Homili Hari Minggu Paskah – IV/B – 2018

Hari Minggu Paskah IV/B
Kis. 4:8-12
Mzm. 118:1,8-9,21-23,26,28cd,29
1Yoh. 3:1-2
Yoh. 10:11-18

Gembala berbau domba!

Seorang tokoh umat pernah curhat kepada saya dengan membandingkan suasana pelayanan pastoral di parokinya zaman old dan zaman now. Ia mengatakan “kalau” zaman old, pastornya benar-benar pastor bagi umat. Mereka rela berjalan kaki, naik dan turun gunung untuk melayani umat. Kadang-kadang mereka mengendarai kuda, dengan sepeda motor, menyebrang sungai, danau dan laut. Misa di setiap stasi benar-benar terprogram dan umat sudah tahu kapan saatnya mereka mendapatkan pelayanan dari pastornya. Hal ini menjadi sangat berbeda dengan para pastor zaman now. Mereka sudah jarang mengunjungi umat di stasi dengan alasan demi memusatkan pelayanan pastoral maka semua pelayanan berpusat di pusat paroki. Mereka lebih fokus pada siaran langsung pertandingan bola kaki di TV dari pada menyiapkan homili yang terbaik bagi umatnya. Mereka lebih suka menjadi pastor digital dari pada pastor yang bekerja untuk mencari jiwa-jiwa dan menyelamatkannya. Sebagai pastor digital, pastor lebih suka memandang layar handphone, tablet dan ipad serta layar komputer dari pada memandang wajah-wajah orang-orang miskin, tak berdaya dan sangat membutukan jamahan tangan Tuhan. Itulah beda pastor zaman old dan pastor zaman now. Curhatan ini menandakan bahwa umat sangat mencintai panggilan para Romo sebagai gembala dan berharap supaya gembala benar-benar bersatu dengan domba-dombanya.

Adalah Paus Fransiskus. Di dalam Evangelii Gaudium beliau mengharapkan supaya para gembala itu berbau seperti dombanya (EG, 24). Mungkin kita tertawa dan bertanya, mengapa Bapa Suci dapat mengungkapkan kalimat seperti ini dari mulutnya? Ini semata-mata merupakan ungkapan keprihatinan seorang gembala universal bagi gembala lokal yang sudah mulai jauh dan sangat jauh dari cita-cita dan harapan Yesus Kristus sang Gembala Baik. Bila kita telusuri lebih jauh lagi, mengapa para gembala zaman now menjadi seperti ini maka pertanyaan yang sama haruslah diajukan kepada para pembina di seminari menengah dan seminari tinggi seperti ini: “Apakah pembinaan para calon imam dan biarawan zaman now itu sifatnya integral, dalam arti pembinaan rohani, pembinaan manusiawi, pembinaan intelektual, pembinaan afektif dan pembinaan pastoral sebagaimana ditegaskan oleh St. Yohanes Paulus II dalam Pastores dabo vobis?” Apakah orang-orang yang membina dan mendampingi para calon imam dan biarawan serta biarawati juga mengalami pembinaan yang cukup sebagai pembina. Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini kiranya memotivasi Bapa Suci Fransiskus untuk mengatakan kepada para gembala supaya menjadi gembala yang berbau domba.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu Paskah ke-IV ini mengarahkan kita kepada figur Yesus sebagai gembala baik. Sebuah pertanyaan yang jawabannya ada di dalam bacaan-bacaan liturgi hari ini adalah ‘Siapakah Yesus Kristus?’ bagi anda dan saya saat ini. St. Lukas di dalam Kisah Para Rasul menceritakan kisah Heroik Rasul Petrus yang saat itu penuh dengan Roh Kudus. Ketika itu Petrus dan Yohanes barusan menyembuhkan seorang lumpuh dalam nama Yesus Kristus. Mukjizat yang terjadi ini juga menarik perhatian para Mahkamah Agama Yahudi. Sebab itu mereka menangkap Rasul Petrus dan Yohanes dan meminta pertanggungjawaban mereka. Petrus dengan tegas mengatakan bahwa hanya kuasa Yesus yang dapat mengatasi segala-galanya. Pada akhirnya ia bersaksi: “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4:12). Pikiran kita semua terarah kepada Tuhan Yesus, satu-satunya penyelamat kita. Dia adalah Gembala yang menyelamatkan. Seorang gembala yang berbau domba.

Dalam bacaan kedua, Yohanes mengajak kita untuk tetap fokus pada Tuhan Yesus. Karena jas-jasa-Nya maka kita semua mendapat martabat yang baru sebagai anak-anak Allah. Ini adalah sebuah kepastian sebab Yesus benar-benar ada di tengah-tengah kita. Kita semua berusaha untuk bersatu dengan Kristus sang Gembala baik. Dialah jaminan keselamatan kita. Yohanes dengan tegas berkata: “Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.” (1Yoh 3:2). Dunia boleh membenci kita tetapi Tuhan tidak pernah membenci kita. Hidup kita tertuju kepada-Nya. Pada saatnya yang tepat kita akan melihat Dia dalam keadaan yang sebenar-Nya. Ini adalah kerinduan kita sebagai domba-domba-Nya.

Penginjil Yohanes mengulangi perkataan Yesus kepada kaum Farisi: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”. Ada dua hal penting yang diungkapkan Yesus di sini. Pertama, Yesus mewahyukan diri-Nya sebagai seorang gembala yang baik. Yesus memberi teladan kepada kita untuk beberapa hal ini: Gembala yang baik mengenal domba-dombanya, bukan hanya namanya saja tetapi mengenal dari ke dalam hati. Seorang gembala yang baik selalu memiliki waktu untuk berbicara dari hati ke hati, mendengar segala persoalan hidup, suka dan duka sesama dan berempati dengannya. Gembala yang baik tidak menutup dirinya tetapi senantiasa terbuka dan menerima siapa saja, tanpa memilih atau memilah-milah. Kedua, Yesus mewahyukan diri sebagai satu-satunya penyelamat kita. Ia bahkan rela memberikan nyawa bagi kita sebagai domba-domba-Nya. Gembala yang baik bukan bermental bekicot, penakut tetapi selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi semua orang. Gembala yang baik tidak menghitung berapa yang sudah diterimanya, melainkan berapa yang sudah diberinya.

Kita tidak dapat menutup mata dengan fenomena para gembala zaman now. Banyak yang berubah dari sifatnya sebagai gembala baik menjadi orang upahan. Orang upahan tidak mengenal domba-dombanya, ketika ada penganiayaan dan penderitaan maka dialah orang pertama yang lari meninggalkan domba-dombanya. Gembala laksana orang upahan tidak mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab yang memadai. Gembala yang hanya berfokus pada dirinya sendiri, dan tidak setia kepada Tuhan Yesus sang Gembala Baik.

Semangat Yesus sebagai Gembala baik haruslah kita miliki. Untuk apa kita bangga sebagai orang yang dibaptis sementara hidup kita jauh dari hidup kristiani yang sebenarnya? Mari kita belajar menjadi gembala yang berbau domba. Domba memang bau tetapi gembalanya harus berusaha untuk memiliki bau seperti itu. Artinya apapun situasinya, di mana ada domba di situ ada gembalanya. Kehadiran yang nyata itulah sifat khas gembala baik. Maka para gembala yang hendak memiliki bau domba, silakan sign out sekarang juga, bukalah pintu dan jendela kamarmu, berani bereksodus untuk mencari dan menyelamatkan domba-domba. Jangan pernah membiarkan satu domba yang tersesat.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply