Homili 21 Januari 2015

Hari Rabu, Pekan Biasa II
Ibr. 7:1-3,15-17
Mzm. 110:1,2,3,4
Mrk. 3:1-6

Imam yang menyembuhkan

Fr. JohnPada suatu kesempatan ada seorang rekan imam membagi pengalaman pastoralnya bersama umat di parokinya. Ia menceritakan bahwa ketika tiba di paroki, umatnya bertanya kepadanya apakah ia memiliki indra keenam? Maksudnya, seorang pastor bagi mereka haruslah memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit, melakukan pelepasan dan pengusiran setan serta roh-roh jahat di dalam diri umat atau lingkungannya. Kalau pastor hanya bisa merayakan misa maka belumlah masuk kategori pastor yang hebat. Banyak di antara rekan-rekan imam yang hadir memberi dukungan kepadanya untuk bertahan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan Yesus yakni melayani sakramen-sakramen di dalam Gereja parokinya. Melayani sakramen dengan baik adalah jalan yang istimewa untuk membantu umat dan imam menjadi kudus. Memang umat yang dilayani itu seleranya berbeda-beda tetapi seorang imam dipanggil untuk melayani Tuhan di tengah-tengah umat bukan berdasarkan selera. Pastor bertugas untuk menguduskan, mengajar, meneguhkan dan menguatkan umat.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini menggambarkan tugas panggilan dari seorang imam menyerupai Tuhan Yesus Kristus. Di dalam bacaan pertama, penulis surat kepada umat Ibrani menghadirkan figur Kristus dan Melkisedek. Siapakah Melkisedek itu? Melkisedek digambarkan sebagai raja salem dan imam Allah Yang Mahatinggi. Ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja dan memberkati Abraham. Abraham menunjukkan rasa hormat dan kepatuhan dengan mempersembahkan sepersepuluh dari semuanya. Melkisedek artinya raja kebenaran, raja salem atau raja damai sejahtera. Mekisedek tidak berbapa dan tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan! Dan karena dijadikan sama dengan Anak Allah, ia menjadi imam sampai selama-lamanya. (Ibr 7:1-3).

Figur Melkisedek ini diparalelkan dengan Yesus Kristus sang Imam Agung kita. Ia menjadi imam bukan berdasarkan peraturan manusia melainkan berdasarkan hidup yang tidak dapat binasa. Yesus adalah imam yang dari kekal, selama-lamanya. Dia layak disapa Imam Agung (Sacerdos Magnus), sebagaimana kesaksian sang Pemazmur: “Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya menurut peraturan Melkisedek.” (Mzm 110:4; Ibr 7:17). Dialah yang akan duduk disebelah kanan Allah, segala kuasa diberikanNya kepada Yesus PutraNya. Tongkat kuasa menjadi milik kepunyaanNya sehingga para musuh tunduk kepadaNya. Yesus adalah Imam Agung dan Tuhan atas segala-galanya.

Apa yang dilakukan oleh sang Imam Agung? Yesus sebagai Imam Agung tidak lagi mempersembahkan hewan-hewan sebagai kurban bakaran kepada Tuhan Allah. Ia mempersembahkan diriNya satu kali untuk selama-lamanya. Nabi Yesaya berkata: “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” (Yes 53:7). St. Petrus menambahkan: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1Ptr 1:18-19). Pengorbanan sang Imam Agung tetap dikenang dalam perayaan Ekaristi.

Yesus sebagai Imam Agung melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa di dunia ini terutama menyelamatkan semua orang berdosa. Penginjil Markus mengisahkan tentang mukjizat penyembuhan seorang yang mati sebelah tangannya pada hari Sabat. Yesus melakukan tugas itu dengan sempurna karena merupakan pekerjaan Bapa yang harus nyata di dunia ini. Yesus tidak takut untuk melakukannya dan menghilangkan legalitas yang sedang berlaku di mata kaum Farisi. Yesus menunjukkan bahwa kasih itu adalah mahkota dari segalanya. Hukum itu dibuat supaya cinta kasih lebih dirasakan bukan hukum dibuat untuk menyusahkan orang.

Pada hari ini kita coba membuka mata hati dan pikiran untuk melihat hal-hal yang positif di dalam diri sesama. kaum Farisi dalam Injil hari ini padai mengamat-amati Yesus dan mencari kesalahanNya. Kita pun banyak kali menjadi orang Farisi yang hanya pandai-pandai mengamati kehidupan orang lain tanpa melihat diri kita. Kita berdosa dalam pikiran terhadap sesama manusia. Kita sombong dan berpikir bahwa kitalah yang paling sempurna, padahal tidaklah demikian. Wujud pertobatan bagi kita adalah selalu melihat hal-hal yang terbaik dalam diri sesama manusia dan bangunlah budaya kasih di dalam hidup setiap hari. Imamat umum bisa menyembuhkan banyak orang.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply