Homili 13 Juli 2015

Hari Senin, Pekan Biasa XV
Kel. 1:8-14,22
Mzm. 124:1-3,4-6,7-8
Mat. 10:34-11:1

Pertolongan Kita dalam nama Tuhan

Fr. JohnDi dalam masyarakat luas (civil society), kita selalu menemukan pembagian sekaligus pemisahan manusia. Ada yang menamakan diri sebagai tuan tanah dan pendatang, golongan pribumi dan non pribumi (pri dan non pri). Kadang-kadang masih ada pemisahan lainnya berdasarkan agama, suku, ras dan warna kulit. Ini adalah realitas dalam masyarakat luas untuk mengatakan tentang jati diri dan relasi antar pribadi manusia. Golongan tuan tanah merupakan pemilik tanah di suatu daerah tertentu dan dia bisa membagi tanahnya kepada orang lain dengan cuma-cuma (menghibahkan) atau dengan menjualnya. Golongan pribumi dan non pribumi merupakan pemisahan antara penduduk asli dan pendatang atau orang asing. Pada umumnya warga pendatang dan non pri lebih tekun bekerja sehingga tingkat hidup mereka juga lebih baik dari penduduk asli atau tuan tanah. Akibatnya adalah relasi antar pribadi yang bersahabat dan penuh kekeluargaan berubah menjadi permusuhan. Para pendatang dan non pri diperlakukan kasar secara fisik dan verbal.

Pengalaman masa kini sebenarnya pernah dirasakan umat Israel di tanah Mesir. Kita semua mengetahui kisah hidup anak-anak Yakub. Yusuf yang sudah ditentukan Firaun untuk menjadi Mangkubumi di Mesir. Tugasnya adalah mensejahterakan masyarakat dengan memberi makan kepada mereka yang sedang mengalami kelaparan. Semua masyarakat Mesir bahkan warga tanah Kanaan mengalami kelaparan yang hebat. Akibatnya banyak orang berdatangan ke Mesir untuk membeli bahan makanan. Anak-anak Israel pun datang untuk membeli makanan. Yusuf menerima mereka dengan baik dan mereka pun tinggal sebagai warga pendatang di Mesir. Ketika Yusuf meninggal dunia, ia masih meyakinkan mereka bahwa Tuhanlah yang akan tetap menyertai mereka semua.

Situasi penuh kenyamanan yang dialami oleh anak-anak Israel berubah setelah Yusuf meninggal dunia. Ketika itu muncul raja baru memerintah Mesir. Ia tidak mengenal Yusuf maka dengan sendirinya ia juga menganggap orang-orang Israel sebagai musuh bukan sebagai saudara. Ia merasa ketakutan sehingga mengadu domba masyarakat dengan perkataan ini: “Bangsa Israel itu sangat banyak dan lebih besar jumlahnya dari pada kita. Marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka, supaya mereka jangan bertambah banyak lagi dan jika terjadi peperangan, jangan bersekutu nanti dengan musuh kita dan memerangi kita, lalu pergi dari negeri ini.” (Kel 1:9-10). Perkataan Firaun ini tentu membangkitkan benih-benih permusuhan antara orang-orang Mesir sebaga tuan tanah dan bani Israel sebagai pendatang di Mesir.

Firaun sangat lihai membuat strategi untuk menghancurkan bani Israel. Ia menempatkan orang-orang Israel untuk menjadi pekerja keras dalam membangun kota Pitom dan Raamses. Orang-orang Mesir kewalahan menghadapi bani Israel. Mereka semakin ditindas, semakin bertambahlah jumlah bani Israel. Banyak di antara bani Israel dipekerjakan secara kasar. Mereka berusaha memahitkan hidup bani Israel dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu. (Kel 1:14). Firaun melihat bani Israel sebagai musuh maka ia tetap berniat untuk menghancurkan mereka. Hal lain yang dilakukan Firaun adalah memerintahkan supaya segala anak laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai Nil; tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup. (Kel 1:22).

Apakah tindakan keras orang-orang Mesir ini berdampak juga di dalam kehidupan pribadi bani Israel? Tentu saja dampaknya sangat besar bagi bani Israel. Misalnya, Firaun sempat membuat peraturan yang sangat tidak manusiawi untuk mematikan keturunan Israel yakni anak laki-laki Israel dibuang ke sungai Nil sedangkan anak perempuan dipelihara. Akibatnya adalah tenaga laki-laki Israel akan habis dan musnah juga mereka di tanah Mesir. Namun dibalik tindakan keras orang-orang Mesir ini, Tuhan Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub bekerja dan menunjukkan kuasa-Nya untuk melindungi bani Israel. Mereka pun tidak punah ketika berada di Mesir karena Tuhan bertindak sebagai penolong.

Tuhan adalah satu-satunya penolong bagi bani Israel. Daud pernah berkata, “Penolong kita adalah Tuhan yang menjadikan langit dan bumi.” (Mzm 124:8). Biar ada musuh sekali pun mereka tidak akan “menelan hidup-hidup” karena Tuhan melindungi mereka sebagai umat kesayangan-Nya. Tuhan juga patut dipuji karena Ia menjadi pelindung dan tidak menyerahkan umat Israel kepada musuh-musuhnya. Tuhan adalah Imanuel, Dia yang hadir di dalam hidup manusia dan menolongnya.

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil, Tuhan Yesu berkata kepada keduabelas murid-Nya: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” (Mat 10:34). Mungkin saja banyak orang yang mendengar perikop Injil hari ini merasa kecewa dengan perkataan Tuhan Yesus. Orang mendambakan damai di atas bumi, Dia malah membawa pedang. Pedang yang dikatakan Yesus di sini bukanlah pedang secara harafiah yang bisa membunuh fisik orang. Pedang di sini adalah senjata rohani untuk menghancurkan dosa dalam pikiran, perkataan dan perbuatan yang merupakan kuasa iblis. Sabda Tuhan adalah pedang bermata dua yang memurnikan hati dan pikiran manusia (Ibr 4:12; Why 19:15).

Tuhan Yesus haruslah menjadi prioritas pertama di dalam hidup kita sebagai pengikut-Nya. Oleh karena itu keluarga, orang tua dan saudara-saudari janganlah menjadi penghalang bagi kita untuk mengasihi Tuhan. Kita coba mengingat hukum kasih: Tuhan menghendaki supaya kita mengasihi Tuhan lebih dari segalanya. Tuhan menjadi prioritas pertama dalam kasih. Selanjutnya, sesama manusia juga dikasihi seperti kita mengasihi diri sendiri. Tentu saja dalam mengasihi butuh pengorbanan diri yang besar. Itulah salib dalam hidup kita. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mat 10:38). Mengasihi dengan mengorbankan diri serupa dengan Yesus tersalib. Itu sebabnya Yesus mengajarkan kita untuk berani berkurban bagi-Nya. Ia berkata: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat 10:39). Seorang murid Yesus haruslah mengasihi seperti Yesus sendiri mengasihi kita.

Sabda Tuhan pada hari ini membantu kita untuk bertumbuh sebagai anak-anak Tuhan yang mengharapkan pertolongan dan kasih sayang-Nya. Banyak kali kita mengalami kesulitan seperti para murid Yesus dan bani Israel di Mesir. Ini adalah salib yang kita pikul dan dengan salib itu kita juga bisa membahagiakan sesama yang lain. Pertolongan kita hanya dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply