Homili 5 Oktober 2015

Hari Senin, Pekan Biasa XXVII
Yun. 1:1-17; 2:10
MT Yun. 2:2,3,4,5,8
Luk. 10:25-37

Kasih tidak berkesudahan

imageBeberapa hari yang lalu saya memberkati penikahan sepasang suami istri. Mereka menyiapkan buku panduan yang bagus. Pada sampul bagian depan buku itu ada gambar dua buah cincin dan ada tulisan dibawahnya: “Kasih tidak berkesudahan” (1Kor 13:8). Saya menggunakan kutipan dari surat St. Paulus untuk menasihati pasutri baru, supaya mereka setia satu sama lain sebagai pasangan hidup, seperti cincin yang tidak memiliki ujung dan pangkal. Kasih tidak berkesudahan karena kasih yang benar berasal dari Allah yang hakikat-Nya adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Allah adalah kasih dan Ia lebih dahulu mengasihi kita semua. Pertanyaannya adalah apakah kita sadar dan percaya bahwa Allah adalah kasih? Banyak orang yang rajin membaca Kitab Suci, aktif di dalam kehidupan menggereja namun belum sadar dan percaya bahwa Allah adalah kasih.

Penginjil Lukas mengisahkan dalam Injil hari ini tentang orang Samaria yang baik hati. Ia menghadirkan seorang tokoh tanpa nama dari para ahli Taurat. Ia mengetahui hampir seluruh isi Kitab Suci tetapi masih datang kepada Yesus untuk bertanya tentang syarat memperoleh hidup kekal. Tuhan Yesus mengetahui maksud ahli Taurat ini yakni hanya mencobai-Nya. Yesus justru bertanya kepadanya tentang apa yang sudah tertulis dan sudah dibacanya. Kiranya dua kata “tertulis” dan “dibacanya” adalah kata yang tepat untuk ahli Taurat ini. Ia menunjukkan kebolehannya dengan mengulangi dua kutipan penting dalam Kitab Perjanjian Lama yakni: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu (Ul 6: 5) dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18). Yesus memberi pujian kepada ahli Taurat ini karena mengutip dengan tepat makna kasih sebagai perintah utama.

Selanjutnya, ahli Taurat ini bertanya kepada Yesus: “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29). Ia tentu berharap agar Yesus memberi batasan yang jelas tentang sesama, apakah hanya keluarga dekat, orang-orang sesuku ataukah semua orang bisa menjadi sesama. Untuk itu Yesus memberi sebuah katekese kepada ahli Taurat ini dalam sebuah perumpamaan yang sederhana, menantang dan mendalam. Perlu kita ketahui bahwa orang Yudea dan Samaria adalah warga Kerajaan Selatan dan Utara yang saat itu tidak bisa hidup berdampingan satu sama lain. Yesus mengambil contoh relasi kedua kerajaan ini untuk menerangkan makna kasih kepada sesama manusia dan bahwa Dialah yang mempersatukan semua orang yang bermusuhan.

Inilah isi perumpamaan Yesus: Ada seorang Yahudi yang sedang bepergian dari Yerusalem ke Yerikho. Ia dirampok, dipukuli sampai babak belur dan membiarkannya tertidur di pinggir jalan dalam keadaan sekarat. Pada waktu itu ada tiga orang yang lewat. Orang pertama adalah seorang imam. Ia melihat dan hanya melewati saja orang Yahudi yang sedang sekarat itu. Orang kedua adalah seorang Lewi. Ia juga hanya bisa melihat dan melewatinya begitu saja. Mungkin kita marah terhadap imam dan seorang Lewi itu karena mereka seolah-olah tidak berperikemanusiaan. Mereka memiliki alasan bahwa najis kalau menyentuh orang yang tubuhnya berdarah-darah. Imam dan kaum Lewi melayani Tuhan di bait Suci maka tangannya harus bersih bukan najis. Orang ketiga adalah seorang Samaria, musuh orang Yahudi. Ia merasa kasihan sehingga menolong orang Yahudi itu dengan membalut luka-lukanya, menyirami dengan minyak dan anggur, menaikannya ke atas keledai tunggangannya, mencari penginapan dan memberi biaya penginapan dan perawatan lanjutan.

Konsep sesama manusia bagi Yesus adalah, dia yang bisa memberi dirinya untuk membahagiakan sesama. Cinta kasih itu universal, melampaui batas-batas kehidupan manusia. Cinta kasih menghalau permusuhan dan menyatukan setiap pribadi yang bermusuhan. Maka sesama manusia adalah orang yang berbelas kasih. Sebenarnya perumpamaan ini mengatakan jati diri Yesus sendiri. Dia adalah “orang Samaria” yang berbelas kasih kepada orang lain.

Yesus adalah tipe orang Samaria yang berbelas kasih kepada sesama manusia. Ia mempersatukan semua orang yang bermusuhan, yang berdosa untuk berdamai dan bersatu dengan Tuhan. Ia menantang kita untuk menjadi sesama bagi mereka yang lain. Ia berkata: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (Luk 10:37). Artinya, kasih kepada Tuhan dan sesama yang bisa mengantar kita kepada kehidupan kekal bukan hanya sebuah slogan, tetapi sesuatu yang benar-benar nyata di dalam hidup. Tuhan Yesus tidak hanya mengatakannya tetapi menunjukkan dalam hidup yang nyata.

Tuhan membutuhkan manusia untuk mewujudkan kasih-Nya. Sayang sekali karena sikap egois selalu menguasai hidup kita. Yunus memiliki pengalaman yang bisa mendidik kita semua. Ia dipanggil Tuhan untuk membawa pertobatan bagi orang-orang Ninive. Namun ia bersikap egois dan tidak patuh kepada Tuhan. Akibatnya ia menghuni perut ikan selama tiga hari dan tiga malam. Perut ikan itu simbol kotoran, segala sesuatu yang tidak manusiawi tetapi mau dialami oleh manusia. Tempat kotor tetapi masih mau dinikmati oleh manusia yang egois.

Pertobatan yang harus kita bangun bersama adalah sebuah gerakan bathin untuk kembali kepada Tuhan. Kita bermetanoia sehingga yang ada hanyalah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Kasih itu tidak berkesudahan!

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply