah najis meskipun dipersembahkan kepada para dewa-dewi kafir. Dewi-dewi kafir itu tidak memiliki kuasa yang melebih kuasa Tuhan Allah. Yesus dalam Injil dengan tepat berkata: “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang itulah yang menajiskannya.” (Mrk 7:15). Dengan demikian Paulus menghimbau mereka untuk menerima realitas hidupnya dan beradaptasi dengan lingkungannya.

St. Paulus mengatakan bahwa pengetahuan yang didewakan manusia itu akan hilang tetapi kasih itu membangun (1Kor 8:1). Orang kristiani yang memiliki kepandaian manusiawi sadar akan kebesaran Tuhan dan memiliki hati nurani yang mengingatkannya bahwa memakan daging persembahan kepada berhala itu bukanlah dosa. Mereka sadar dan menghormati sesama, tetapi mereka juga memiliki suara hati supaya menjadi pribadi yang tulus yang tidak akan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Setiap pribadi diharapkan supaya tidak mencemarkan hati nurani mereka yang lemah.

Apa itu hati nurani atau suara hati? Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa Hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan, atau sudah laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam segala sesuatu yang ia katakan atau lakukan, manusia berkewajiban mengikuti dengan seksama apa yang ia tahu, bahwa itu benar dan tepat. Oleh keputusan hati nurani manusia mendengar dan mengenal penetapan hukum ilahi. Hati nurani adalah “hukum roh” dan juga suatu “bisikan langsung”, dalamnya terdapat juga “gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman, dan janji… Ia adalah utusan dari Dia yang berbicara kepada kita baik di dalam alam maupun di dalam rahmat di balik satu selubung dan mengajar serta memerintah kita melalui wakil-wakil-Nya. Hati nurani adalah wakil Kristus yang asli” (J.H.Newman, Surat kepada Pangeran Norfolk 5). (KGK, 1778).

Di dalam Katekismus Gereja Katolik juga dikatakan bahwa hati nurani merupakan hukum yang diterima dari Allah dan merupakan inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya, di situ ia seorang diri bersama Allah (KGK, 1776; GS:16). Suara hati berguna untuk memimpin manusia supaya berbuat baik dan menghindari berbuat jahat (KGK, 1777). Setiap orang memiliki hati nuran dan ini juga menunjukkan bahwa manusia itu bermartabat. Dengan suara hatinya ia bisa sadar bajwa Tuhan hadir di dalam dirinya dan bisa menujukkan kemurahan hatinya kepada sesama seperti Tuhan sendiri.

Di dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus mengajar para muridNya untuk bermurah hati seperti Bapa di Surga murah hati adanya. Kemurahan hati itu ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengasihi seperti Tuhan sendiri. Bagi Yesus, para musuh layak untuk dikasihi, orang yang membenci diri kita dibalas dengan berbuat baik kepadanya. Orang yang mengutuk perlu diberkati dan yang mencaci maki patut didoakan. Harapan Yesus adalah perubahan radikal dalam hidup. Yesus menghendaki sebuah revolusi mental. Artinya semua hal yang dipandang enak bagi manusia misalnya membalas dendam dan membenci sesama itu memang enak di mata manusia ternyata berbeda dengan kehendak dan pikiran Tuhan. Sebaliknya Tuhan mengundang kita untuk bersikap sepertiNya. Segalanya adalah kasih!

Yesus dengan tegas berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk 6:36). Prinsip kasih tidak hanya universal artinya mengasihi orang baik dan jahat seperti dilakukan Tuhan. Prinsip kasih itu ada ada Tuhan yang murah hatiNya. Bagi orang Yahudi, hati adalah simbol totalitas hidup manusia. Murah hati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suka memberi, tidak pelit, penyayang dan pengasih, suka menolong dan baik hati. Dalam bahasa Yunani, kemurahan hati itu disebut chrestotes, bahasa Latin disebut benignitas artinya perbuatan baik yang nyata. Orang yang murah hati mendapat tempat istimewa di hati Tuhan: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat 5:7).

Pada hari ini kita semua diajak untuk memandang Tuhan yang murah hati bagi kita. Ia menganugerahkan suara hati atau hati nurani yang membuat diri kita bermartabat di hadiratNya. Mari kita bermurah hati seperti Tuhan, berhati nurani supaya menjadi lebih manusia lagi.

Doa: Tuhan, bantulah kami supaya murah hati seperti Engkau sendiri. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply