Homili 31 Desember 2018

Hari Senin, 31 Desember 2018
1Yoh 2:18-21
Mzm 96:1-2.11-12.13
Yoh 1:1-18

Hari terakhir penuh sukacita

Salah seorang sahabatku menulis kata-kata ucapan selamat tahun barunya kepadaku: “Jika tahun ini kamu belum bisa mendapatkan yang terbaik, setidaknya kamu telah berusaha melakukan yang terbaik.” Saya tersenyum dan berkata dalam hati: ‘So pasti, bro!’ Hari ini adalah hari terakhir bagi kita semua di tahun 2018 ini. Selama beberapa hari terakhir ini saya sendiri membuat evaluasi tentang berbagai hal yang saya sudah rencanakan, melakukannya, mana yang berhasil, yang masih gagal dan sebab-musababnya. Maka kata-kata di atas menginspirasikan saya untuk coba melihat hal-hal terbaik yang belum saya dapatkan, meskipun sudah berusaha dengan tekad yang teguh. Memang manusia boleh merencanakan namun Tuhan yang menentukan sesuai dengan kehendak kasih-Nya. Kita sebagai manusia hanya menyatakan rasa sukacita kepada Tuhan dan sesama di sekitar kita. Terima kasih tahun 2018, sekarang saya menatap tahun 2019 dengan penuh harapan.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari terakhir dalam tahun 2018 ini mengingatkan kita untuk tetap optimis, bersukacita di hadapan Tuhan dan sesama. Kita tetap hidup dalam harapan yang pasti akan masa depan kita masing-masing. Penulis surat pertama Yohanes mengatakan kepada kita semua bahwa ‘waktu sekarang ini adalah waktu yang terakhir’. Kalau saja ini adalah waktu yang terakhir, hari yang terakhir, maka sekurang-kurangnya kita masih memiliki api optimisme bukan pesimisme. Saya teringat pada kata-kata Khalil Gibran: “Orang-orang optimis melihat bunga mawar, bukan durinya. Orang-orang pesimis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya.” Saya merasa yakin bahwa banyak di antara kita sudah sedang melihat bunga mawar bukan durinya yang menakutkan, namun masih ada yang melihat duri yang menakutkan dari pada bunga mawarnya. Api harapan, api optimis harus tetap menyala. Dengan kesadaran diri semacam ini maka tentu kita akan merasa bangga akan semua yang sudah kita peroleh, yang baik dan menyenangkan, demikian juga yang tidak baik dan menyusahkan.

Kita tidak hanya bergembira karena api harapan dan rasa optimis. Kita perlu juga mawas diri terhadap tanda-tanda zaman. Yohanes dalam suratnya ini mengingatkan kita bahwa akan ada banyak antikristus yang datang. Mereka datang dengan semua propaganda yang menyesatkan. Mereka bisa saja dari dalam gereja sendiri atau yang berasal dari luar gereja. Mereka dengan kelicikannya menggiring opini untuk merusak Gereja. Gereja kita saat ini sepertinya ditonjok dari luar dan juga dari dalam. Berbagai kasus dan skandal yang terjadi di dalam Gereja, dari pihak gembala menjadi konsumsi public. Orang lupa bahwa Gereja adalah gembala dan umat, bukan hanya gembala saja. Orang dari luar gereja juga ikut berbicara seolah-olah mereka juga bagian dari Gereja. Antikristus selalu ada di antara kita. Di dalam keluarga juga ada antikristus. Mereka ini bisa berasal dari dalam keluarga kita sendiri, kakak beradik atau anak dengan orang tuanya. Perbedaan hingga permusuhan pasti selalu ada di dalam Gereja dan keluarga kita.

Kita tidak dapat menutup mata dengan antikristus dalam masyarakat kita. Krisis moral dari para pemimpin, kebohongan publik, obralan agama dan kebenarannya, politik dengan kuda bebannya agama, tidak ada rasa malu untuk mencuri uang rakyat. Tuhan Yesus tidak pernah mengajarkan pengikut-pengikut-Nya untuk berperilaku seperti ini. Memang sangat memalukan kalau yang melakukannya adalah pengikut Tuhan Yesus Kristus. Hanya karena kursi maka iman dikorbankan. Benar-benar ada antikristus di antara kita. Yohanes dengan tegas mengatakan: “Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.” (1Yoh 2:19).

Yohanes pada akhirnya memberikan kata-kata peneguhan kepada kita untuk mengakhiri tahun ini dengan perasaan sukacita: “Tetapi kamu telah beroleh pengurapan dari Yang Kudus, dan dengan demikian kamu semua mengetahuinya. Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya dan karena kamu juga mengetahui, bahwa tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran.” (1Yoh 2:20-21). Kita semua percaya kepada Tuhan Yesus, sang Sabda yang menjadi daging dan diam di antara kita (Yoh 1:14). Dia adalah jalan, kebenaran dan hidup. Hanya melalui Dialah kita beroleh sukacita abadi hingga hari terakhir ini.

Apa yang perlu kita lakukan pada hari terakhir ini?

Kita dengan lapang dada mengatakan rasa syukur kepada Tuhan untuk setahun yang sudah kita lewati. Apapun pengalaman kita, suka dan duka kita, semuanya itu kita syukuri bersama. Marcus Tullius Cicero, seorang negarawan Romawi kuno berkata: “Hati yang penuh syukur bukan saja merupakan kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari segala kebajikan yang lain.” Hal senada pernah diungkapkan oleh motivator nemaan dari Amerika Serikat Denis Waitley, “Kebahagiaan adalah pengalaman spiritual dari menikmati setiap detik kehidupan kita dengan penuh rasa cinta, rasa syukur dan terima kasih serta pengabdian kepada Tuhan yang menciptakan kita.”

Kita juga berani meminta maaf kepada diri kita sendiri, kepada sesama dan kepada Tuhan. Hidup ini semakin indah kalau kita benar-benar berani meminta maaf dan berani memaafkan. Memaafkan itu berarti melupakan. Saya mengatakan berani meminta maaf karena secara manusiawi kita memiliki kebiasaan menghitung-hitung kesalahan orang lain dan lupa menghitung kesalahan-kesalahan kita. Seharusnya kita menulis kesalahan sesama di atas tanah berpasir yang mudah dihapus oleh air dan angin dari pada menulisnya di atas batu yang menjadi prasasti kebencian selamanya.

Rasa syukur yang mendalam dan keberanian untuk meminta maaf dan memaafkan menjadi jalan yang terbuka lebar bagi sukacita kita di hari terakhir tahun ini. Kalau saja hari ini adalah hari terakhirmu, apakah anda masih bisa merasa bersukacita dan optimis dalam hidupmu? Jadikanlah hari terakhir ini dengan sukacita dan optimis. Selamat mengakhir tahun 2018 untukmu.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply