Homili 13 Oktober 2014

Hari Senin, Pekan Biasa XXVIII
Gal 4:22-24.26-27.31-5:1
Mzm 113:1-2.3-4.5a.6-7
Luk 11:29-32

Janganlah bertegar hati

Fr. JohnAda seorang ibu yang datang ke pastoran untuk berbicara. Ia merasa kesulitan menghadapi anaknya saat ini. Pada mulanya ia merasa heran dengan perilaku anak itu karena sebelumnya ia adalah seorang anak yang suka menuruti perintah orang tua. Tetapi belakangan ini ia sulit mengikuti perintah mereka. Ia lebih banyak tinggal di kamar, bermain gadget dan prestasi akademiknya juga semakin menurun. Ia menilai anaknya memiliki hati yang keras dan memohon doa supaya Tuhan bisa melunakkan hati anaknya itu. Saya mendengar pembicaraan ibu ini dengan penuh perhatian. Setelah selesai berbicara saya mengatakan kepadanya bahwa dunia kita sedang berubah, anak-anak juga sedang berubah. Hal yang penting adalah sebagai orang tua ia harus selalu punya waktu untuk hadir aktif bersama anaknya. Artinya anaknya harus merasa bahwa orang tuanya ada, hadir dalam hidupnya bukan anak yatim piatu yang dipelihara seorang pengasuh. Tetapi satu hal umum yang dikatakan ibu dalam sharingnya itu adalah anaknya memiliki hati yang keras atau tegar dan memohon doa supaya Tuhan melunakkan hatinya.

Mendengar kata “hati yang tegar” atau “hati yang keras” membuat saya mengingat kembali bani Israel dalam perjalanan di padang gurun. Mereka merasakan kebaikan Tuhan melalui kehadiran aktif Musa tetapi mereka tidak menyadarinya. Mereka bahkan mengeluh dan bersungut-sungut kepada Tuhan melalui Musa soal makanan dan minuman. Saya teringat pada sang Pemazmur yang mengundang untuk datang dan bernyanyi bagi Tuhan: “Jika pada hari ini kamu mendengar suaraNya, janganlah berkeras hati, seperti di Meriba, di padang gurun, seperti di Masa.” (Mzm 95:8). Perkataan sang Pemazmur ini masih mengena di hati kita saat ini karena banyak kali kita juga sulit untuk mendengar suara Tuhan karena masih memiliki hati yang keras, egois dan masih ingin menang sendiri. Kita butuh Tuhan yang bisa menganugerahkan hati yang baru kepada kita. Melalui Yehezkiel, Tuhan berkata: “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat.” (Yeh 36:26).

Pada hari ini Tuhan Yesus menyatakan kekecewaanNya kepada orang-orang pada zamanNya. Mereka melihat semua karya agung yang dilakukan melalui tanda-tanda heran, perkataan-perkataan penuh kuasa dan wibawa tetapi itu pun belum membuka hati, mata dan telinga mereka untuk percaya kepadaNya. Hati orang-orang zaman itu masih tegar. Mereka meminta tanda dari Yesus untuk membuktikan jati diriNya sendiri. Reaksi Yesus adalah mengecam mereka: “Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Sebab seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang Niniwe, demikian pulalah Anak Manusia akan menjadi tanda untuk angkatan ini.” (Luk 11:29-30). Yesus mengumpamakan diriNya dengan tokoh Yunus yang sudah mereka kenal di dalam Kitab Perjanjian Lama. Ia menyerukan pertobatan bagi orang-orang Ninive dan mereka bertobat dari kefasikan mereka tetapi sebelumnya ia sempat tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari dan tiga malam.

Tuhan Yesus membuka mata dan pikiran mereka untuk mengenalNya sebagai pribadi yang lebih besar dari Yunus. Yunus menyerukan seruan tobat tetapi tidak memiliki kuasa untuk mengampuni dosa orang. Yunus hanya tinggal dalam perut ikan yang kotor dan bau sementara saja, ia masih hidup sebagai manusia biasa di dalam perut ikan. Yesus lebih dari Yunus karena Dia sendiri yang mengampuni dosa manusia. Ia berada di dalam perut bumi yang gelap dalam keadaan mati kemudian bangkit dari kematian dengan mulia. Ia mengalahkan kematian, menghalau kegelapan dan dosa yang dilakukan manusia. Yesus juga melebih Salomo. Salomo bijaksana karena anugerah itu diberikan Tuhan, tetapi di masa depan Salomo juga jatuh ke dalam dosa. Yesus adalah Tuhan sumber kebijaksanaan, sama dengan manusia dalam segala kecuali dalam hal dosa.

Kita pun banyak kali mencobai Tuhan dengan rupa-rupa pertanyaan, rupa-rupa keluhan dan protes karena merasa bahwa Tuhan tidak adil dengan kita. Kita mengharapkan tanda entah itu mukjizat atau bukan supaya bisa lebih mengimaniNya lagi. Kita lupa bahwa Ia yang menganugerahkan iman, Ia yang selalu melakukan mukjizat-mukjizat di dalam hidup kita. Semua pertanyaan kita yang melawan Tuhan menunjukkan hati kita yang tegar kepadaNya.

Apa yang harus kita lakukan? St. Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan kita supaya membangun rasa optimisme sebagai orang merdeka. Mengapa kita harus bangga sebagai orang merdeka? Karena kita adalah keturunan wanita merdeka yang berasal dari Yerusalem surgawi. Tuhan Yesus Kristus sendiri sudah memerdekakan kita supaya kita merasa benar-benar merdeka. Dialah kebenaran yang memerdekakan kita (Yoh 8:32). Untuk itu, kita perlu berdiri teguh dan jangan tunduk lagi di bawah kuk perhambaan. Artinya bersama Yesus kita jangan lagi dikuasai oleh dosa dan nafsu duniawi. Yesus telah menebus kita dengan diriNya bukan dengan darah dan daging hewan kurban.

Saya mengakhiri homili hari ini dengan mengutip St. Petrus: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1Pt 18-19). Orang memiliki hati tegar karena belum menjadi orang merdeka, belum menyadari bahwa Yesus menebus dengan darahNya yang mahal. Mari kita bertobat dan bersujud menyembahNya. Dialah satu-satunya Tuhan dan Penebus kita.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk bertobat dan mengalami kasih dan kebaikanMu. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply