Uomo di Dio: Penderitaan itu memuliakan manusia

Penderitaan itu memuliakan manusia!

P. John SDBSaya barusan berbicara dengan seorang pemuda yang merasa gagal dalam hidup. Ia merasa kaget ketika masuk dalam dunia kerja. Mulanya ia masih mengandalkan ilmu yang diterimanya selama kuliah, yang dibacanya dari berbagai handbook dan diktat karya dosen-dosen kebanggannya. Ternyata ia harus berusaha untuk memadukan hal yang teoretis dengan hal yang praktis. Ini yang belum dipikirkan sebelum bekerja. Oleh karena itu ia merasakan berbagai kesulitan datang silih berganti terutama berhadapan dengan para seniornya yang lebih berpengalaman. Ia merasa tidak berkembang dan berniat untuk resign. Ia juga merasa tidak mampu menghadapi masalah dalam hidup dan pekerjaannya. Tetapi hanya ada satu yang masih ada dalam dirinya, nyaris padam yakni harapan untuk keluar dari berbagai persoalan hidupnya itu. Saya mengatakan kepadanya, selagi kita masih hidup, masalah selalu datang silih berganti supaya kita bisa menjadi manusia yang berdaya tahan dan sungguh-sungguh menjadi manusia.

Saya teringat pada sebuah seminar. Saya bertanya kepada para peserta: “Siapa yang tidak ingin memiliki masalah dan persoalan di dalam hidup boleh mengangkat tangannya?” Semua peserta mengangkat tangannya. Saya memberikan “tip” berupa pujian kepada mereka karena mereka tidak ingin memiliki masalah apa pun di dalam hidupnya. Mereka tenang dan bangga sambil tersenyum. Saya berkomentar: “Sekarang saya tahu bahwa saudara sekalian belum menjadi manusia.” Mereka semua terdiam dan merasa terpukul karena saya mengatakan bahwa mereka semua belum menjadi manusia. Ada di antara mereka yang mengajukan interupsi dan protes kepada saya karena mereka mengakui dirinya “sudah menjadi manusia”. Saya mengatakan kepada mereka bahwa selagi mereka mau bebas dari masalah kehidupan, penderitaan dan kemalangan, mereka belum bisa menjadi manusia.

Saya berusaha menenangkan mereka dengan sebuah cerita berikut ini: Pada suatu kesempatan saya diundang untuk merayakan misa di Lestari Memorial Park, Cikarang untuk mengenang kematian seorang ibu. Ini merupakan kesempatan pertama saya mengunjungi tempat yang tidak lagi disebut Pekuburan atau Tempat Pemakaman Umum (TPU) tetapi Memorial Park. Sebagai Memorial Park, semua orang yang datang mengunjungi tempat itu merasakan suasana yang berbeda. Ada ketenangan alamiah dan istimewa. Orang mau berlama-lamaan di sana. Saya sendiri merasa bahwa banyak orang sudah lupa bahwa para penghuni Lestari Memorial Park itu pernah hidup dan mengalami seribu satu penderitaan yang berujung pada kematian. Sekarang di tempat peristirahatan kekal itu hanya ada keheningan, hanya ada batu nisan bertuliskan nama-nama mereka. Kita semua yang masih hidup hanya akan mengenang mereka sebagai pribadi yang pernah menderita di dunia ini. Pribadi yang pernah memiliki persoalan dan pergumulan hidup.

Apa yang terjadi pada saat ini di Memorial Park? Keheningan! Rasanya tidak ada satu masalah apa pun di Memorial Park. Tidak ada yang berteriak dan merintih kesakitan. Tidak ada yang mereka risaukan. Semuanya hanya tertidur, tenang tanpa bahasa. Mereka sudah tidak bernyawa lagi. Jadi orang yang tidak mau memiliki masalah adalah mereka yang sudah beristirahat kekal di Memorial Park. Sedangkan orang yang masih bernafas adalah mereka yang pasti akan menghadapi dan memiliki masalah-masalah dalam kehidupannya. Orang-orang yang masih bernafas itu akan menghadapi dan merasakan siksaan-siksaan, masalah, penderitaan yang datang bertubi-tubi. Semua pengalaman keras itu harus dilami supaya benar-benar menjadi manusia.

Dr. Norman Vincent Peale, pernah berkata: “Masalah merupakan tanda kehidupan! Semakin banyak masalah, semakin hidup diri anda!” Ini adalah sebuah nada optimisme yang harus selalu kita miliki di dalam hidup ini. Saya pernah mengamati para sahabat yang berasal dari daerah yang tandus, serba sulit untuk mendapat makanan dan minuman ternyata memiliki daya tahan yang kuat dan luar biasa dibandingkan dengan mereka yang berasal dari daerah yang subur. Tingkat pendidikan mereka jauh lebih baik, daya juang mereka juga tinggi.

Hal ini berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah yang subur. Prinsip mereka adalah membuang biji jagung di halaman rumah, alam akan menumbuhkannya, manusia hanya siap memakannya. Hal ini akan berbeda dengan mereka yang alamnya tandus. Mereka akan melihatnya sebagai peluang untuk memanfaatkan potensi diri yang ada, mengolah daerah tandus menjadi sumber untuk menanam tanaman pangan dan palawija, dan mendapatkan sumber air secara alamiah untuk minuman. Semakin tandus daerah itu, orang menjadi semakin manusiawi dalam hidupnya.

Rabbi Joseph B. Soloveitichik pernah berkata: “Penderitaan datang untuk memuliakan manusia, membersihkan pikiran dari keangkuhan dan kepicikan, dan memperluas wawasan. Tujuan penderitaan adalah untuk memperbaiki apa yang rusak pada kepribadian seseorang.” Orang bisa menderita karena dia masih manusia. Orang bisa menerima dirinya apa adanya dan berusaha mengatasi segala persoalan hidupnya. Inilah kemuliaan manusia.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Martin Luther King Jr yang berkata: “Kadangkala hidup itu keras, sekeras baja. Hidup mempunyai masa suram dan menyiksa. Bagaikan air tetap mengalir di sungai, hidup juga mempunyai musim kemarau dan musim hujan. Seperti musim yang senantiasa berubah, hidup mempunyai kehangatan, musim panas yang menyegarkan dan kesejukan musim dingin yang menusuk. Tetapi kita berupaya bangkit kembali dari kecewa ke gembira, dan mengubah penderitaan yang gelap gulita dan sunyi sepi menjadi jalan terang benderang menuju ke arah ketenangan jiwa.”

Mari kita menerima diri kita apa adanya. Mari kita berpasrah kepada Tuhan, Pencipta kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply