Renungan akhir tahun 2018: Te Dominum Confitemur

Te Dóminum confitémur

Kita berada di penghujung tahun 2018. Banyak di antara kita sudah menggunakan kesempatan sepanjang hari ini untuk mengevaluasi dirinya. Sepanjang tahun 2018 ini ada di antara kita yang sukses menjalani semua rencana, ada yang hanya sebagian rencananya sukses. Ada yang mungkin gagal dalam menjalankan rencana-rencananya. Saya yakin semua ini dialami oleh kita semua yakni pengalaman sukses dan gagal. Di samping semua hal yang berhubungan dengan rencana, pelaksanaan dan hasil akhirnya, kita juga melihat kembali pengalaman-pengalaman hidup kita yang lain di dalam keluarga masing-masing. Selama tahun 2018 ada yang berhasil misalnya anak-anaknya lulus sekolah, ada yang gagal karena belum lulus. Ada yang merasa kehilangan orang-orang yang dikasihi seperti ayah, ibu, anak atau saudari dan saudara. Pada akhirnya kita berada di hadapan Tuhan dan boleh berkata: “Inilah aku Tuhan, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu”.

Ada sebuah pengalaman luar biasa pada sore hari ini. Sebelum makan siang saya dikontak oleh seorang saudari bernama Ana Paula. Ia meminta saya untuk mendoakan ayahandanya bernama Moniz yang sedang sakit di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares. Saya mengenal orang tua ini karena pernah memberi minyak suci dan mendoakan di kala sedang sakit di rumahnya. Saya mengatakan bahwa setelah makan siang saya akan mengunjungi dan memberinya sakramen perminyakan. Putranya bernama Arey menjemputku di komunitas untuk pergi memberikan sakramen perminyakan. Kami semua mendoakannya dan saya berpesan kepada mereka: “Kita meminta yang terbaik dari Tuhan bagi Bapak Moniz”. Sejam setelah menerima minyak suci, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saya merasa yakin beliau bahagia di surga bersama para kudus. Tuhan menentukan dia untuk dikuduskan melalui sakramen penguatan supaya layak menjadi anak dan orang kudus-Nya di surga. Saya sendiri berpikir, apakah pada harinya nanti saya juga akan menerima minyak suci seperti Bapak Moniz di rumah sakit? Turut berbela sungkawa bagi keluarga Bapak Moniz, ibu, anak-anal dan para cucunya.

Pengalaman indah dan bermakna pada hari ini mengingatkan saya pada sebuah Himne yang dikidungkan pada setiap akhir tahun: ‘Te Deum laudamus’ yang berarti ‘Engkaulah yang kami puja”. Ada satu kalimat yang saya pakai sebagai judul renungan pada akhir tahun ini yakni: ‘Te Dóminum confitémur’ yang berarti ‘Engkaulah yang kami muliakan’. Hanya Tuhan yang senantiasa kita muliakan dan kita sembah di dalam hidup kita. Apapun hidup kita, dengan keberhasilan, kegagalan, kehilangan adalah warna-warni kehidupan kita. Pengalaman-pengalaman ini membuat hidup kita semakin indah di hadapan Tuhan dan sesama. Mengapa? Sebab hanya Tuhan yang patut kita muliakan.

Saya mengakhiri renungan akhir tahun ini dengan mengisahkan kembali pengalaman dua orang bersahabat yang sedang melakukan perjalanan bersama:

Ada dua orang sahabat yang sedang melintasi padang pasir. Padang pasir itu tempat orang bergumul untuk bertahan hidup atau kehilangan hidupnya. Dalam perjalanan itu mereka sempat bertengkar. Salah seorang di antaranya tidak dapat mengontrol kemarahannya sehingga menampar temannya. Sahabat yang ditampar tentu merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir: ‘Dia adalah sahabat, teman seperjalananku namun ia menamparku. Rasanya sakit sekali’.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan hingga merasa lelah dan berusaha untuk berenang di sebuah oasis. Tentu lebih fresh supaya dapat melanjutkan perjalanan mereka. Oasis itu cukup dalam sehingga sahabat yang ditampar pipinya itu nyaris tenggelam. Sahabat yang menamparnya itu berusaha untuk menyelamatkannya. Sahabat yang diselamatkan itu kemudian menulis di sebuah batu: ‘Dia benar-benar sahabat sejati. Ia telah menyakitiku namun ia masih mau menyelamatkan nyawaku’.

Sahabat yang menampar dan menolong itu bertanya, “Mengapa setelah saya menampar dan melukai hatimu, engkau menulisnya di atas pasir, dan sekarang engkau menulis di batu?” Sahabatnya tersenyum dan menjawab: “Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya diatas pasir agar angin maaf dan pengampunan datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Rasa sakit pun akan hilang dan yang ada hanya kasih dan kebaikan. Dan bila dalam antara sahabat terjadi sesuatu kebajikan sekecil apa pun, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tetap terkenang, tidak hilang ditelan waktu.”

Sepanjang tahun 2018 ini mungkin banyak yang jelek-jelek itu kita pahat di atas batu, menjadi prasasti sakit hati dan kebencian kita. Mari kita belajar untuk mengampuni dan melupakan. Kita belajar untuk menulis yang terbaik di prasasti kasih dan yang jelek-jelek dan menyakitkan kita tulis di atas pasir. Biarlah angin meniupnya supaya hilang tanpa bekas di dalam hati kita. Ingat, mengampuni berarti melupakan. Belajar untuk melihat yang terbaik dalam diri sesamamu dan lupakanlah yang menyakitkanmu. Menulis di atas pasir dan batu menjadi guru kehidupan kita. Selamat mengakhiri tahun 2018. Te Dominum Confitemur.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply