Food For Thought: Virus itu namanya Radikalisme Agama

Virus itu namanya Radikalisme Agama

Perbincangan yang menakutkan negeri tercinta menjelang pemilihan umum pada tanggal 17 April 2019 adalah tentang paham radikalisme agama. Adanya saling tuding menuding antar paslon tentang adanya ‘boncengan’ kaum radikal tertentu semakin menghangat dan membuktikan bahwa radikalisme agama itu ibarat hantu menakutkan. Ada orang yang terang-terangan menampilkan simbol radikalisme agamanya melalui bendera, video percakapan dan aneka media lainnya. Kita tidak dapat menutup mata dengan adanya gerakan yang mendukung sistem pemerintahan Islam khilafah yang menguat di kampus-kampus pascareformasi yang antara lain dilakukan oleh ormas Hizbut Thahrir Indonesia (HTI), yang berniat mendirikan negara Islam. Ormas ini memang sudah dibubarkan tetapi sel-selnya masih hidup, masih ada bahaya latennya. Di sekolah-sekolah menengah sudah ada paham radikalisme agama yang terang-terangan masuk ke dalam ruangan kelas. Ajaran kekerasan pernah ditemukan oleh organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama, GP Ansor, yang menyebut beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK) berjudul Anak Islam Suka Membaca, mengajarkan radikalisme dan memuat kata-kata ‘jihad’, ‘bantai’, dan ‘bom’. Semua fenomena ini tentu menakutkan dan perlu diwaspadai semua orang. Warning yang bergaung di seluruh nusantara perlu ditanggapi secara serius sebelum semuanya benar-benar terjadi atau tidak terjadi.

Mengapa ada paham radikalisme dalam agama? Salah satu alasan yang mungkin adalah kurangnya pemahaman dasar tentang agama sehingga mendorong adanya kerentanan terhadap propaganda dan radikalisasi. Orang memang berpikir tentang ajaran agamanya sebagai sebuah kebenaran mutlak, namun tidak membuka pintu dialog dengan agama lain yang juga sama-sama menunjukkan jalan bagi manusia untuk berjumpa dengan Tuhan. Padahal sebenarnya nilai-nilai universal ajaran setiap agama itu mirip seperti cinta kasih, damai sejahtera, kebahagiaan dan pengampunan. Paham radikalisme akan berkembang subur ketika orang dengan sadar mengkafirkan orang lain yang sudah beriman kepada Tuhan, menghacurkan tempat-tempat ibadah, melegalkan hal-hal yang mendukung kepentingan agamanya.

Paus Fransiskus sebagai pemimpin Gereja Katolik memberi sebuah pelajaran universal kepada pemerintah Sudan yang sedang bertikai untuk membangun perdamian abadi di negeri itu. Ini adalah sebuah usaha dan kerja keras para pemimpin agama untuk membangun sebuah dunia yang damai. Gestur Paus Frasiskus yang sudah memasuki usia senja, rela berlutut dan mencium kaki para penguasa Sudah untuk belajar ‘rendah hati’ sehingga dapat membangun perdamaian dunia, khususnya di negara Sudan.

Bagi saya, Tuhan Yesus adalah salah seorang korban radikalisme agama saat itu. Ia tampil di depan umum untuk menghadirkan Kerajaan Allah dalam kata dan tindakan nyata. Ia mengajar dengan kuasa dan wibawa. Ia membuat tanda-tanda heran di depan mata banyak orang. Semuanya adalah kuasa Allah bukan kuasa Belzebul. Yesus mengenal diri-Nya maka Ia juga mengatakan persekutuan-Nya dengan Allah Bapa. Hanya saja orang-orang Yahudi tidak menerima ketika Yesus mengakui Allah sebagai Bapa dan bahwa Ia sebagai Anak dan Bapa adalah satu. Ia juga dianggap meniadakan hari Sabat. Kaum Yahudi sangat tidak toleran ketika mengatakan bahwa Yesus menghujat Allah. Sebab itu mereka mau melempari Yesus dengan batu (Yoh 10:31). Kaum Yahudi juga berniat untuk membunuh Yesus. Pada akhirnya Yesus juga dibunuh dengan penyaliban di atas bukit Kalvari. Perkataan menghujat Allah adalah sebuah perkataan ‘radikalisme’ agama Yahudi saat itu.

Radikalisme agama dirasakan oleh Yesus zaman dahulu dan para pengikut atau Gereja masa kini. Pada masa kini misalnya, ketika ada gereja dibom atau ditutup, Alkitab dilecehkan, patung-patung dihancurkan, salib-salib dicabut dan hendak dibakar, hanya karena pengikut Kristus maka orang diusir dari kampung halamannya, dan sebutan kafir merajalela. Kebebasan beragama menjadi sangat sulit dirasakan oleh setiap warga negara.

Pada saat-saat Gereja mengalami sendiri paham radikalisme agama maka kata-kata Yesus ini benar dan terbukti sepanjang sejara Gereja: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:10-12). Perkataan Yesus ini mendorong kita untuk memiliki sikap positif yang harus kita bangun dalam diri kita. Menjadi pengikut Kristus berati siap bertahan dalam situasi apa saja sebab ‘rambut kepala terhitung semuanya’ (Mat 10:30) bahkan ‘tak ada sehelai rambut kepala yang hilang’ (Luk 21:18).

Balas dendam bukanlah ajaran Yesus. Pengampunan dan kasih adalah ajaran Yesus yang harus menjadi milik kita selagi berziarah di dunia ini.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply