Homili 4 Mei 2019

Hari Sabtu, Pekan Paskah II
Kis. 6:1-7
Mzm. 33:1-2,4-5,18-19
Yoh. 6:16-21.

Mengapa harus takut?

Saya tertarik dengan kisah para murid Yesus dalam Injil Yohanes (Yoh 6:16-21). Dikisahkan bahwa setelah memberi makan lima ribu orang, Yesus mengundurkan diri ke gunung untuk bersyukur kepada Bapa. Para murid meninggalkan Yesus seorang diri. Hari mulai senja dan berubah menjadi gelap gulita. Mereka sendirian berada di atas perahu dan mencoba untuk menyeberangi danau Galilea yang letaknya 495m di bawah permukaan laut tengah, dengan panjang 21km dan lebar 11 km. Secara kebetulan angin sakal tiba dan menggoncang perahu yang mereka tumpangi bersama. Dalam suasana mencekam, mereka bertambah gelisah dan takut karena dalam kegelapan ada seseorang yang berjalan di atas air mendekati persahu mereka. Ternyata Yesus yang berjalan di atas air dan mendekati perahu mereka. Ia mengetahui apa yang mereka sedang butuhkan yakni ketenangan bathin. Sebab itu Ia berkata: “Ini Aku, jangan takut!” Bersama Yesus di dalam perahu yang sama, mereka merasa nyaman, lagi pula angin sakal menghilang. Mereka pun tiba dengan selamat di tempat tujuannya.

Kisah ini sangat sederhana. Kalau orang membacanya sepintas maka mereka hanya akan terpancing secara emosional seperti cemas, takut. Apalagi yang phobia gelap pasti lebih takut lagi membayangkan kisah ini. Namun kisah ini sebenarnya mengatakan tentang hidup kita yang nyata dan seadanya. Banyak orang sedang bahagia karena Yesus memuaskan mereka dengan roti dan ikan yang diperbanyak di Tabgha. Usai makan kenyang, mereka memilih untuk menyendiri dan membiarkan Yesus seorang diri juga. Rasa syukur belum menjadi sebuah kebiasaan mereka. Para murid yang setiap hari bersama Yesus juga memilih untuk pergi mendahului-Nya. Mereka tidak mau bersatu dengan Yesus untuk bersyukur atas mukjizat penggandaan roti dan ikan. Dalam suasana gelap, sendirian tanpa Yesus dalam perahu maka angin sakal akan datang untuk menggoncang perahu.

Kadang-kadang Gereja dalam hal ini Umat Allah juga memilih untuk berjalan sendiri tanpa merasa membutuhkan Yesus. Mereka akan mengalami berbagai godaan, tantangan dan yang ada di dalam diri mereka adalah kecemasan, kegelisahan dan ketakutan. Gereja membutuhkan Yesus yang menyelamatkan. Seorang Yesus yang meneguhkan Gereja di saat-saat yang sulit: “Ini Aku, Jangan takut!” Keluarga membutuhkan ketenangan ketika para ayah dan ibu berani berkata: “Ini Aku, jangan takut!” Siapa saja yang hadir dalam hidup kita hendaklah menghayati perkataan Yesus. Bersama Yesus semua akan baik-baik saja. Benar perkataan Yesus ini: “Sine me nihil potestis facere” (Yoh 15:5).

Apakah anda takut? Mengapa anda masih takut juga? Ini kiranya dua pertanyaan yang memprovokasi permenungan kita lebih jauh lagi. Kita tidak boleh takut untuk selalu berbuat baik, apapun situasi kita. Kita mesti berjuang untuk membangun rasa bahagia bukan ketakutan yang berkepanjangan. Saya teringat pada William Faulkner (1897-1962). Beliau adalah seorang penulis dan peraih Nobel sastra (1949) dari Amerika Serikat 1897-1962. Ia pernah berkata: “Jangan pernah takut untuk mengangkat suara anda untuk kejujuran dan kebenaran serta kasih sayang melawan ketidakadilan, kebohongan dan keserakahan.”

Perkataan Faulkner dapat kita renungkan dalam konteks sosial kita saat ini. Kita dituntut untuk professional dalam bertutur kata dan membagi kebaikan kepada sesama manusia. Misalnya, dalam konteks pemilihan umum saat ini, kubu-kubu dan pribadi-pribadi masih saling mencurigai satu sama lain. Kata kunci yang memisahkan adalah ‘kecurangan’. Masing-masing orang, baik secara individual maupun kelompok meneriakan kata kecurangan, meskipun kita masih mencari kebenaran. Apakah sesuai fakta atau hanya mengada-ada saja. Pada hari ini kita belajar untuk menjadi yang terbaik. Bagaimana dengan anda?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply