Homili 1 Maret 2019

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-VII
Sir 6:5-17
Mzm 119: 12.16.27.34.35
Mrk 10:1-12

Sahabat Sejati

Apakah anda dapat membedakan dan memilih yang terbaik sebagai kawan, teman dan sahabat? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita semua diberi pemahaman tentang ketiga kata ini: Kawan berarti orang yang sudah lama dikenal dan sering berhubungan dalam hal tertentu seperti dalam bermain, belajar, bekerja, dan sebagainya. Teman adalah orang yang bersama-sama bekerja, berbuat sesuatu dan berjalan bersama-sama. Sahabat berarti seorang pribadi yang menyenangkan dalam pergaulan. Pengertian umum dari ketiga kata ini memang mirip tetapi tidak sama. Ada faktor tertentu yang membuat ketiganya mirip tetapi tidak sama. Misalnya, faktor tingkatan emosi yang dilibatkan dalam membina hubungan antar pribadi. Ini adalah faktor pembedanya. Perhatikanlah, dari pengertian tentang kawan kita dapat mengerti bahwa di antara dua orang yang berkawan, mereka pasti pernah melakukan kegiatan tertentu secara bersama-sama seperti bermain, belajar, dan bekerja, suasana senang dan bersedih bersama, namun saat kawan itu menghilang maka rasa sedih itu juga ikut menghilang. Pengertian tentang teman selalu berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam hidup kita misalnya teman-teman kelas zaman doeloe. Dahulu pada waktu bersekolah mungkin dia atau mereka hanya sebatas saling mengenal wajah masing-masing, kalau semuanya sama-sama adalah murid di sekolah yang sama. Misalnya, teman yang ada disekitarmu, teman nongkrong, teman minum kopi dan lain sebagainya. Sahabat itu adalah seseorang yang tau menempatkan dirinya dalam hidup bersama. Ia setia mendengar semua keluh kesah, merelakan pundaknya sebagai sandaran saat kita menderita. Dan sahabat adalah orang pertama yang ikut merasakan kebahagian saat melihat ataupun mendengar kebahagianmu. Walau kadang lupa berbagi kebahagian dengan sang sahabat.

Pada malam terakhir, Tuhan Yesus menyapa para murid-Nya sebagai sahabat-sahabat-Nya bukan sebagai hamba-hamba-Nya (Yoh 15:13-15). Yesus sang Anak Allah saja menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya. Mengapa kita begitu sulit memiliki sahabat dan lebih sulit lagi sebagai sahabat bagi sesama manusia? Kitab Putra Sirakh hari ini memberi jawaban pasti tentang sahabat. Dikatakannya begini: “Tutur kata yang manis mendapatkan banyak sahabat, dan keramahan diperbanyak oleh lidah yang manis dan lembut.” (Sir 6:5). Selanjutnya dikatakan: “Jika engkau mau mendapat sahabat, ujilah dia dahulu dan jangan segera percaya kepadanya.” Sahabat yang baik itu memiliki stress tersendiri.

Seluk beluk lain seorang sahabat misalnya, ada sahabat yang dapat berubah menjadi musuh. Sahabat yang menceritakan hidup kita kepada orang lain. Ia menjadi sahabat hanya pada saat dirimu baik dan bahagia, tetapi di saat dirimu menderita maka ia akan berpaling darimu. Situasi ini mengundang kita semua untuk selalu waspada terhadap sesama manusia. Tidak semua orang itu dapat menjadi sahabat. Mereka hanyalah teman dan kawan saja. Relasi antar pribadi selalu mengajar kita untuk memahami kehidupan orang lain. Semakin kita mengenal seseorang kita dapat menyesuaikan diri sebagai sahabat. Kata-kata lain yang sangat menguatkan ikatan persahabatan manusia adalah: “Sahabat yang setia merupakan pelindung yang kuat, yang menemukannya, menemukan suatu harta. Sahabat yang setia, tiada ternilai, dan harganya tiada terbayar. Sahabat yang setia laksana obat kehidupan. Hanya orang yang takwa akan memperolehnya.” (Sir 6:14-16). Apakah kita dapat menjadi sahabat sejati dalam hidup bersama?

Ide tentang sahabat sejati menjadi lebih indah di dalam bacaan Injil. Dikisahkan bahwa ada orang Yahudi yang datang untuk mencobai Yesus dengan pertanyaan tentang apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya. Dalil mereka adalah Musa memperbolehkan suami menceraikan istrinya dengan memberi surat cerai. Harapan mereka adalah kiranya Yesus mengafirmasi perkataan Musa di dalam Kitab Perjanjian Lama. Reaksi Yesus terungkap dalam perkataan-Nya yang dapat mengubah seluruh hidup manusia: “Musa memberikan surat cerai karena ketegaran hati manusia. Pada awal dunia, Allah menjadikan mereka pria dan wanita; karena itu pria meninggalkan ibu dan bapanya, dan bersatu dengan istrinya. Keduanya lalu menjadi satu daging. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan mansia.” (10:6-9).

Jawaban Tuhan Yesus ini memang sangat tepat. Pertanyaan kita adalah mengapa perkawinan itu begitu rapuh? Perkawinan menjadi rapuh karena suami dan istri itu tidak sepadan atau tidak cocok, sombong, egois, keras hati dan tidak beriman. Kalau suami dan istri mengerti panggilan hidupnya maka mereka akan berusaha untuk meninggalkan segalanya dan menjadi satu daging sebagai suami dan istri. Dari perkataan Yesus ini, kita mengerti rencana Tuhan bahwa Ia sendiri tidak memiliki rencana bagi manusia supaya mereka bercerai. Para suami dan istri bersatu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit dan hanya maut saja yang dapat memisahkan suami dan istri.

Para suami dan istri adalah sahabat sejati selama-lamanya. Para suami dan istri haruslah menjadi obat yang kehidupan karena kesetiaan. Cobalah untuk setia dalam hidup perkawinanmu. Setialah selamanya sebagai satu daging.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply