Homili 12 September 2014

Hari Jumat, Pekan Biasa XXIII
1Kor 9:16-19.22b-27
Mzm 84: 3.4.5-6
Luk 6:39-42

Saya Bangga Mewartakan Injil!

Fr. JohnAda seorang misionaris yang sudah melayani di tanah misi selama lebih kurang 40 tahun. Pada saat ini ia sudah mulai pikun tetapi tetap bersemangat sebagai misionaris sejati. Pada saat merayakan peringatan 40 tahun kehadiran tarekatnya di suatu daerah, ia diundang khusus untuk memberi sambutan karena dialah salah seorang pioner yang masih hidup. Ia berkata kepada para hadirin: “Saya tetap bangga sebagai misionaris. Saya bangga mewartakan Injil.” Semua orang yang hadir mengangguk sambil mengingat kembali perjuangan misionaris ini. Ia datang ke daerah itu dan mulai membangun gereja, sekolah dan asrama juga rumah sakit. Ia juga memberdayakan para petani untuk mengolah lahannya supaya bisa ditanami dan manghasilkan bahan-bahan makanan. Mereka mengakui bahwa sebelum pemerintah tergerak hatinya untuk membangun daerah itu, para misionaris sudah punya visi dan misi untuk mengembangkannya.

Di banyak tempat kita berjumpa dengan banyak misonaris asing yang datang untuk menjadi penjala manusia. Ada yang memang menjadi misionaris yang gagal karena tidak mampu berinkulturasi, ada yang hanya membaptis saja tetapi belum bisa menjadi penjala manusia, ada yang menjadi misionaris yang berhasil karena menjadi penjala manusia. Artinya, mereka ini tidak hanya membuat umat tahu “Atas Nama Bapa…” tetapi mereka juga berhasil memberdayakan umat untuk mengerahkan segala potensi, bekerja untuk bisa bertahan hidup di tanahnya sendiri. Lembaga pendidikan, kesehatan, asrama adalah sarana-sarana evangeliasi, tempat yang tepat para misionaris menjadi penjala manusia.

St. Paulus hari ini mencoba curhat kepada kita semua yang membaca tulisannya kepada jemaat di Korintus. Paulus adalah seorang misionaris sejati yang tidak berbangga karena perutusannya sebagai misionaris. Baginya, menjadi misionaris adalah keharusan sebagai rasul Kristus Yesus. Dengan semangat ia berkata: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9:16). Oleh karena mewartakan Injil itu sifatnya imperatif kategoris maka ia pun tidak menginginkan upah. Upah mewartakan Injil adalah bahwa ia mewartakan Injil tanpa upah. Dengan cara hidup seperti ini, ia memperoleh banyak jiwa untuk Tuhan. Sikap misioner Paulus menantang kita untuk berani memberi diri dalam pelayanan yang sempurna, jauh dari perhitungan untung dan ruginya.

Paulus tidak menghendaki upah dan bahwa upahnya sudah ada dalam keharusannya untuk mewartakan Injil. Kita mengingat kembali perkataan Yesus di dalam Injil Matius: “Seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat 10:10). Petrus juga pernah bertanya kepada Yesus: “Kami telah meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti Engkau, jadi apa yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27). Yesus menjanjikan perolehan yang berlimpah rua yakni seratus kali lipat kepada mereka yang meninggalkan segalanya dan mengikutiNya. Mereka juga akan bersatu dengan Yesus dalam kemuliaanNya. Lalu bagaimana dengan Paulus yang tidak menghendaki upah? Paulus tentu tidak menolak upah tetapi ia sendiri sudah tahu tentang jaminan meninggalkan segalanya dan akan memperoleh seratus kali lipat dari Tuhan. Ia yakin akan memperoleh mahkota yang dijanjikan Tuhan kepadanya sebagai misionaris, pewarta Injil.

Di dalam Inji Lukas kita mendengar nasihat Yesus kepada para muridNya dalam bentuk perumpamaan. Ia bertanya: “Mungkinkah seorang buta bisa membimbing orang buta?” Menurut Yesus, kedua orang buta itu akan jatuh ke dalam lubang yang sama. (Luk 6:39). Yesus juga berkata: “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.” (Luk 6:40). Kata-kata Yesus ini mau mengatakan kepada kita tentang bagaimana kata dan perbuatan itu harus sinkron sehingga membantu kita memberi contoh dan teladan baik kepada orang lain. Perbuatan-perbuatan baik lebih banyak berbicara dari pada kata-kata yang keluar dari mulut. Kaang hanya kata kosong saja. Kalau orang berbicara, memberi nasihat untuk menjauhi kejahatan maka pertama-tama orang itu harus baik.

Saya teringat pada hari-hari ini Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal Ahok dengan hati nuraninya berani keluar dari partai Gerindra. Ia bersemangat dan berani mengatakan kepada publik, lebih baik menjadi budak rakyat dari pada menjadi budak DPRD. Ahok yakin bahwa DPRD DKI Jakarta akan tetap mendukung semua program kerjanya kalau mereka masih punya hati nurani karena mereka juga tahu bahwa ia bekerja untuk rakyat. Ahok berbicara dan sinkron dengan semua pekerjaannya sehingga rakyat pun berada di pihaknya. Kita butuh pribadi-pribadi yang berani dengan teladan baiknya.

Tuhan Yesus juga mengingatkan kita semua supaya selalu berpikiran positif terhadap sesama lain. Banyak orang memiliki kebiasaan berpikiran negatif di mana mereka selalu melihat kelemahan orang lain dan lupa diri bahwa ia juga memiliki kelemahan tertentu. Orang buta adalah orang yang hanya melihat kekurangan orang lain, selumbar yang ada di mata sesama dan lupa bahwa dimatanya juga ada balok yang besar. Orang yang memiliki balok suka menyesatkan sesamanya. Orang yang memiliki balok itu berpikir bahwa dia kebal salah atau dikandung tanpa noda dosa.

Hidup sebagai misionaris mempunyai tugas mulia untuk mengeluarkan balok dan selumbar dalam diri kita dan dengan demikian di dalam diri sesama manusia yang lain. Tugas mulia untuk menyadarkan banyak orang yang masih sesat untuk berjalan di jalan yang benar. Mari kita berubah menjadi lebih baik. Saya mengingat Albert Einstein yang mengatakan bahwa ukuran kecerdasan bukan terletak pada kebiasaan memakai alat-alat lama tetapi pada kemampuan untuk berubah. Manusia bisa berubah persepsi dan pendekatannya kepada sesamanya.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk bertumbuh dengan jiwa sebahai misionaris untuk mengubah sesama kami menjadi anak-anakMu. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply