Homili 22 Juni 2015

Hari Senin, Pekan Biasa XII
Kej. 12:1-9
Mzm. 33:12-13,18-19,20,22
Mat. 7:1-5

Mengingat Janji-Mu Tuhan

Fr. JohnSaya pernah merayakan misa syukur hari ulang tahun ke empat puluh, sepasang suami dan istri. Mereka memilih tema perayaan panca windu ini: “Aku mengingat janji-janjimu di hadapan Tuhan”. Usai perayaan Ekaristi, pasutri ini membagi pengalaman hidup mereka. Sejak awal hidup bersama sebagai suami dan istri, mereka sudah memiliki komitmen untuk melakukan janji pernikahan mereka dengan baik. Oleh karena itu mereka merasa sebagai sebuah komitmen untuk terbuka satu sama lain, ada masalah diselesaikan dengan baik, bertanggung jawab dalam mendidik anak dan lain sebagainya. Mereka berdua selalu mengingat dan melakukannya dengan baik. Itulah sebabnya di hari ulang tahun pernikahannya mereka mau mengingat-ingat kembali janji mereka di hadapan Tuhan.

Kita semua pernah dan akan berjanji entah kepada Tuhan atau kepada sesama. Banyak kali kita berusaha untuk menepati janji dengan baik, tetapi kadang kita juga melupakannya. Kita pandai berjanji namun lupa menepatinya. Kita sudah berkomitmen tetapi masih bisa mengingkarinya. Kita membutuhkan Tuhan supaya Ia menyadarkan hati dan pikiran kita supaya setia kepada janji-janji kita. Kita mengingat dan mengenang janji-janji yang kita ucapkan dengan sadar di hadapan Tuhan dan sesama dan melakukannya dengan sepenuh hati.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok Abram. Tuhan memanggil Abram di Ur, Kasdim. Tuhan berkata kepada Abraham: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.” (Kej 12:1). Abram diminta oleh Tuhan untuk bereksodus, keluar dari tempat asalnya secara geografis ke tempat baru yang akan Tuhan tunjukkan. Ia juga meninggalkan sanak saudara dan rumah ayahnya. Tuhan menghendaki agar orang-orang benar bersatu dengan-Nya dengan cara meninggalkan segala-galanya untuk kebaikan Tuhan. Kemampuan untuk meninggalkan membuka peluang bagi manusia untuk terbuka dan bersatu dengan Tuhan. Sikap lepas bebas ini dimiliki oleh Abram dan Tuhan mengambilnya sebagai sebuah nilai positif dari kehidupan Abram.

Tuhan tidak hanya memberi perintah, ia juga memberikan janji kepada Abram. Isi janji-Nya adalah: pertama, Tuhan akan membuat Abram menjadi bangsa yang besar, dan memberkatinya serta membuat namanya masyhur; dan ia akan menjadi berkat.” (Kej 12:2). Kedua, Tuhan akan memberkati orang-orang yang memberkati Abram, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk Abram, dan oleh Abram semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kej 12:3). Abraham mendengar suara Tuhan dan metaatinya. Ia meninggalkan kampung halamanya, orang tua dan harta kekayaannya, dengan hanya membawa istrinya Sarai, dan Lot anak saudaranya ke tanah Kanaan. Ia tiba di Sikhem. Tuhan berjanji untuk memberi negeri itu kepadanya dan seluruh keturunannya. Abram mendirikan mezbah bagi Tuhan di Betel. Di tempat itu ia memanggil nama Tuhan.

Abram mengingat dan mengenang semua janji Tuhan. Tuhan sudah berjanji dan tentu saja Ia menepati janji-Nya dengan membawa Abram hingga ke tanah Kanaan dan memberinya kuasa atas tanah itu. Tanah itu penuh dengan susu dan madunya. Abram akan berkembang dan menguasai tanah pemberian Tuhan ini. Kasih karunia dirasakan secara sempurna oleh Abram. Di sini kita melihat Tuhan begitu murah hati, sedangkan Abram adalah pribadi yang taat sepenuhnya kepada Tuhan.

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil mengajarkan para murid untuk bertumbuh dalam suasana persaudaraan sejati. Untuk mewujudkan suasana persuadaraan ini maka Ia mengingatkan kita supaya jangan menghakimi orang lain sehingga kita juga tidak dihakimi. Besar atau ukuran penghakiman yang kita berikan kepada sesama akan dikebakan juga kepada kita. Satu hal yang erat terkait dengan sikap menghakimi sesama adalah kebiasaan untuk tidak berpikir positif. Orang suka berpikiran yang negative terhadap sesamanya. Yesus berkata: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat 7:3). Nah, sebelum kita menilai orang lain, hendaknya kita sadar diri untuk melihat kelebihan dan kekurangan kita.

Untuk mewujudkan persaudaraan sejati memang bukanlah hal yang mudah. Masing-masing orang memiliki cara pikir yang berbeda-beda. Ketika seorang terbuka dan menerima sesama apa adanya maka sesunguhnya dia berjalan di jalan yang benar. Hal terbaik yang patut kita miliki adalah belajar dari Tuhan untuk melihat hal-hal yang terbaik dalam diri sesama. Mari kita wujudkan kepatuhan hidup menyerupai Abram. Ketika dia dipanggil Tuhan, ia siap untuk mengikuti kehendak Tuhan karena ia tidak membandingkan dirinya dengan diri sesama yang lain. Kita semua memiliki kelebihan dan kekurangan yang sama-sama harus kita syukuri. Tuhan telah berjanji untuk memberi yang terbaik bagi kebutuhan-kebutuhan kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply