Homili 18 Juni 2015

Hari Kamis, Pekan Biasa XI
2Kor. 11: 1-11
Mzm. 111:1-2,3-4,7-8
Mat 6:7-15

Berdoalah demikian…

Fr. JohnAdalah Kardinal Francis Xavier Nguyen Van Thuan. Dalam bukunya “Jalan Pengharapan” ia menulis pemahamannya tentang doa seperti ini: “Doa adalah dasar kehidupan spiritual. Ketika Engkau sedang berdoa, engkau dipersatukan dalam komunikasi dengan Allah, sama seperti bola lampu listrik bersinar oleh karena disambungkan pada sebuah generator.” Lihat, betapa sederhananya pemahaman tentang doa, namun sangat sulit untuk berdoa dengan baik. Kita di bantu untuk mengerti bahwa berdoa berarti kita mengarahkan hati dan pikiran hanya kepada Tuhan, membangun komunikasi dengan Allah sebagai sumber hidup kita. Tuhan Yesus hidup bersama para murid-Nya. Selama kebersamaan dengan para murid, Yesus sering memilih waktu-waktu istimewa untuk berdoa. Ia berdoa pada saat-saat istimewa seperti semalam-malaman, pada waktu sore menjelang malam, atau pagi-pagi buta sebelum matahari terbit. Ia melayangkan pandangan-Nya kepada Tuhan dan bersatu dengan-Nya. Persekutuan antara Bapa dan Putra dalam Roh Kudus hendaklah menjadi bagian hidup kita. Doanya sebagai seorang Anak kepada Bapa sangatlah sederhana.

Pengalaman akan Allah ditandai dengan perjumpaan dan pertobatan yang terus menerus. Perjumpaan bersama dalam doa, yang begitu sederhana dari sang Putera kepada Bapa. Kesederhanaan adalah kekhasan dari seorang murid di hadirat Tuhan. Dalam kaitan dengan kesederhanaan dalam doa, Tuhan berkata: “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.” (Mat 6:7-8). Kata-kata Yesus menjadi teguran bagi orang-orang yang berpikir bahwa kalau berdoa butuh kalimat dan tata bahasa yang benar. Butuh kalimat dengan kata-kata puitis yang mengesankan, semakin panjang doa semakin bagus. Ternyata Tuhan menghendaki supaya doa itu benar-benar berasal dari hati kita.

Tuhan Yesus mengenal diri pribadi setiap orang. Oleh karena itu Ia mengajar doa Bapa Kami. Ia menyapa Allah sebagai Abba, maka Ia juga menggendaki agar kita juga berdoa dan menyapa Allah dengan sapaan yang sama. Bapa memiliki tempat yang jelas yaitu di Surga. Dengan memandang Bapa yang bertakhta di dalam Surga, kita menyampaikan tujuh intensi doa untuk mengagungkan-Nya dan menyampaikan semua kebutuhan kita. Ketujuh intensi yang dimaksud adalah: Dikuduskanlah nama-Mu, Datanglah Kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Ini adalah tiga intensi untuk menghormati kemuliaan Tuhan. Ada juga empat intensi untuk kebutuhan hidup manusia: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya, ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami, janganlah membawa kami ke dalam pencobaan dan lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Mat 6:11-13).

Di samping doa Bapa Kami ini, Tuhan juga menambahkan hal penting tentang pengampunan. Ia berkata: “Jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat 6:14-15). Kita bisa mengampuni kalau berani melupakan semua perbuatan dosa dan salah yang pernah terjadi di dalam hidup ini. Banyak orang suka diampuni tetapi sulit untuk mengampuni sesama.

Melalui doa Bapa Kami, Tuhan Yesus menekankan dua hal penting tentang konsep Allah sebagai Bapa bagi semua Bangsa manusia dan kesiapan untuk menantikan kedatangan Kerajaan. Allah disapa sebagai Bapa yang baik karena Ia memberikan segalanya. ia memberi segala yang kita butuhkan bukan yang kita sukai. Tuhan juga menghendaki supaya kita saling memaafkan, mengampuni dan menjauh dari segala kejahatan.

Untuk menjadi seorang pendoa yang baik maka dibutuhkan kesabaran. St. Paulus merasakan semuanya ini di Korintus. Untuk itu ia memohon supaya orang-orang Korintus menjadi sabar dengan-Nya. Ia juga mengharapkan supaya jemaat di Korintus benar-benar percaya kepada Kristus yang diwartakan para rasul bukan diwartakan oleh orang-orang tertentu. Kita pun dipanggil untuk mewartakan Kristus yang benar.

Berdoalah demikian merupakan ajakan bagi kita untuk menjadi panutan bagi sesama yang lain. Yesus mengajar doa Bapa kami karena para murid murid melihat-Nya berdoa. Ia tidak hanya mengajar tetapi menunjukkannya di dalam hidup. Jadilah pendoa yang baik dan setia.

Saya mengakhiri homili dengan mengutip Kardinal F.X. Van Thuan: “Semangat doa sama seperti tungku api yang berkobar di dalam jiwa apostolismu. Jika engkau ingin menghidupkan terus api itu, engkau harus mengumpulkan batang-batang kayu pengorbanan dan rekoleksi yang besar an niat-niat kecil yang terus menerus dan perbuatan-perbuatan penyangkalan diri yang tidak kelihatan.” 

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply