Homili 22 November 2014

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke XXXIII
Why 11:4-12
Mzm 144:1,2,9-10
Luk 20: 27-40

Allah kita, Allah orang hidup

Fr. JohnAda seorang Romo yang sudah bertahun-tahun melayani di pedalaman. Ia memiliki satu perjuangan yaitu membantu orang-orang di daerah itu untuk mengimani Allah yang benar, Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Apa yang ia lakukan dalam homili dan katekese umat? Ia selalu mengulangi bahwa Allah yang kita imani adalah Allah orang-orang hidup. Dampaknya sangat besar bagi umatnya. Banyak umat yang saat itu suka menyembah berhala di depan batu besar, pohon dan sesajian kepada nenek moyang perlahan berubah dan terarah hanya kepada Tuhan. Gereja yang tadinya sepi, sekarang selalu penuh. Kehidupan devosional umat juga semakin bagus. Ia mengatakan, pekerjaannya bertahun-tahun hanya satu yakni tanpa henti mengingatkan umat tentang Allah yang hidup.

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil tentang dialog antara orang-orang Saduki dan Yesus. Orang-orang Saduki tidak percaya kepada kebangkitan badan. Mereka mempertanyakan sebuah bentuk perkawinan yakni perkawinan Levirat dan dampaknya. Mereka memberikan satu contoh kasus di mana ada seorang perempuan yang dinikahi tujuh bersaudara, tanpa meninggalkan keturunan. Perempuan ini juga meninggal dunia. Pertanyaan mereka adalah siapakah yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan.

Sebenarnya contoh kasus ini didasarkan pada Hukum Taurat. Di dalam Kitab Ulangan, kita baca: “Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar. Maka anak sulung yang nanti dilahirkan perempuan itu haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu, supaya nama itu jangan terhapus dari antara orang Israel. Tetapi jika orang itu tidak suka mengambil isteri saudaranya, maka haruslah isteri saudaranya itu pergi ke pintu gerbang menghadap para tua-tua serta berkata: Iparku menolak menegakkan nama saudaranya di antara orang Israel, ia tidak mau melakukan kewajiban perkawinan ipar dengan aku. Kemudian para tua-tua kotanya haruslah memanggil orang itu dan berbicara dengan dia. Jika ia tetap berpendirian dengan mengatakan: Aku tidak suka mengambil dia sebagai isteri–maka haruslah isteri saudaranya itu datang kepadanya di hadapan para tua-tua, menanggalkan kasut orang itu dari kakinya, meludahi mukanya sambil menyatakan: Beginilah harus dilakukan kepada orang yang tidak mau membangun keturunan saudaranya. Dan di antara orang Israel namanya haruslah disebut: Kaum yang kasutnya ditanggalkan orang.” (Ul 25:5-10)

Tuhan Yesus Kristus mengetahui maksud mereka maka Ia membuka pikiran mereka dengan pengajaranNya. Pertama, Tuhan Yesus mengingatkan mereka bahwa manusia selagi hidup di dunia ini bisa kawin dan dikawinkan, bagi manusia yang layak untuk mendapat bagian di dalam dunia lain, dan dalam kebangkitan orang mati, mereka tidak kawin dan dikawinkan. Kedua, orang-orang di dunia lain itu tidak dapat mati lagi, mereka mengalami hidup kekal. Ketiga, orang-orang di dunia lain seperti malaikat yang melayani Tuhan siang dan malam. Tuhan Yesus melengkapi pengajaranNya dengan mengatakan bahwa Allah kita bukanlah Allah orang-orang mati melainkan Allah orang-orang hidup. Orang-orang hidup yang dimaksud adalah Abraham, Ishak dan Yakub. Di hadiratNya semua orang hidup.

Menjelang akhir tahun liturgi ini, kita semua diarahkan oleh Tuhan untuk memahami makna kehidupan kekal. Hidup kekal itu sebuah anugerah dari Tuhan Allah karena jasa Yesus Kristus. Hidup kekal itu mau mengatakan kepada kita bahwa kematian itu adalah sebuah kepastian dan akan dialami oleh semua orang. Artinya kita semua akan mati dan mengalami kasih yang kekal dari Bapa selama-lamanya. Oleh karena itu kita tidak harus takut dengan kematian. St. Fransiskus dari Asisi mengatakan bahwa kematian adalah saudara yang akan datang menjemput kita pada saat yang tepat. Marilah kita menyiapkan diri untuk mati dengan bahagia.

Orang-orang Saduki tidak percaya kepada kebangkitan. Mereka berpikir bahwa kematian adalah akhir segala-galanya. Pandangan ini tentu sangat berbeda dengan pandangan Kristiani. Kita percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus, mengalami wafat dan bangkit dengan mulia. Kita pun akan mengalami kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Hal ini juga yang kita akui di dalam credo atau pengakuan iman rasuli.

Tema tentang kematian dan kebangkitan juga diulas oleh Yohanes dalam Kitab Wahyu. Yohanes memiliki penglihatan tentang dua orang saksi Allah yang akan bernubuat dan berkabung selama seribu duaratus enam puluh hari lamanya. Kedua saksi yang dimaksud adalah kedua pohon zaitun dan kedua kaki dian yang berdiri di hadapan Tuhan semesta alam. Kedua saksi ini memiliki kuasa yang luar biasa sehingga tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Kuasa mereka adalah menutup langit supaya jangan ada hujan, mengubah air menjadi darah, memukuli bumi dengan malapetaka. Pada akhirnya kedua saksi ini pun akan meninggal dunia karena dikalahkan oleh binatang dari jurang maut. Mayat mereka akan disaksikan tiga setengah hari, ada suasana sukacita di atas bumi. Roh kehidupan dari Allah akan masuk kembali dan mereka pun bangkit dari kematian.

Perikop Injil juga mengingatkan kita akan nilai luhur perkawinan. Perkawinan levirat bukan lagi menjadi bagian dari zaman kita. Mengapa? Perkawinan itu satu panggilan luhur, rencana Tuhan bagi manusia dan sifatnya pribadi bukan kolektif. Nilai kesetiaan hidup itu sangatlah penting sambil memperhatikan dan menegakkan martabat luhur manusia. Perikop injil kita berdampak pada usaha yang tulus untuk menghargai nila-nilai perkawinan dan membantu kita untuk selalu terarah kepada Tuhan sumber segalaNya.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk setia dalam hidup dan percaya kepadaMu sebagai Allah yang hidup. Amen
PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply