Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIII/C – 2016

Hari Minggu Biasa ke-XXIII/C
Keb 9:13-18
Mzm 90:3-4.5-6.12-13.14.17
Flm 9b-10.12-17
Luk 14: 25-33

Menggapai Kebijaksanaan Sejati

imageAda dua peristiwa yang kita kenang pada hari Minggu Biasa yang ke-XXII/C ini. Pertama secara serentak Gereja Katolik di Indonesia memulai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Tema umum Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2016 adalah: “Keluarga bersaksi dan mewartakan Sabda Allah”. Sub temanya adalah “Hendaknya terangmu bercahaya” (Mat 5:16). Tema ini kiranya mengingatkan seluruh keluarga Katolik untuk menjadi pewarta sabda Tuhan (kerygma) dan memberi kesaksian (martiria) tentang Sabda Tuhan dalam hidup nyata. Dua kata kunci yakni “kerygma” dan “martiria” sangat penting dalam hidup menggereja dari dulu hingga saat ini. Tentu saja ada harapan besar supaya semua umat rajin membaca Kitab Suci, sehingga tetap akrab dengan Tuhan. Semakin tekun kita membaca Kitab Suci, semakin akrab pula kita dengan Tuhan Yesus Kristus sang Sabda Hidup.

Kedua, Gereja Katolik berbahagia karena Paus Fransiskus mengumumkan secara resmi Bunda Theresia dari Kalkuta sebagai salah seorang kudus atau Santa. Beliau adalah seorang misionaris yang mengabdikan dirinya seumur hidup bagi kaum papa dan miskin di Kalkuta, India. Kehidupannya menampakkan wajah Kristus yang berbelas kasih terhadap umat manusia. Ia boleh dikatakan sebagai martir cinta kasih di dalam Gereja. Sr. Mary Prema Pierick adalah Superior Jenderal Kongregasi Misionaris Cinta Kasih yang didirikan Bunda Theresia dari Kalkuta mengatakan bahwa Bunda Teresa adalah ikon persekutuan, toleransi, saling menerima dan kasih kepada setiap pribadi. Pernyataan Sr. Prema ini untuk mempertegas figur Bunda Teresa di negara India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Mereka mempunyai cara masing-masing untuk menghormati Bunda Teresa. Mereka melihat Bunda Teresa sebagai figur inspiratif dalam hidup bersama di sebuah negara majemuk.

Bacaan-bacan Kitab Suci pada hari ini membantu kita untuk menggapai kebijaksanaan sejati. Allah adalah sumber kebijaksanaan sejati. Dalam bacaan pertama penulis Kitab Kebijaksanaan  mengatakan bahwa setiap orang memiliki kelemahan di hadirat Tuhan. Salah satu kelemahannya adalah bagaimana ia dapat mengenal Tuhan di dalam hidupnya. Hanya dengan mengandalkan akal budinya Saja tidaklah cukup. Sebab itu muncullah pertanyaan: “Manusia manakah yang dapat mengenal rencana Allah, atau siapakah yang dapat memikirkan apa yang di kehendaki Tuhan?” (Keb 9:13). Kitab Kebijaksanaan juga mengatakan bahwa manusia memiliki jiwa yang dibebani oleh badan yang fana dan kemah dari tanah memberatkan budi yang banyak berpikir.

Dengan memahami keterbatasannya di hadirat Tuhan maka muncul pertanyaan-pertanyaan ini di pihak manusia: “Siapa gerangan telah menyelami apa yang ada di surga? Siapakah gerangan dapat mengenal kehendak-Mu kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan kebijaksanaan, dan jika Roh Kudus-Mu dari atas tidak Kauutus?” (Keb 9: 16-17). Manusia tidak berdaya di hadapan Tuhan. Ia sungguh-sungguh membutuhkan dan mengandalkan Tuhan di dalam hidupnya. Untuk memiliki kebijaksanaan sejati, manusia membutuhkan Roh Kudus yang bersal dari Tuhan sendiri. Untuk dapat memahami rencana dan kehendak Tuhan maka Roh Kuduslah yang akan membuka akal budi manusia untuk memahaminya. Hanya dengan kuat kuasa Roh Kudus maka manusia akan memiliki kebijaksanaan sejati yang dapat menyelamatkannya.

Tuhan Yesus pernah berkata: “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Kita tidak dapat berjalan sendirian saja. Manusia yang mencari kebijaksanaan akan mengatakan dalam dirinya bahwa Ia membutuhkan Tuhan. Ia mengandalkan Tuhan di dalam hidupnya. Penginjil Lukas melukiskan perjalanan Yesus bersama banyak orang yang berduyun-duyun mengikuti-Nya dari dekat. Kita semua mengerti bahwa perjalanan Yesus adalah sebuah perjalanan salib. Ini adalah sebuah kebijaksanaan. Ia berkata: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya atau ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudaranya laki-laki dan perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memanggul salibnya dan mengkuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14: 26-27).

Kedua hal yang disebutkan di atas merupakan kebijaksanaan di hadapan Yesus, sekaligus syarat mutlak untuk menjadi murid-Nya. Jadi mengikuti Yesus bukanlah hal ikut-ikutan saja. Artinya karena orang lain mengikuti Yesus maka saya juga mengikuti Dia. Orang harus memiliki motivasi yang jelas. Orang bijaksana akan memiliki motivasi yang luhur untuk mengikuti Yesus dari dekat, yakni:

Pertama, seorang yang memiliki kemampuan untuk mengasihi Yesus lebih dari yang lain. Meskipun Yesus menggunakan kata “membenci” tetapi maksud Yesus bukan membenci dalam arti sebenarnya. Ini adalah sebuah gaya bahasa yang dipakai Yesus saat itu. Ia sebenarnya bermaksud mengatakan bahwa murid-Nya yang baik adalah yang mengasihi-Nya lebih dari yang lain.

Kedua, Salib adalah motivasi utama kehidupan kristiani. Mengikuti Yesus berarti siap memanggul salib dan mengikuti Yesus yang memangul salib akibat dosa kita. Yesus tidak hanya mengharuskan kita memikul salib tetapi Dia sendiri menunjukkan teladan kepada kita. Dialah Manusia tersalib yang mengasihi kita sampai tuntas. Ini adalah kebijaksanaan sejati Yesus.

Kebijaksanaan lain yang diajarkan Yesus hari ini adalah kemampuan untuk membuat rencana (planning mentality). Ini adalah kritik sosial Yesus bagi banyak orang yang tidak memiliki planning mentality. Ia memberi contoh tentang orang yang membangun rumah harus duduk dan membuat anggaran belanja sesuai kemampuan ekonominya. Seorang raja yang hendak berperang harus melihat kemampuan militernya. Apakah ia mampu menghadang musuhnya atau tidak. Kritik sosial Yesus ini menunjukkan bahwa manusia lemah dalam planning mentality. Orang yang bijaksana pasti pandai merencankan segala sesuatu dalam hidupnya. Yesus menutup pembicaraan tentang planning mentality dengan berkata: “Setiap orang di antara kamu yang tidak melepaskan diri dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14: 33). Orang harus bersikap lepas bebas terhadap semua harta duniawi. Yesus sudah tahu bahwa salah satu kelemahan manusia adalah di mana hartanya berada, hatinya juga berada di sana (Mat 6:21).

Kebijaksanaan sejati hanya berasal dari Tuhan saja. Kebijaksanaan adalah sebuah anugerah bagi manusia dari Tuhan. Maka sama seperti Tuhan yang senantiasa memperhatikan manusia dan segala kebutuhannya, setiap pribadi juga hendaknya menaruh perhatian khusus kepada orang-orang kecil dan tak berdaya. St. Paulus dalam bacaan kedua mengakui diri dalam suratnya kepada Filemon sebagai orang yang sudah menjadi tua, dan sedang berada di dalam penjara karena Kristus Yesus. Di dalam penjara, ia berjumpa dengan Onesimus yang kemudian sangat dikasihi olehnya. Ia menganggapnya sebagai buah hati karena dialah yang melayani Paulus di dalam penjara.

Onesimus dalam bahasa Yunani berarti berguna adalah hamba Filemon yang menjadi buronan. Pada saat itu Filemon berada di Kolose. Onesimus kemudian ditangkap dan masuk penjara. Dia bertemu dengan Paulus di dalam penjara yang sama. Karena pengajaran Paulus maka ia bertobat dan mengikuti ajaran Kristen. Paulus mendorongnya untuk kembali kepada Filemon tuannya. Namun Paulus juga bijaksana sehingga dia meminta persetujuan Filemon. Diharapkan bahwa nantinya, Onesimus bukan lagi menjadi hamba tetapi saudara dari Filemon. Onesimus konon menjadi uskup di Efesus.

Apa yang hendak Tuhan katakan kepada kita?

Pada hari ini pikiran kita diarahkan kepada Tuhan sebagai sumber kebijaksanaan. Kita membutuhkan Roh Kudus untuk membuka wawasan kita dalam memahami rencana keselamatan dari Tuhan. Roh Kudus menguatkan kita untuk mengasihi Tuhan lebih dari segalanya dan memampukan kita untuk berani memikul salib dan mengikuti Yesus dari dekat. Kebijaksanaan sejati membantu kita untuk memperhatikan sesama, dengan tidak memandang latar belakang orang itu tetapi bahwa dia adalah manusia maka kita mengasihinya. Kita masih memiliki banyak Onesimus yang perlu mendapat perhatian dan kasih sayang.

Kita belajar dari St. Theresia dari Kalkuta untuk memperhatikan para Onesimus lain yang masih ada di sekitar kita. St. Theresia dari Kalkuta berkata: “Hanya kasih yang bisa mengubah hidup seseorang.” Kasih yang satu dan sama inilah yang perlu kita wartakan bersama dalam keluarga dan komunitas sepanjang bulan Kitab Suci Nasional ini. Kasih dan mengasihi adalah sebuah kemartiran.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply