Homili 17 Oktober 2015

Hari Sabtu, Pekan Biasa XXVIII
Rm. 4:13,16-18
Mzm. 105:6-7,8-9,42-43
Luk. 12:8-12

Fides quaerens intellectum

Pada pagi hari ini saya mengingat sebuah kalimat dalam bahasa Latin yakni “fides quaerens intellectum” yang berarti iman mencari pemahaman. Kalimat ini ditulis oleh St. Anselmus dari Canterbury dalam Proslogium, yang berisi argumen ontologis tentang eksistensi Allah. St. Anselmus membuat dialog antara akal budi dan iman untuk membuktikan bahwa Tuhan Allah sungguh-sungguh ada. Jauh sebelumnya muncul orang-orang kudus yang tidak membuktikan adanya Allah dengan memberikan argumen-argumen intelektual tetapi memberikan hidupnya sebagai bukti nyata bahwa mereka sungguh-sungguh orang beriman. St. Ignasius dari Antiokhia adalah salah satu contohnya. Ia sebagai uskup di Antiokhia mendapat hukuman mati karena percaya bahwa Kristus ada. Di hadapan Kaisar, Ignasius bersaksi: “Akulah Ignasius pemimpin orang-orang yang sekarang berdiri di hadapanmu. Kami semua pengikut Kristus yang telah disalibkan bagi keselamatan umat manusia. Kristus itulah Tuhan kami dan Ia tetap tinggal di dalam hati kami dan menyertai kami.”

Jawaban tegas Ignasius membuatnya menerima hukuman mati di Antiokhia, namun eksekusinya dilakukan di Roma. Maka sebagai seorang terpenjara, ia melewati jalan darat dan laut yang begitu jauh ke Roma. Setiap kali berjumpa dengan orang-orang Kristen, ia memberi semangat kepada mereka untuk setia mengimani Tuhan Yesus Kristus. Wajahnya tetap ceriah seperti orang pergi untuk mengikuti pesta perjamuan. Ia juga menulis surat-surat yang meneguhkan iman para gembala. Ia menulis: “Hanya ada satu Tubuh Tuhan kita Yesus Kristus dan satu juga piala darah-Nya. Keduanya dikurbankan di atas altar oleh satu uskupmu bersama para imam dan diakon.” Di samping meneguhkan umat, ia juga memohon doa untuk kemartirannya. Ketika tiba di Roma, ia menjadi santapan lezat hewan-hewan liar yang kelaparan. Ia mengumpamakan dirinya sebagai gandum bagi Kristus. Iman menjadi nyata dalam hidup. Iman mencari pemahamannya ketika kita bersaksi bahwa Allah sungguh-sungguh ada dan kitalah orang pertama yang percaya kepada-Nya.

Mengapa Ignasius tidak takut memberi hidupnya sebagai martir Kristus? Tuhan Yesus meneguhkannya dalam Injil: “Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.” (Luk 12:11-12).

Permenungan hari ini saya fokuskan pada iman sebagai anugerah istimewa dari Tuhan bagi setiap pribadi. Iman adalah anugerah Tuhan maka manusia menerima dengan sukacita dan menghayatinya sepanjang hidupnya. St. Paulus berkata: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah” (Ef 2:8). Kita diselamatkan karena iman kepada Tuhan yang menganugerahkan kasih karunia-Nya. Penulis surat kepada umat Ibrani berkata: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11:1).

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa: “Iman adalah kebajikan ilahi, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri. Dalam iman “manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah” (Dei Verbum 5).Karena itu, manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah. “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom 1:17) Iman yang hidup “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6)” (KGK, 1814).

St. Paulus mengatakan kepada jemaat di Roma bahwa Yesus adalah Kebenaran sejati dan tidak bisa diganggu gugat. Setiap orang dipanggil untuk menerima kebenaran sejati dan mengimani-Nya. Untuk lebih membuka wawasan mereka maka Paulus mengambil Abraham sebagai model orang beriman. Abraham bisa memiliki dunia, bukan karena hukum Taurat yang diterimanya melainkan karena kebenaran berdasarkan iman. Perkataan Paulus ini benar karena Abraham sendiri memiliki iman yang besar kepada Tuhan. Ia bahkan dikenal sebagai Bapak bagi kaum beriman. Iman Abraham begitu kuat sehingga membuat Allah sendiri kagum kepadanya. Tuhan bisa mengikat perjanjian-Nya dengan Abraham karena kasih karunia-Nya bukan karena kuat dan hebatnya Abraham. Iman Abraham tetaplah menjadi model bagi pertumbuhan iman kita kepada Yahwe. St. Paulus berkata: “Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Rm 4:18).

Iman kepada Tuhan sebagaimana diakui oleh St. Ignasius dari Antiokhia dan diterangkan oleh St. Paulus dalam bacaan pertama membantu kita semua untuk berani mengakuinya bahwa kita sungguh-sungguh percaya kepada Allah Tritunggal Mahakudus. Pengakuan iman bukan hanya melalui mulut saja tetapi mengakuinya dalam hidup yang nyata. Artinya kita memiliki komitmen untuk menjadi serupa dengan Kristus sendiri. Yesus sendiri berkata: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah.” (Luk 12:8-9). Kita mengatakan mengimani Kristus berarti berani untuk mengakui-Nya bukan menyangkal-Nya.

Satu hal yang Tuhan minta dari kita pada hari ini adala keterbukaan hati kita untuk menerima dan mengakui-Nya sebagai satu-satunya Tuhan dan Penebus kita. Pengakuan iman itu bisa nyata kalau Roh Kudus turut bekerja di dalam hidup kita. Namun demikian manusia selalu memiliki kelemahan tertentu. Ada kecendrungan untuk selalu jatuh dalam dosa yang sama. Maka Tuhan Yesus berkata: “Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni.” (Luk 12:10).

Apa itu dosa melawan Roh Kudus? Di dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan “Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus”, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, tetapi bersalah karena berbuat dosa kekal” (Mrk 3:29). Kerahiman Allah tidak mengenal batas; tetapi siapa yang dengan sengaja tidak bersedia menerima kerahiman Allah melalui penyesalan, ia menolak pengampunan dosa-dosanya dan keselamatan yang ditawarkan oleh Roh Kudus. Ketegaran hati semacam itu dapat menyebabkan sikap yang tidak bersedia bertobat sampai pada saat kematian dan dapat menyebabkan kemusnahan abadi.” (KGK, 1864).

Tuhan Yesus berkata tentang Roh Kudus, “Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman.” (Yoh 16:8). Maka, tugas utama Roh Kudus adalah ‘menginsafkan’ manusia dari dosanya. Apabila manusia tidak mau insaf, maka ia berdosa melawan Roh Kudus. Apabila seseorang menolak Roh Kudus, berarti ia menolak kebenaran dan menolak kasih Allah, serta menolak pengampunan dari Allah, maka tidak mungkin diampuni baik di kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

St. Paulus membuka wawasan kita untuk menumbuh-kembangkan iman sebagai anugerah Tuhan. St. Anselmus dari Canterbury mengatakan bahwa “fides quaerens intellectum” yang berarti iman mencari pemahaman. Tuhan menganugerahkan iman kepada kita maka kita menjawabi iman itu dengan rajin berbuat baik kepada Tuhan dan sesama manusia. Tuhan tidak pernah merasa rugi karena kemunafikan manusia. Ia justru mengasihi manusia sampai tuntas dengan mengorbankan Yesus Putera-Nya di atas kayu salib. St. Ignasius dari Antiokia, doakanlah kami. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply