Homili 4 September 2015

Hari Jumat, Pekan Biasa XXII
Kol. 1:15-20
Mzm. 100:2,3,4,5
Luk. 5:33-39

Yesus sang Mempelai sejati

Fr. JohnTuhan Yesus berkeliling dan berbuat baik. Di dalam rumah ibadat di Nazaret, Ia menyampaikan visi dan misi-Nya yaitu bahwa Ia datang ke dunia untuk menghadirkan Kerajaan Allah dengan mewartakan Injil kepada kaum miskin, memberitakan pembebasan kepada para tawanan, penglihatan kepada orang buta, membebaskan orang-orang tertindas dan memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan sudah datang (Luk 4:18-19). Yesus sudah berupaya mewujudkan visi dan misi-Nya ini dengan mewartakan Injil sebagai Kabar Sukacita, menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir setan-setan. Semua ini dilakukan-Nya dengan sempurna sehingga banyak orang takjub kepada-Nya. Yesus juga tidak melakukan kehendak-Nya sendiri tetapi kehendak Bapa surgawi. Ia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya sendiri tetapi pekerjaan dari Bapa di Surgawi. Dengan demikian Yesus juga membutuhkan manusia sebagai mitra kerja-Nya. Mereka inilah yang nanti kita kenal dengan sebutan rasul atau utusan Yesus. Para utusan akan melakukan pekerjaan-pekerjaan Yesus yang diberikan Bapa. Pada saat ini Gereja masih melanjutkan pekerjaan-pekerjaan Bapa di dunia ini.

Bacaan-bacaan Ekaristi pada hari Jumat pertama ini coba memfokuskan perhatian kita pada pribadi Yesus dan perutusan-Nya. Pertanyaan yang bisa memandu kita untuk mengerti Sabda Tuhan adalah siapakah Yesus di mata kita sebagai manusia? Ketika orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat datang kepada Yesus, mereka berkata kepada-Nya: “Murid-murid Yohanes berpuasa dan sembahyang, murid-murid orang Farisi juga demikian, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum.” (Luk 5:3). Di sini kita melihat bagaimana orang-orang Farisi dan para ahli-ahli Taurat itu memiliki kebiasaan membandingkan dirinya sendiri dan orang-orang lain. Dari situ mereka bisa menilai dirinya lebih baik, lebih sempurna daripada orang lain. Kebiasaan ini bisa menjadi racun di dalam kehidupan pribadi kita juga. Dalam pandangan dan pikiran kita, orang lain selalu tidak sempurna dibandingkan dengan diri kita. Kita harus berubah!

Yesus mendengar dan bereaksi terhadap pernyataan kaum Farisi dan para ahli Taurat. Ia bertanya kepada mereka: “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Luk 5:34-35). Yesus mengungkapkan identitas diri-Nya sebagai mempelai yang menghadirkan sukacita dalam kebersamaan sedangkan para murid-Nya adalah sahabat-sahabat mempelai atau sahabat-sahabat Yesus. Hidup bersama Yesus berarti hidup dalam suasana sukacita. Namun Yesus juga langsung mengingatkan mereka bahwa “akan datang waktunya mempelai diambil dan waktu itulah mereka berpuasa”. Tentu saja yang Yesus maksudkan adalah Paskah-Nya. Para murid sebagai sahabat akan merasa kehilangan, hidup dalam ketakutan dan kesedihan. Inilah yang disebut sebagi saat berpuasa.

Berjalan bersama Yesus, tinggal bersama-Nya seperti para Rasul merupakan kesempatan untuk merasakan kebaikan-kebaikan Tuhan. Para rasul merasakan sebuah relasi yang baru dengan Tuhan, penuh sukacita bersama Tuhan Yesus Kristus. Relasi penuh sukacita seperti sebuah pesta perkawinan. Yesus adalah mempelai dan para rasul-Nya adalah sahabat-sahabat yang diharapkan bisa bersukacita. Namun ada saat di mana para rasul sebagai sahabat mempelai belajar untuk rendah hati, berpuasa dan bersedih karena dosa dan salah yang dilakukan sehingga Yesus menderita hingga wafat di kayu salib. Mengikuti Yesus memang ada saat sukacita karena hidup baru, ada duka karena salib yang harus dipikul hari demi hari. Ada penyangkalan diri atas dosa dan salah yang menjadi kebiasaan hidup kita.

Untuk lebih membantu pemahaman orang sezaman-Nya, Yesus membandingkan kain yang lama dan baru tidak bisa menyatu karena kain lama pasti rusak atau koyak. Anggur baru tidak bisa diisi di dalam kantong yang tua, anggur baru harus di simpan dalam kantong yang baru. Perumpamaan Yesus dengan membandingkan kain lama dan baru, anggur lama dan baru membantu kita untuk melihat kehadiran Yesus, Utusan Bapa yang datang untuk membaharui segala sesuatu. Menjadi baru dalam Kristus dengan melepaskan hidup yang lama dan menikmati hidup yang baru sebagai sahabat-sahabat-Nya.

Perumpamaan ini sebenarnya membantu para rasul, juga kaum Farisi dan para ahli Taurat untuk membuka pemikiran mereka tentang siapakah Yesus sebenarnya. Masalah umum saat itu adalah pikiran mereka sempit dan tidak mau mempelajari hal-hal yang baru. Yesus mengambil contoh sederhana tentang anggur. Pada zaman Yesus, anggur itu diisi di dalam kantong kulit bukan di dalam botol seperti saat ini. Anggur baru itu masih ada fermentasinya maka kalau diisi di dalam kantong tua maka gasnya akan menekan dan merusak kantong tua. Kantongnya tidak elastis, kaku. Sebaliknya kalau anggur baru yang masih fermentasi itu diisi di dalam kantong baru maka kantong kulit itu masih elastis kalau ada tekanan gas dari anggur baru itu tidak akan merusaknya.

Apa makna perumpamaan ini? Tuhan Yesus sedang berbicara dengan kaum Farisi dan para ahli Taurat maka Ia mau menegaskan bahwa Perjanjian Lama itu orientasinya jelas kepada Perjanjian Baru. Perjanjian Baru sendiri menyempurnakan Perjanjian Lama. Ada saat yang tepat untuk berpesta dan ada saat untuk berpuasa. Ada tempat untuk yang lama dan ada tempat untuk yang baru. Yesus sendiri berkata: “Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya.” (Mat 13:52).

Hal yang sama kalau kita renungkan dalam konteks Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru. Banyak orang beranggapan bahwa Kitab Perjanjian Lama sudah ketinggalan zaman, lebih enak membaca Kitab Perjanjian Baru. Kitab Perjanjian Lama berisi rencana keselamatan dari Allah bagi manusia. Kitab Perjanjian baru merupakan pemenuhan semua rencana keselamatan dalam diri Yesus Kristus. Permenungan lebih lanjut tentang anggur dalam perikop Injil adalah tentang kasih yang merupakan anugerah Roh Kudus. Anggur adalah tanda kehadiran Roh Kudus yang selalu membaharui setiap pribadi dan Gereja. Apakah anda merasakan kehadiran Roh Kudus yang membaharui hidupmu dari saat ke saat?

St. Paulus dalam bacaan pertama juga menghadirkan identitas Yesus Kristus bagi Gereja di Kolose. Siapakah Yesus dalam pikiran Paulus? Ia coba menghadirkan wajah Yesus bagi jemaat di Kolose. Yesus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. (Kol 1:15-16). Paulus mengenal Yesus sebagai Anak Allah, Pencipta segala sesuatu. Dengan kata lain, Yesus sebagai Anak Allah bersatu dengan Bapa dan menciptakan segala sesuatu. Dari Yesus, kita bisa mengenal Allah Bapa sebagai Pencipta segala sesuatu.

Paulus melihat keberadaan Yesus di bumi. Baginya, Yesus ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. (Kol 1:17). Dalam hubungan dengan Gereja, Yesus adalah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. (Kol 1:18). Paulus lalu mengarahkan pandangan kita kepada Yesus karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus (Kol 1:19-20).

Sabda Tuhan pada hari Jumat Pertama ini sangat kaya maknanya dan menguatkan kita semua. Kita boleh berbangga karena sebagai orang yang dibaptis, kita juga ikut menjadi sahabat-sahabat Yesus sang mempelai sejati. Bersama Yesus selalu ada sukacita, bersama Yesus kita juga ikut memikul salib dan menyangkal diri hari demi hari.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply